Om Swastyastu. Umat sedharma yang terkasih. Semoga selalu dalam lindungan Hyang Widhi. Kita bertemu lagi dalam rubrik Pesan Bijak. Yang bijak bukan pesan dari saya, tetapi yang bijak adalah pesan-pesan yang saya kutip dari berbagai kitab untuk kita jadikan renungan.
Kali ini saya
ingin mengajak kita semua merenungi situasi sosial budaya politik yang dipenuhi
dengan berbagai kebencian dan saling menjegal atau
saling melaporkan ke polisi. Pertentangan begitu tajam dan masalah pun
sering berakhir di pengadilan, bukan lagi lewat perdamaian yang penuh
musyawarah. Padahal pengadilan duniawi tak selamanya adil, bahkan sering
terkesan sebagai ajang balas dendam. Apalagi ada yang menyindir hukum bisa dibelokkan
sesuai kebutuhan. Bahkan bisa dibeli.
Padahal,
kalau kita hidup dalam suasana yang penuh kerukunan
berlandaskan ajaran agama, tidak ada pengadilan yang lebih adil dibandingkan
pengadilan dari Tuhan. Sayangnya, tempat pengadilan itu adalah ketika kita
sudah meninggalkan dunia ini. Di dunia akhiratlah kita diadili seadil-adilnya. Karma kita selama hidup diadili di dunia sana. Perbuatan baik yang kita lakukan di dunia baik pula
tempat kita di alam sana, buruk karma kita di dunia tempatnya pun buruk pula di sana. Maka dikenallah istilah
sorga dan neraka, sorga untuk kedamaian tanpa batas,
neraka untuk menjalani hukuman akhirat.
Pengadilan akhirat pun tidak berjenjang sebagaimana
yang kita alami di dunia ini, ada pengadilan banding, kasasi dan seterusnya. Di akhirat kita hanya sekali diadili dan final. Kitab Bhagawad Gita Percakapan 9 sloka 20 menyebutkan: samo ‘ham sarva-bhutesu, na me dvesyo ‘sti na
priyah, ye bhajanti tu
mam bhaktya, mayi te tesu capy aham. Terjemahan bebasnya:
Aku bersikap sama terhadap setiap makhluk, tidak ada yang Aku benci dan tidak
ada yang Aku kasihi. Akan tetapi mereka yang memujaKu dengan penuh rasa bhakti,
maka dia akan selalu bersamaKu dan Aku ada pada dirinya.
Itulah keadilan sejati. Setiap orang dari mana pun
berasal, semuanya dipandang sebagai hal yang sama. Bahwa hukuman bisa berbeda
di alam sana, ada sorga dan ada neraka, itu semata-mata karena perbuatan kita
di dunia yang berbeda. Bukan karena Tuhan pilih kasih. Tuhan Maha Penyayang
dan Maha Pengasih, tetapi sifat itu tak mempengaruhi dalam mengambil keputusan.
Seperti orang tua yang sesekali memarahi atau menegor anaknya, bukan dalam
pengertian tidak sayang, tetapi memberikan pelajaran agar tidak mengulangi perbuatan
yang buruk. Maka kalau ada pahala atau kejadian buruk yang kita terima di dunia, orang
sering menyebutkan itulah cobaan Tuhan. Kalau tahu itu percobaan Tuhan,
segeralah minta ampun dan bertobat, sehingga ketika kita “diadili di dunia
sana” persoalannya menjadi lebih jelas.
Bertobat untuk perbuatan yang buruk adalah kata
lain dari mendekatkan diri kepada Tuhan. Bertobat, mau tak mau berarti
kita memuja Beliau Yang Maha Suci. Bukankah kitab Bhagawad Gita sudah menyebutkan, “mereka yang memujaKu dengan penuh rasa bhakti, maka dia akan
selalu bersamaKu dan Aku ada pada dirinya.”
Masalahnya apakah kita benar-benar mau “lebih dekat” atau “selalu dekat” dengan Sang Maha Kuasa. Atau kita
baru ingat Tuhan kalau dalam keadaan berduka, entah itu saat sakit atau kemalangan yang lain. Saat kita
ditangkap karena korupsi, kita baru teringat Tuhan dan bilang ini cobaan. Tapi saat kita bersenang-senang menikmati hasil
korupsi, kita lupa memuja-Tuhan. Seharusnya kita selalu berbuat baik. Kalau jiwa kita bersih dan selalu dekat denganNya maka pantulan
kemaha-besaran Tuhan itu akan bisa kita rasakan dalam batin.
Kita bisa menganalogikan Tuhan ibarat cahaya saat kita
bercermin. Kalau cermin itu kotor dan berdebu, maka
pantulan cahayanya sangat buram. Kalau cermin itu bersih maka cahaya yang
dipantulkan jadi terang dan jernih. Padahal kadar cahaya itu sama saja
besarnya. Masalah ada pada cermin yang memantulkannya, bukan pada cahaya. Maka
kembali kepada sang pemilik cermin, yakni kita sendiri, apakah kita sudah
bersih secara rohani untuk menerima cahaya Tuhan, sehingga cahaya itu bisa kita
jadikan sesuluh dalam kehidupan ini? Atau kita biarkan cermin dalam diri kita
kotor, sementara cahaya tidak pernah bertanya apakah cermin itu kotor atau
tidak. Cahaya tetap memancar tanpa peduli bagaimana kondisi sang penerima cahaya itu. Kitab Bhagawad Gita jelas
menyimpulkan kasih sayang Tuhan dalam “mengadili” umat-Nya tidak pernah pilih kasih.
Minta ampun dan bertobat itu sangatlah penting,
ibaratnya perbuatan itulah yang bisa membersihkan cermin, agar cahaya Tuhan bisa kita terima lebih jernih. Pada sloka 30 Kitab Bhagawad Gita percakapan 9, disebutkan
dengan gamblang: “walau orang yang paling berdosa sekali pun datang kepada-Ku,
memuja-Ku dengan penuh rasa bhakti tanpa menyimpang, maka orang seperti itu
diterima sebagai orang suci, karena dia memiliki
itikad yang benar.”
Marilah
kita selalu membersihkan cermin bathin kita dengan lebih dekat kepadaNya dan hindari perbuatan yang buruk, mencaci,
memaki, berkata kasar, dan saling bermusuhan. Gunakan media sosial dengan baik karena semua
ini adalah anugrah dari Tuhan pula.
Rahayu, Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar