Sabtu, 05 Januari 2019

Pilih Kuningan atau Siwaratri

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

KEMBALI dua hari raya Hindu bertabrakan dalam satu hari. Pada hari Sabtu ini, dikenal sebagai Tumpek Kuningan, di mana umat Hindu merayakan sebuah hari sebagai penutup dari Hari Raya Galungan. Sementara itu pada Sabtu ini pula ada hari Siwaratri di mana umat Hindu merayakan “malam pemujaan Siwa” yang rangkaian ritualnya sudah dimulai sejak pagi. Maka timbul permasalahan, pilih mana yang harus dirayakan yang sesuai dengan konsep hari raya itu?

Tahun lalu, tepatnya Sabtu 17 Maret 2018 kita juga mengalami hal serupa. Pada saat itu Hari Raya Nyepi berbarengan dengan Hari Raya Saraswati. Pilih yang mana? Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali saat itu memberikan pedoman, keduanya harus dirayakan namun waktunya disesuaikan. Ketika itu sarannya adalah perayaan Hari Saraswati dilangsungkan pagi hari sebelum mulai Hari Raya Nyepi. Padahal ini pun bermasalah, karena kalau dirayakan dini hari sebelum Nyepi maka perayaan Saraswati seperti maju sehari karena pergantian hari dalam kalender Saka Bali adalah dimulai dengan terbitnya matahari.

Sekarang ini tabrakan itu terjadi pada Hari Raya Kuningan dengan Hari Raya Siwaratri. Tabrakan dua hari raya menurut Hindu memang bisa saja terjadi, karena kedua hari raya berdasarkan sistem hitungan yang berbeda. Kuningan dihitung berdasarkan wewarigan, bertemunya wara dengan wuku, dalam hal ini Saptawara (Saniscara) dan Pancawara (Kliwon) bertemu Wuku Kuningan. Ada pun Siwaratri berdasarkan peredaran bulan (sasih) yakni pada pengelong sasih kepitu.

Tabrakan semakin rumit karena ciri-ciri khas dari kedua hari raya itu berbeda. Kuningan adalah memuja para leluhur dengan hati yang suka ria dengan sesajen yang bercirikan tumpeng warna kuning. Ada pun Siwaratri ada ciri khas berupa tiga pantangan besar yang harus dilalui sejak pagi hari, yaitu upawasa (puasa makan), monabrata (puasa bicara) dan jagra (tidak tidur).

Dalam praktek ritual agama Hindu di Bali, termasuk pula untuk menentukan kapan hari baik dan hari pantangan, ada patokan (uger-uger) yang dijadikan pedoman. Kira-kira bunyinya adalah “dina alah oleh wuku, wuku alah oleh sasih” yang artinya “hari dikalahkan oleh wuku dan wuku dikalahkan oleh sasih”. Karena Kuningan berpedoman pada hari (dina) dan wuku, maka dalam kasus ini Kuningan harus “dikalahkan” oleh Siwaratri yang berpedoman pada sasih. Apakah itu akan dipilih?
Tidak semua pemeluk Hindu di Bali merayakan Kuningan. Ada sekelompok warga yang tidak merayakannya. Dalam kasus ada tradisi yang memang tidak merayakannya, tentu tak masalah kalau hari ini tabrakan dua hari raya. Namun kalau kedua-duanya mesti dirayakan, kita bisa memilihnya dengan meneliti simbol-simbol dari kedua hari tersebut.

Hari Siwaratri sebagai malam pemujaan Dewa Siwa mempunyai tiga pantangan, yakni monabrata, upawasa dan jagra. Monabrata adalah tidak berbicara sedang upawasa adalah berpuasa. Ada pun jagra adalah tidak tidur. Ini sejatinya simbol-simbol pengendalian diri. Monabrata yang dimaksudkan agar kita berbicara seperlunya saja. Upawasa adalah menahan nafsu buruk. Sedang jagra kita diharapkan selalu berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan buruk sehingga tak sampai merusak keheningan kita dalam melakukan pembersihan jiwa. Kalau tiga pantangan ini intinya adalah pengendalian diri, maka kita bisa saja menguncarkan doa pada persembahyangan dalam rangka merayakan Kuningan. Tetap bisa memuja leluhur namun hindari pembicaraan yang tak bermanfaat. Tetap bisa menyantap nasi tumpeng kuning sebagai prasadam Hari Kuningan tetapi tidak melakukan pesta besar yang bermewah-mewah. Dalam hal berjaga terhadap kemungkinan buruk justru kita mendapat dukungan dari Kuningan karena ada simbol tamiang (prisai) sebagai benteng pengendalian diri. Jadi sesungguhnya tidak masalah.

Mari kita rayakan keduanya dengan saling mengisi. Pengendalian tetap kita lakukan dengan tidak berhura-hura. Kedua hari raya yang menyatu ini baik sekali dijadikan pedoman buat para calon pemimpin yang akan bertarung dalam pemilu serentak nanti. Jangan terlalu banyak memberi janji-janji muluk, lakukan monabrata dalam arti batasi berbicara yang hanya memberi angin sorga. Lakukan upawasa, mengekang nafsu-nafsu berkuasa yang hanya untuk mementingkan kelompok. Kekuasaan harus sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Dan jagra harus senantiasa dilakukan, waspada terhadap godaan yang bisa menghancurkan jabatan, apalagi godaan melakukan korupsi, jika kelak terpilih. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar