Putu Setia @mpujayaprema
Apa sesungguhnya yang terjadi? Apakah kita sedang memenangi pertempuran melawan Covid-19, musuh yang tidak kelihatan itu? Atau justru kewalahan dan nyaris kalah? Sepertinya membingungkan.
Lonjakan kasus positif mengkhawatirkan. Tembus ke satu juta penduduk, angka yang entah bagaimana cara menghitungkan, dijadikan batasan sebagai sesuatu yang gawat. Rumah sakit kewalahan, yang darurat mau pun tidak darurat. Hotel yang menampung pasien orang tanpa gejala (OTG) terus ditambah. Lahan kuburan, khususnya di DKI Jakarta, juga ditambah – berita yang sesungguhnya mengerikan. Pembatasan sosial berskala besar yang istilahnya direvisi menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) diperpanjang untuk Jawa dan Bali. Bukan sekadar diperpanjang, juga yang terkena PPKM ditambah. Di Jawa Barat, misalnya, dari 5 kabupaten yang PPKM kini seluruh kabupaten/kota ikut PPKM. Di Bali dari dua yang ditetapkan pusat, ditambah menjadi 5 kabupaten/kota yang kena PPKM.
Ada yang hilang dalam perang melawan wabah ini. Yakni, kebersamaan. Kalau di awal pandemi gencar ada slogan “bersama melawan corona” kini gemanya hilang. Bukan saja spanduk berbunyi seperti itu tak ada lagi, pos komando Covid-19 yang ada di pedesaan sudah bubar. Tak ada lagi aparat desa yang berjaga-jaga dan siap dengan menyemprotkan cairan desinfektan. Tak ada lagi orang saling menegur, mengingatkan untuk memakai masker. Razia masker memang sesekali ada, tapi itu dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja, bukan lagi oleh aparat desa. Kita tahu keterbatasan Satpol PP ini yang tak bisa menjangkau pedesaan.
Satu juta positif virus corona. Apa arti satu juta itu dibandingkan penduduk negeri ini yang jumlahnya 271 juta? Masyarakat pedesaan tak tahu bagaimana cara membaca dan membandingkan angka itu. Mereka jadi tak mampu mencerna, angka satu juta itu mengerikan atau tidak, apalagi angka itu sejak awal pandemi. Mungkin lebih mudah dipahami jika dijelaskan seperti ini. Jika kasus positif baru berjumlah 13.695 orang (per Jumat pagi) sementara yang sembuh 10.792 orang dan meninggal 476 orang, maka pasien baru Covid-19 yang perlu perawatan bertambah sebanyak 2.427 orang. Ini per hari, bagaimana tidak kewalahan mencari tempat perawatan, karena masih banyak yang belum sembuh dan ada pasien penyakit lain di luar Covid-19.
Rumah sakit yang kolaps, tenaga medis yang lelah, bisa menyebabkan angka kematian bertambah. "Angka kematian kita tertinggi nomor satu di negara Asean, baik presentase maupun jumlahnya,” kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia DKI Jakarta Slamet Budiarto. Maka perang melawan Covid-19 seharusnya diulang kembali kepada semangat awal, semangat yang dijadikan lirik lagu oleh mendiang Didi Kempot: “Bersama Melawan Corona”.
Ini yang pasti susah. Masyarakat jenuh berada “di rumah saja”. Murid sekolah sudah bosan “libur panjang”. Mereka rindu berkumpul dengan kawan sekolahnya di kelas, meski pun bisa kumpul di tepi sawah bermain layang-layang. Apakah memakai masker dan jaga jarak? Masker memang dipakai kalau ke jalanan umum karena takut kalau ada razia dan disuruh push up. Kalau jaga jarak sudah pasti tidak. Bagaimana masyarakat patuh, wong Gubernur Bali bersama undangan meniup lilin ulang tahun (dan menyuapi hadirin) tanpa jaga jarak? Padahal yang ulang tahun adalah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati yang berada entah di mana. Artinya, pejabat juga jenuh dan mungkin perlu hiburan.
Jadi, sudah sampai di mana kita melawan Covid-19? Membingungkan. Karena angka satu juta sudah bertambah 50 ribuan, seharusnya kita kembali “bersama melawan corona”. Tak ada pilihan lain.
(Koran Tempo 30 Januari 2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar