Berita penting
berseliweran di awal bulan ini. Saling berebut perhatian. Virus corona yang
semakin dekat ke negeri ini membuat banyak orang khawatir. Selain cemas soal
virusnya, dampak ekonominya membuat pusing ibu-ibu rumah tangga. Bawang putih naik
terus harganya. Maklum bumbu masak itu diimpor dari Cina, juga banyak barang
lainnya, termasuk peniti.
Ada yang
cemas terhadap langkah Komisi Pemberantasan Korupsi. Terduga penyuap Harun
Masiku belum juga tertangkap, sementara pimpinan KPK malah mau mengembalikan
penyidik Komisaris Rossa Purbo Bekti ke instansi kepolisian. Rossa adalah
penyidik Harun Masiku.
Ada lagi berita
yang membuat kita cemas sembari bertanya-tanya. Wacana pemulangan sekitar 600
warga negara Indonesia yang terpapar ISIS. Istilah yang dipakai salah kaprah,
WNI eks ISIS. Padahal seharusnya ISIS eks WNI. Bukankah mereka sudah
meninggalkan kewarganegaraan Indonesia? Baik secara hukum karena bergabung
menjadi tentara asing, mau pun secara fakta karena membakar pasfor Indonesia.
https://youtu.be/zR9pULS5vPc
Pernyataan
pemimpin kita dari Presiden Jokowi, Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri Agama Fachrul Razi dan lainnya, juga mengundang tanya. Jokowi dan
Mahfud MD secara pribadi menyebut menolak pemulangan ke 600 orang itu. Ini senada
dengan apa yang disuarakan masyarakat. Kalau sudah menolak secara pribadi,
apakah bisa berubah jika mengatasnamakan jabatan? Apa yang membedakan Presiden
RI dengan Joko Widodo, dan Menkopolhukam dengan Mahfud MD? Menteri Agama lebih
jelas, meski tak konsisten. Paginya bilang ke 600 WNI eks ISIS itu akan
dipulangkan, siangnya diralat menjadi “masih perlu dibahas”.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin ikut nimbrung dan membandingkan
kerumitan memulangkan WNI eks ISIS dengan virus corona. Rumitnya, kalau mereka
dipulangkan bagaimana menyelenggarakan karantina agar virus ISIS-nya tidak
menyebar ke masyarakat.
Semua pejabat sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan jika
WNI eks ISIS itu pulang. Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Suhardi Alius tentu paling sibuk
karena ditugaskan mengkaji opsi kebijakan yang akan diambil, memulangkan atau
tidak.
Seharusnya kita tak perlu bertanya-tanya
jika mengikuti alur pendapat Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto
Juwana. "Secara teori eks WNI ini berstatus stateless. Namun,
kondisi stateless ini tidak berada di Indonesia, sehingga pemerintah
tidak perlu pusing untuk mewarganegarakan mereka," kata Hikmahanto.
Urusan pun melebar ke masalah yang mengusik
emosi. Alasan kemanusiaan, belas kasihan, jangan dendam dan seterusnya. Apalagi
ada faktanya, dari 600 orang bermasalah itu, kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak.
Mereka rindu hidup normal di tanah kelahirannya. Nah, kalau sudah sampai di
sini maka perdebatan kita tak akan ada ujungnya.
Kenapa mereka ikut-ikut ke medan laga atas
nama ISIS? Apa mereka benar bertobat? Kalau atas nama kasihan, bebaskan saja
semua narapidana teroris di dalam negeri, juga narapidana pembunuh, koruptor
dan seterusnya. Mereka juga dirindukan anak-anaknya di rumah. Alasan
kemanusiaan? Bisakah dibayangkan bagaimana perasaan korban aksi teror yang terjadi
di sini – meski tak ada kaitannya dengan ISIS? Hati mereka terluka dalam.
Korban bom Bali, misalnya, masih marah jika manyebut nama Amrozi padahal
teroris ini sudah dihukum mati. Mendengar kata Lamongan (asal Amrozi) saja,
mereka trauma meski pun membicarakan soto atau bola.
Kalau pemulangan ini dibahas pasti yang
tersisa adalah keriuhan. Maka Prof Hikmahanto ada benarnya: kenapa kita pusing?
(Dari Koran Tempo 8 Februari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar