Putu Setia @mpujayaprema
Ada kelompok yang menamakan diri Generasi Pemuda Indonesia Bersatu, disingkat Gapinsa. Kelompok ini menyebar poster di media sosial. Isinya, “Waktunya Indonesia Berdoa”. Digambarkan peta Indonesia, lalu diurai ada bencana dari ujung Sumatra Utara sampai Sulawesi, sementara provinsi yang ada di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tidak ada tanda bencana. Itu bencana di tahun 2021yang belum genap sebulan.
Ada berbagai bencana. Gunung erupsi ada di Sumatra Utara, yakni Gunung Sinabung. Lalu Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gunung Semeru di Jawa Timur. Ada banjir di Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jember, Malang, Manado, ditambah banjir rob (air laut meluap) di Makasar. Ada tanah longsor di Sumedang dan Manado. Yang paling menyita perhatian, tentulah gempa di Mamuju, Sulawesi Barat, dan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air di Kepulauan Seribu.
Adakah korelasi antara doa dan bencana? Sebagai masyarakat religius, tentu saja segala bencana dihubung-hubungkan dengan “cobaan Tuhan” yang harus diterima umatNya. Karena itu wajar umat berdoa saat Tuhan memberi cobaan. Ebiet G Ade sudah menulis syair lagu yang suka diputar televisi saat menayangkan bencana. Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah… kata Ebiet sebagai pertanda Tuhan sedang memulai cobaannya. Tapi Ebiet juga ragu apa benar Tuhan memerlukan doa, karena lagunya ditutup dengan coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Jika ditanya tetua masyarakat Bali yang tinggal di lereng gunung, doa pasti ada kaitannya dengan bencana. Kalau ada pohon besar di hutan, maka pohon itu diselimuti kain poleng (hitam putih kayak papan catur), lalu orang berdoa kepada Tuhan di sana – dan orang yang tidak paham bisa saja menuduh “memuja berhala” atau bahkan “memuja setan”. Padahal dengan cara itu penduduk tak berani menebang pohon karena sudah “dilindungi Tuhan”. Begitu pula jurang-jurang pinggir sungai, tetap pohonnya dibiarkan rimbun supaya “air suci mengalir dengan teduh”. Pembangunan geothermal di Bedugul dibatalkan karena diprotes masyarakat. Gunung dianggap kawasan suci. Maka selamatlah hutan yang menyangga dua danau, Tamblingan dan Buyan. Para ahli lingkungan menyebut kelestarian hutan ini membuat jarang ada berita longsor dan banjir bandang di Bali. Entahlah, tetua di Bali hanya menyebut, kami cuma berdoa.
Banjir besar di Kalimantan Selatan, begitu laporan koran ini, disebabkan karena sepanjang aliran Sungai Barito hutannya rusak oleh tambang batubara. Dari 1,8 juta hektare luas aliran sungai Barito, 27 persen atau 466.642 hektare dikuasai para penambang, sebagian perusahaan milik keluarga pejabat tinggi. Hampir senada di daerah lain, banjir dan longsor karena lingkungan yang hancur. Termasuk banjir dan longsor di Kawasan Puncak, Bogor, yang belum dimasukkan dalam peta bencana di poster Gapinsa.
“Indonesia berdoa” tak ada yang salah. Tapi, “Indonesia maju tanpa merusak hutan” seharusnya dijadikan gerakan nyata. Selama ini kita lebih banyak retorika. Menanam seribu pohon, gerakan yang hampir setiap tahun ada, namun mengobral izin tambang juga gerakan yang tak kalah banyaknya.
Untuk bencana lain seperti jatuhnya pesawat, apalagi gempa bumi dan gunung erupsi, memang sukar diprediksi. Itu betul-betul kehendak Tuhan dan tentu karena Tuhan tetap bekerja menyeimbangkan alam. Untuk “pekerjaan Tuhan” ini, kita memang harus berdoa agar dalam keseimbangan itu tak terlalu banyak malapetaka, namun taburkan kesejahtraan – misalnya membuat tanah menjadi subur dan penambang pasir tetap punya lahan bertahun-tahun. Ayo kita mulai berdoa.
(Koran Tempo 23 Januari 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar