Putu Setia | @mpujayaprema
Dalam hal membuat masyarakat kaget, pemerintah semakin mahir. Di tengah-tengah orang sibuk mengurusi pandemi Covid-19, Joko Widodo meneken peraturan presiden yang menaikkan kembali iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Berbusa-busa pun pemerintah menjelaskan bahwa kenaikan iuran itu sudah dikaji dengan matang, tetap saja menunai kritik.
Rakyat
tak boleh berlama-lama gembira. Baru saja sejumlah orang bersyukur ketika tahu
tagihan iuran BPJS ternyata nihil di pembayaran bulan Mei ini. Itu terjadi
karena kelebihan membayar di bulan April akibat dibatalkannya kenaikan iuran
BPJS oleh Mahkamah Agung. MA membatalkan kenaikan iuran yang seharusnya
terhitung Januari 2020 tetapi BPJS tetap menarik iuran yang sudah naik sampai
bulan April. Karena banyak yang protes kenapa pemerintah tak patuh pada hukum, lalu
diumumkan iuran April dianggap kelebihan dan dipakai untuk pembayaran bulan
Mei.
“Alhamdulilah,
ada bekal untuk ikut imbauan pemerintah tinggal di rumah saja. Anak-anak butuh
paket data karena belajar di rumah dengan internet. Bapaknya anak-anak sudah
berhenti bekerja, tak punya penghasilan apa-apa. Kami tak terdaftar dapat
bantuan sembako, padahal juga terdampak corona,” kata seorang ibu. Dia gembira
setelah kasir di pasar swalayan tempat dia membayar BPJS memberitahu tagihannya
lunas. “Pak Jokowi sangat memperhatikan rakyat,” katanya lagi.
Sore
kemarin, ibu dua anak itu, mengirim pesan lewat WatsApp. “Ini gila. Benar-benar
gila.” Tak ada huruf apa-apa lagi. Tapi dia mengirim tautan berita soal
kenaikan iuran BPJS. Saya tak bisa membayangkan betapa si ibu ini kecewa, meski
saya yakin kata “gila” tidak dia tujukan kepada siapa pun, kecuali hanya
mengumpat keadaan. Saya mencoba menjelaskan bahwa pemerintah menghadapi masalah
pelik soal keuangan. MA pun cuma meminta peraturan presiden yang menaikkan
iuran BPJS dicabut. Tentu mudah sekali mencabutnya dan kemudian membuat
peraturan yang baru. Tak perlu persetujuan DPR seperti membuat undang-undang. Kemudian
saya katakan, pemerintah sudah mematuhi keputusan MA meski molor tiga bulan.
Dan kini dengan peraturan presiden yang baru, iuran BPJS kembali dinaikkan. “Sabar
saja ibu, kan naiknya kali ini tidak persis seratus persen,” balas saya.
Tak
ada jawaban. Pasti ibu itu mengira saya hanya menyindir pemerintah yang
seenaknya mempermainkan nasib rakyat. Atau dia memang sabar, sebagaimana
umumnya warga negeri ini yang terpaksa sabar. Mau apa lagi? Protes lewat demo
berjilid-jilid? Mana bisa, itu melanggar imbauan pemerintah untuk tidak
berkerumun. Lagi pula di daerah yang melakukan Pembatasan Sosial Berskala
Besar, kerumunan orang dilarang, kecuali untuk merayakan penutupan kedai siap
saji di gedung Sarinah, Jakarta.
Tak
cuma pemerintah yang memanfaatkan pandemi corona ini untuk membuat keputusan
yang kontroversial. Juga wakil rakyat di Senayan. DPR baru saja mengesahkan Undang-undang
tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara. Ini
revisi dari undang-undang sebelumnya. Namun karena revisi hanya menguntungkan
segelintir pengusaha, rakyat memprotesnya lewat demo dan batal dibahas sejak
tahun lalu. Tiba-tiba kini disahkan. Bagaimana rakyat melawan dalam situasi
fokus menghadapi pandemi corona?
Leluhur
kita, lewat cerita rakyat, suka memberi petuah. Janganlah membuat keputusan
yang membebankan rakyat di saat rakyat tertimpa bencana. Itu namanya tak punya
empati. Kemarahan rakyat hanya tertunda dan bisa meledak di saat bencana
berlalu. Jika itu terjadi, jangan kaget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar