Putu Setia | @mpujayaprema
Hari Raya Natal dalam hitungan hari. Kepada yang
merayakan perkenankan saya mengucapkan Selamat Hari Natal, semoga kedamaian
senantiasa hadir di bumi ini. Saya tak punya beban untuk mengucapkan Selamat
Natal karena tidak menemukan larangan dalam keyakinan saya.
Saya membaca di Twitter ada seorang dosen Universitas
Indonesia yang siap mengucurkan hadiah Rp 50 juta jika ada yang menunjukkan
ayat-ayat yang melarang mengucapkan Selamat Natal di kitab suci Al Quran. Saya
tak tertarik mengikuti alur postingan itu, apakah sudah ada yang mendapatkan
hadiah. Yang jelas saya merasakan bahwa polemik boleh tidaknya mengucapkan
Selamat Natal, terutama bagi kaum muslim, sudah berkurang ramainya dibandingkan
tahun-tahun lalu. Begitu pula heboh tentang pro kontra menggunakan topi Santa,
terutama untuk karyawan di mal dan pasar swalayan, saya kira berkurang tahun
ini. Semoga ini pertanda kita mulai dewasa dalam menyikapi atribut keagamaan.
Atau kita sudah semakin capek. Di dekat rumah anak
saya di Denpasar ada swalayan lumayan besar. Kalau menjelang lebaran, swalayan
itu dihias dengan ketupat lebaran, juga simbol-simbol masjid. Karyawan
perempuannya berkerudung. Jika menjelang Imlek swalayan dihias lampion
warna-warni. Kalau menjelang hari Galungan, perayaan untuk umat Hindu di Bali,
swalayan dihias rangkaian janur mirip hiasan di tempat ibadah. Kini menjelang
Natal sudah ada pohon cemara dengan lampu kelap-kelip. Cucu saya senang sekali
dengan gemerlap itu. Ibunya tentu lebih senang lagi karena semua itu pertanda
ada diskon. Obral sampai 70 persen.
Bagi saya, pernak-pernik itu adalah budaya, tak akan
mempengaruhi keimanan. Tapi kenapa belakangan ini kita mempertanyakan budaya
itu, termasuk budaya memberi ucapan selamat kepada orang yang berbeda
keyakinan? Budaya itu lahir dari tradisi yang menahun usianya, karena dianggap
baik lalu dilestarikan. Ada pun agama adalah keyakinan berdasarkan pilihan kita
untuk menjalani hidup yang kita anggap terbaik untuk “menuju keheningan kelak
di alam sana”. Orang bisa bersama-sama dalam menegakkan budaya luhur tetapi
berbeda dalam pilihan agama. Kenapa hal ini dibenturkan?
Ini bukan cuma soal umat Kristiani dan Islam.
Belakangan muncul “benih-benih benturan” antara umat Kristiani dan Hindu,
khususnya di kawasan Bali. Ada pertanyaan yang menggugat. Kenapa umat Kristiani
yang ada di Bali dalam merayakan Natal menggunakan embel-embel budaya Bali?
Saya heran kenapa pertanyaan ini muncul.
Saudara kita yang beragama Katolik dan Kristen di Bali
mengenakan budaya Bali dengan penuh kesadaran, bukan embel-embel,. Mereka lahir
dan berkembang dengan adat istiadat sebagaimana orang Bali pada umumnya. Karena
itu ketika mereka membangun gereja dibangunlah gereja yang berbudaya Bali.
Ketika merayakan Natal, gereja pun dihias dengan seni budaya Bali dan mereka memakai
busana adat Bali. Apa yang salah? Justru kita bersyukur mereka tetap
melestarikan budaya leluhur orang Bali.
Busana adat Bali bukan pakaian Hindu. Tak bisa diklaim
bahwa beragama Hindu harus memakai budaya Bali. Bagaimana dengan umat Hindu di
Jawa, Kalimantan, Sumatra dan seterusnya? Apa mereka harus memakai budaya Bali?
Mari kita belajar membedakan yang mana agama sebagai
pedoman hidup kita dalam memuja Tuhan dan yang mana budaya sebagai prilaku kita
dalam kehidupan sosial di masyarakat. Di luar urusan akidah dan ritual, kita
adalah saudara sejati yang biasa memberi salam. Termasuk salam ketika sahabat
sejati itu merayakan hari keagamaannya.
(Koran Tempo 21 Desember 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar