Putu Setia | @mpujayaprema
Masih ingat pesan ibu? Pertanyaan ini membuat ibu-ibu rumah tangga yang bergerombol di tukang sayur keliling itu pada ketawa. Salah satu menjawab: “Itu kan lagu grup band Padi, tiap hari di televisi. Jangan lupa memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan,” jawab seorang ibu sambil bergoyang. Di tangannya ada seikat kangkung.
Tapi mereka, enam ibu dan dua anak
kecil, tak ada yang jaga jarak. Hanya dua ibu memakai masker, itu pun cuma
menutup dagu. Yang lainnya tanpa masker, begitu pula anak-anak kecil. Ada pun tukang sayur maskernya ada
di saku baju. “Saya baru pakai masker kalau berkeliling di jalan besar,”
katanya.
Gang ini tidak besar. Tapi selalu
ramai. Pagi dengan tukang sayur plus pemulung barang bekas. Sore lebih ramai
lagi dengan pedagang nasi goreng dan kue putu. Penghuninya, sebagian besar
tidak memakai masker, kecuali yang jualan. “Mana ada razia masker sampai masuk
gang,” kata seorang ibu.
Suasana seperti ini mungkin ada di
mana-mana. Jangankan di sebuah gang dalam kota yang dipenuhi rumah petak dan rumah
kos. Di banyak tempat yang ada kerumunan, dari tiga “pesan ibu” hanya satu yang
dipatuhi, memakai masker. Menjaga jarak sudah diabaikan, apalagi mencuci
tangan.
Kenapa disiplin masyarakat begitu
rendah? Mungkin “pesan ibu” ini terlalu syahdu. Maklum diambil dari penggalan
lagu. Sementara itu, di lapangan tak ada upaya lebih keras untuk memberlakukan
“pesan ibu” ini. Ada aksi demo di berbagai kota menggugat Undang Undang Cipta
Kerja. Di Bali aksi demo undang-undang ini masih ditambah dengan demo menggugat
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang diduga melecehkan umat Hindu. Cobalah
telisik, apa ada massa aksi ini menjaga jarak dan mencuci tangan? Tidak, pemakaian
masker pun ada yang dilalaikan.
Aparat tak berdaya. Berfokus menjaga
keamanan dari para perusuh yang mendompleng demo ketimbang mengurusi masker dan
jaga jarak. Bahkan ketika Rizieq Shihab pulang ke tanah air, yang disambut
ribuan pengikutnya bak pahlawan – memang saat itu Hari Pahlawan – Bandara
Soekarno Hatta tak dijaga ketat aparat keamanan. Kalau kursi bandara saja bisa
hancur karena orang berdesakan, bagaimana pula mengharap penjemput bisa menjaga
jarak dan cuci tangan?
Banyak orang seperti melupakan
pandemi ini. Bahkan mulai percaya, gerakan orang tak perlu dibatasi sepanjang
menjaga protokol kesehatan yang satu itu: memakai masker. Lihatlah saat liburan
panjang Maulid Nabi, tempat wisata penuh sesak. Tak hanya di Ancol, Puncak,
Lembang, Yogya, Pasuruhan, di pantai Bali Selatan juga mulai ramai.
Orang dibelenggu delapan bulan tak
boleh piknik, kini ada pelampiasan untuk bepergian. Usai liburan ada
pernyataan, “Tak ada kenaikan kasus positif corona di Bali, malah angkanya
turun.” Komponen pariwisata semakin yakin Covid-19 sudah berlalu. Tapi para
dokter mengingatkan, “Kan harus menunggu masa inkubasi dua minggu, baru
ketahuan”.
Apa sesungguhnya target pemerintah?
Bernafsu menggerakkan sektor ekonomi dengan mengendurkan kewaspadaan, tentu
resikonya besar. Harus ada kajian yang jelas, kapan masyarakat diberi
kelonggaran. Berkaca pada kasus-kasus di luar negeri, pelonggaran itu malah
memunculkan gelombang baru pandermi Covid-19, seperti di Italia. Kalau memang suatu
daerah masih berstatus merah, tegaskan saja masyarakat jangan dulu keluyuran.
Lakukan tindakan keras. Kalau kerumunan orang dilarang, demo juga jangan
diizinkan. Yang berbondong-bondong ke rumah Rizieq Shihab juga dibatasi. Tak
bisa dengan slogan mendayu-dayu sambil bernyanyi ingat pesan ibu.
(Koran Tempo 14 November 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar