Sabtu, 19 Januari 2019

Apakah Desa Pakraman Akan Hilang

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

DESA Pakraman dulu pernah disebut desa adat. Ini membedakan dengan desa yang dibentuk negara sebagai pemerintahan yang paling rendah. “Pemerintahan desa” oleh orang Bali lalu disebut Desa Dinas. Tapi kata “dinas” itu tak ada secara formal, hanya supaya mudah menyebutnya. “Pemerintahan desa” itu tentu saja tunduk pada aturan negara. Atasan terdekatnya camat, lalu bupati atau walikota, gubernur dan seterusnya.

Desa adat itu sendiri tak ada urusan dengan pemerintahan. Desa ini sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan. Pencetusnya adalah Mpu Kuturan yang datang ke Bali tahun 1001 ketika Bali diperintah Prabu Udayana. Mpu Kuturan yang dinobatkan sebagai penasehat kerajaan (purohito) prihatin melihat begitu banyaknya aliran atau sekte keagamaan di Bali. Satu sama lain saling bersaing.

Mpu Kuturan lalu mengadakan pendekatan. Akhirnya disepakati sekte dilebur dan diperkenalkan tiga Istadewata inti yang wajib disembah. Dewa-dewa itu disesuaikan dengan siklus kehidupan, utpati, stiti, pralina. Maka Dewa Brahma sebagai pencipta alam (utpati) dibuatkan tempat pemujaan di Pura Bale Agung, belakangan banyak diubah menjadi Pura Desa. Dewa Wisnu sebagai pemelihara kehidupan (stiti) tempat pemujaan di Pura Puseh. Kedua pura ini bisa di satu komplek (pelemahan) karena kelahiran dan kehidupan tak berbatas. Dewa satu lagi adalah Siwa dengan pemujaan di Pura Dalem, simbol pralina (pengembalian ke wujud asal). Tiga “dewa besar” itu disebut Trimurti dan tiga pura disebut Tri Kahyangan.

Nah, setiap kawasan yang sanggup mendirikan Tri Kahyangan untuk memuja Trimurti lalu disebut “sebuah desa” yang otonom dengan aturan (awig-awig) tersendiri. “Sebuah desa” itu kemudian disebut desa adat, karena adat-istiadat mereka belum tentu sama dengan adat-istiadat di desa lainnya. Ini yang terus ajeg ratusan tahun sampai sekarang dan kemudian kekhasan desa adat itu disebut Desa Pakraman. Bahkan dilindungi dengan Perda Desa Pakraman. Apa artinya? Desa adat yang kini menjadi  Desa Pakraman adalah desa berbasis Hindu. Tak boleh ada satu pun warga non-Hindu yang menjadi anggota krama (warga) adat. Warga boleh datang dari klan (asal-usul kelahiran) yang berbeda tetapi keyakinannya harus Hindu. Jadi Desa Pakraman adalah Desa Hindu.

Pemerintah tentu harus melindungi seluruh warga negara, tak boleh membedakan agama, apakah Hindu atau Islam atau Katolik dan seterusnya. Maka, pemerintah mengadakan “desa lain” yang tak ada urusannya dengan adat dan agama. “Desa lain” ini, seperti sudah disebutkan, di bawah kordinasi kecamatan dan di Bali disebut Desa Dinas.

Jadi, di Bali ada dua desa, satu Desa Pakraman dan satu desa dengan embel-embel tak resmi kata dinas. Belakangan diperkenalkan Kelurahan sebagai ganti “Desa Dinas” untuk perkotaan supaya seragam dengan di Jawa. Bedanya, pemimpinnya yang satu dipilih rakyat, yang satu diangkat pemerintah.

Sekarang Gubernur Bali yang baru, I Wayan Koster, merencanakan Perda tentang Desa Adat sebagai pengganti  Desa Pekraman. Ranperda ini ternyata tidak melibatkan Majelis Utama Desa Pakraman secara kelembagaan. Di Ranperda yang baru itu disebutkan ada tiga jenis warga Desa Adat, yakni Krama Adat (penduduk asli), Krama Tamiu (penduduk pendatang tetapi beragama Hindu), dan Tamiu (penduduk pendatang yang non-Hindu). Ketiga jenis warga ini diatur hak dan kewajibannya berdasarlan awig-awig dan perarem yang dibuat.

Dengan adanya warga Tamiu ini, maka ciri khas Desa Pakraman bisa hilang, karena ada warganya yang beragama bukan Hindu yang juga diatur hak dan kewajibannya meski dengan keterbatasan. Warga Tamiu hanya berhak atas pelemahan dan pawongan. Kalau begitu apakah dalam menyusun awig-awig dan pararem warga Tamiu juga diikut-sertakan? Bukankah sudah pasti ada ketersinggungan warga Tamiu ini dengan pelemahan dan pawongan? Lagi pula karena Ranperda Desa Adat ini memakai istilah parahyangan (selain pelemahan dan pawongan), dan bukan istilah Tri Kahyangan, apakah masjid dan gereja di pelemahan desa adat itu bukannya juga parahyangan? Bukankah parahyangan artinya tempat orang bersembahyang? Kalau tempat ibadah non-Hindu ini tidak diperhatikan oleh desa adat, tentu hal ini melanggar Perda karena umat non-Hindu juga diatur hak dan kewajibannya di dalam desa adat.

Yang jelas, di Bali tak akan lagi ada desa berbasis Hindu, sama dengan di Jawa, Kalimantan dan sebagainya. Artinya, Desa Pakraman akan lenyap, bagaimana menyebut ajegnya adat Bali dan agama Hindu. Sebaiknya biarkan pendatang non-Hindu tak usah diatur dalam Perda Desa Adat dan mereka diatur ketat oleh peraturan yang dimiliki Desa Dinas. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar