Putu Setia @mpujayaprema
Ada yang perlu dikritik dari pernyataan Presiden Joko Widodo. Yakni ketika Jokowi menyampaikan secara terbuka bahwa masyarakat harus lebih aktif memberikan kritik dan penyelenggara pelayanan publik terus meningkatkan upaya perbaikan. Bagaimana bisa pernyataan ini keluar tatkala orang mulai ketakutan menyampaikan kritik?
Sehari setelah pernyataan presiden itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung ikut menambahkan. "Kami memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” ujar Pramono pada hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia yang dijadikan Hari Pers Nasional oleh pemerintah. Kritik pedas dan keras ini oleh Pramono diumpamakan sebagai jamu. Masalahnya, banyak orang yang menyampaikan “jamu” justru dapat celaka. Ada yang masuk penjara.
Catatan para pegiat demokrasi menyebutkan sejumlah orang berhadapan dengan kasus hukum tatkala melemparkan kritik ke alamat pemerintah. Terbanyak kasusnya dikaitkan dengan pelanggaran Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Begitu mudahnya undang-undang ini menjerat seseorang, ibaratnya pemerintah punya lahan yang subur untuk membungkam kritik. Tak perlu lagi disebutkan contoh-contoh kasus, karena semuanya sudah terbuka.
Apa yang ada di benak Jokowi ketika merasa perlu mengundang masyarakat menyampaikan kritik? Jangan-jangan kriteria kritik yang dimaksudkan pemerintah dan yang disuarakan masyarakat tidak nyambung. Atau sejarah masa lalu berulang, penyampaian kritik boleh asalkan dalam jalur “demokrasi terpimpin”. Pers pun boleh mengkritik sepanjang “bertanggung jawab”. Tolok ukur itu ada di pemerintah.
Aktifis lingkungan mengkritik pembabatan hutan yang semena-mena untuk perkebunan kelapa sawit. Tetap saja hutan semakin gundul. Tanah digali berhektar-hektar atas nama tambang yang membuat ribuan danau kecil, menimbulkan korban dan banjir. Tapi izin tambang tetap saja mengalir. Petani Kendeng di Rembang bertahun-tahun memprotes pendirian pabrik semen, pemerintah jalan terus. Kasus di luar masalah lingkungan juga bejibun. “Aksi Kamisan” yang menyuarakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM di depan Istana, sudah memasuki tahun ke-14. Meski ini warisan yang diterima Jokowi dari pendahulunya, kenapa tak dibuka dialog?
Semua ini juga sebuah kritik, bagaimana pendapat disampaikan. Tidak berarti pelempar kritik harus benar dan dituruti kemauannya, tapi seharusnya pemerintah “meningkatkan upaya perbaikan”.
Yang lebih memprihatinkan adalah tingkah para buzzer yang membela pemerintah, terutama jika kritik disampaikan lewat media sosial. Sebagus-bagusnya kritik jika itu dianggap berbeda dengan pemerintah akan diserang para buzzer. Kwik Kian Gie dan Susi Pudjiastuti – dua contoh saja – sudah menyatakan kekesalannya pada buzzer secara terbuka di media sosial. Kalau dua tokoh yang pernah menjabat Menteri itu saja diperlakukan demikian, bagaimana orang bisa “memberi jamu” ke pemerintah? Para buzzer menganggap musuh setiap orang yang tidak sejalan dengan politik Jokowi, termasuk yang masih menjabat. Sebut contoh kecil. Kalau banjir di berbagai daerah tidak ada yang menghujat gubernurnya, tetapi kalau Jakarta banjir maka Anies Baswedan jadi sasaran caci maki.
Pantaslah indek demokrasi kita merosot pada peringkat ke-64 dunia, kalah dengan Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Kemerosotan yang dipicu oleh tekanan terhadap kebebasan sipil. Lalu dalam situasi begini Jokowi masih mengharap kritik dari masyarakat. Itu yang aneh dan pantas kita kritik.
(Koran Tempo 13 Februari 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar