Senin, 07 Januari 2019

Habisnya Tanah Bali

Mpu Jaya Prema

TANAH Bali bakal habis. Berita yang menjadi headline di koran Pos Bali, Jumat pekan lalu, nara sumbernya adalah Kapolda Bali Irjen Pol. Petrus Reinhard Golose. Pejabat yang berurusan dengan keamanan di Bali ini ternyata punya perhatian besar terhadap perubahan yang terjadi di Bali di luar sektor keamanan. Beliau kali ini bukan bicara masalah premanisme atau narkoba, bukan pula mempermasalahkan sabungan ayam yang makin marak. Tetapi soal tanah Bali yang bakal habis dibangun untuk sarana wisata.

Kapolda Petrus Reinhard Golose mengamati lahan Bali ini dalam penerbangan helikopter berkeliling Bali. Beliau melihat bagaimana sawah-sawah yang indah, tebing pinggir sungai yang mempesona, tiba-tiba ada bangunan villa atau perumahan. Kesimpulannya, tak lama lagi Bali akan kehilangan sawah berundak yang indah itu dan generasi milenial nanti hanya akan mendengar cerita saja bagaimana indahnya tanah Bali.

Keprihatinan Kapolda menyiratkan beberapa hal. Pertama lahan di Bali sudah tak seimbang lagi antara peruntukan pertanian dan lahan produktif dengan lahan pemukiman. Yang kedua, seolah-olah tidak ada perhatian yang lebih tentang bagaimana mengatur tata ruang Bali sehingga terjadi pembiaran seperti ini. Yang ketiga, keprihatinan ini justru dirasakan oleh “orang luar” yang peduli pada Bali dan bukan oleh orang Bali. Pertanyaannya lantas apakah tokoh-tokoh dan pemuka Bali memang tak prihatin terhadap kasus ini?

Penyusutan lahan pertanian untuk dijadikan pemukiman maupun sarana wisata memang mengkhawatirkan. Data dari kantor badan lingkungan hidup menyebut pada tahun 2012 saja luas pertanian di Bali hanya tinggal 36 persen dari luas Bali. Padahal tahun 2009 atau 3 tahun sebelumnya luas pertanian di Bali masih 62 persen dari luas Bali. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, menyebutkan lahan pertanian produktif yang beralih fungsi menjadi lahan perumahan selama kurun waktu satu tahun (2015-2016) luasnya 370 hektare. Jika pada 2015 luas lahan pertanian produktif di Bali lebih dari 80 ribu hektar, pada 2016 tinggal sekitar 79 ribu hektar.
Yang menarik, alih fungsi lahan itu merata di seluruh kabupaten di Bali. Kabupaten Tabanan yang selama ini disebut sebagai lumbung Bali, mengalami penyusutan yang paling besar sampai 158 hektar. Menyusul Kabupaten Gianyar dengan 62, 4 hektar, Kabupaten Badung dengan 53,46 hektar, Kabupaten Buleleng dengan 40 hektar.

Apa sebenarnya yang terjadi? Tidak dijalankannya peraturan daerah (Perda) tentang tata ruang Bali di kabupaten-kabupaten. Padahal dalam Perda Tata Ruang itu sudah diatur zona pemanfaatan wilayah lahan untuk pertanian dan untuk perumahan.

Pembangunan sarana wisata dan pemukiman memang sangat pesat di Bali. Ini tentu disebabkan oleh membanjirkan orang ke Bali, baik banjir turis yang membutuhkan sarana wisata mau pun banjir pendatang yang menyerbu Bali untuk mengisi tenaga kerja. Yang unik adalah di mana sarana wisata itu dibangun dan daerahnya berkembang, di sekitar itu pula dibangun perumahan-perumahan untuk para pekerja yang kebanyakan diisi oleh para pendatang. Lihat saja jalur wisata Denpasar menuju Tanah Lot dan sekitarnya, banyak perumahan dibangun oleh pengembang yang mengalih-fungsikan lahan pertanian produktif.

Di perkotaan seperti Denpasar, alih fungsi lahan tak selalu karena sektor pariwisata. Juga disebabkan kebutuhan akan perumahan karena derasnya arus pendatang, apakah itu pendatang dari Bali sendiri, artinya urbanisasi orang desa ke kota, mau pun pendatang dari luar Bali. Saat ini lahan pertanian di Kota Denpasar hanya 2.693 hektar dari 12.778 hektar luas Denpasar. Itu berarti lahan pertanian hanya tinggal 21 persen saja. Ini data per November tahun lalu, jadi masih baru.

Yang menarik alih fungsi lahan pertanian di Denpasar bukan semata-mata karena kebutuhan, tetapi juga lantaran keterpaksaan. Ada subak yang sesungguhnya tetap bertahan sebagaimana fungsinya mengayomi masalah pertanian. Tetapi karena di sana-sini ada bangunan perumahan, saluran irigasinya banyak yang terhambat bahkan sudah tak berfungsi lagi karena ditutup oleh perumahan. Akibatnya sawah yang sejak awal mau dipertahankan menjadi tidak berfungsi lagi sebagai sarana pertanian. Apa yang bisa dipetik dari sini? Lemahnya perlindungan terhadap subak. Dan yang pasti adalah pembangunan perumahan itu banyak yang menyalahi izin, bisa jadi tak ada pula IMB (izin mendirikan bangunan).

Akankah lahan pertanian di Bali tinggal kenangan? Ini kekhawatiran yang sudah lama. Apalagi ditambah fenomena bahwa regenerasi petani di Bali sudah hampir terputus. Anak-anak muda di Bali sudah tak sudi menjadi petani. Kesan petani sebagai masyarakat yang terpinggirkan karena miskin masih ada, padahal sarana pertanian sudah semakin maju dengan masuknya teklonogi dan petani pun tak miskin-miskin amat. Namun tetap saja anak-anak muda Bali lebih senang menjadi tukang antar makanan di restoran siap saji dibandingkan berkotor-kotor sebagai petani.

Perubahan sosial ini memang tak bisa dihindarkan. Hak memilih pekerjaan pun tak bisa dipaksakan. Sektor pertanian beralih ke sektor industri termasuk industri “tanpa asap” seperti pariwisata barangkali hal yang harus terjadi. Namun yang perlu dipikirkan adalah bukan sekadar lahan pertanian hilang dari Bali, tetapi tanah Bali yang asri juga ikut hilang. Ini sesungguhnya inti dari kekhawatiran Kapolda Bali. Bagaimana tebing sungai yang indah berubah menjadi villa. Alam Bali yang selalu dipuji di masa lalu tiba-tiba tak ada lagi. Kalau alam indah itu juga hilang, bagaimana turis di kemudian hari menyebut Bali itu indah? Sulit dibayangkan turis akan senang berlibur di Bali kalau isi pulau kecil ini hanyalah bangunan hotel dan villa melulu tanpa ada lagi keindahan alamnya. Budaya Bali pun akan berangsur surut karena sesungguhnya budaya Bali itu hanya bisa berkembang jika pelemahan (lingkungan) tetap mendukung.

Maka diperlukan ketegasan Pemda Provinsi Bali, yaitu jalankan Perda Tata Ruang dengan baik, pertegas izin mendirikan bangunan, lindungi subak dengan aturan yang lebih pasti untuk mengurangi alih lahan pertanian. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar