Sabtu, 26 Januari 2019

Krama Adat Bisa Pindah Domisili

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

KALAU hal ini terjadi, warga desa adat bisa dengan bebas pindah domisili ke desa adat lainnya, maka ini tergolong pembaruan yang  luar biasa di Bali. Celah adanya perpindahan domisili ini nampak dalam Ranperda Desa Adat yang kini sedang dibahas DPRD Bali.
 
Sekitar dua tahun yang lalu, pembicaraan tentang warga adat yang bisa pindah domisili ini sudah ada di Kabupaten Badung. Ketika itu ada rencana pembaruan awig-awig di seluruh Kabupaten Badung yang membolehkan krama tamiu untuk berubah status menjadi krama desa. Kini di dalam Ranperda sudah ditetapkan bahwa warga yang ada di desa adat terdiri dari 3 jenis, yakni krama desa, krama tamiu dan tamiu. Ketika jenis warga ini diatur hak dan kewajibannya.

Krama desa adalah warga desa yang asli. Krama tamiu adalah penduduk beragama Hindu tetapi bukan warga asli di desa itu. Sedangkan tamiu (tanpa embel-embel krama) adalah pendatang yang bukan beragama Hindu tetapi menetap dan punya rumah di desa adat itu. Hak dan kewajiban krama desa berlaku penuh dalam hal pelemahan, pawongan dan parahyangan. Hak krama tamiu terbatas. Sedang hak tamiu hanya pada pelemahan dan pawongan, tidak ikut dalam parahyangan.

Hak dan kewajiban itu tentu terkait pula dengan fasilitas yang ada di desa adat itu. Apa contohnya? Terkait dengan Tri Kahyangan dan kahyangan jagat lain kalau ada. Kemudian masalah kuburan yang selama ini di Bali disebut kuburan adat. Warga pun wajib pula mendapatkan fasilitas dalam urusan kematian termasuk Pitra Yadnya. Artinya jika di antara mereka ada yang meninggal dunia wajib dikuburkan di setra desa adat itu.

Jika krama tamiu boleh pindah menjadi krama desa, maka ini terobosan besar. Hak dan kewajibannya yang semula terbatas untuk krama tamiu, menjadi penuh dan utuh setelah menjadi krama desa. Ini meringankan penduduk dalam kewajiban yang disebut ayah-ayahan dan akan memberi solusi baru dari berbagai kendala yang dihadapi warga Bali di era moderen ini.


Contoh jelasnya begini. Ada seseorang yang berasal dari Buleleng tetapi tinggal di perumahan baru di kawasan Desa Adat Buduk, Kabupaten Badung, karena bekerja di sektor pariwisata. Orang itu tentu masih terdaftar sebagai krama desa adat di Buleleng. Segala ayah-ayahan (kewajiban adat) masih melekat di desanya di Buleleng. Kalau ada piodalan di Pura Trikahyangan dia harus ikut ngayah, kalau ada warga desanya yang meninggal dunia, dia harus datang ikut prosesi penguburan. Bayangkanlah dia harus sering minta izin untuk pulang ke Buleleng, sementara di tempatnya bekerja dia tak boleh meninggalkan tugas. Kalau dia misalnya setingkat manajer maka pasti prestasinya menjadi rendah di antara manejer yang lainnya.

Di Desa Adat Buduk dia terdaftar pula sebagai krama tamiu meski hak dan kewajibannya terbatas – keterbatasan ini akan diatur oleh awig-awig. Nah, kalau dia bisa pindah dari krama tamiu dan berstatus krama desa, maka fasilitas komplit akan diterimanya di Desa Adat Buduk. Pastilah lebih aman. Kalau pun ada ayah-ayahan adat itu masih di kawasan tempat tinggalnya. Tidak banyak masalah. Jadi memang lebih baik dia pindah warga adat dari Buleleng ke Buduk dan putus hubungan dengan warga adat di Buleleng.

Bagaimana dari sudut agama Hindu meninggalkan desa adat yang lama menjadi warga desa adat yang baru? Tidak ada masalah. Karena sebagai warga desa adat kewajiban itu adalah memuja Tri Murti, ikut berbaur dengan warga asli jika ada piodalan di Pura Desa, Pura Puseh maupun Pura Dalem. Kalau ada keluarganya yang meninggal dunia, bisa dikuburkan di desa adat yang baru. Akan halnya di desanya yang lama mungkin ada Pura Kawitan, entah itu pura dadia atau pura swagina lainnya, itu tak bisa dilepas. Toh tak banyak menyita waktu untuk ayah-ayahan, lagi pula pura semacam itu tak terkait dengan awig-awig adat.

Kalau semangat Ranperda Desa Adat mengarah ke masalah ini dengan diperlonggarnya pindah domisili sebagai krama adat dan mengurangi krama tamiu, maka ini sangat membantu warga Bali. Tentu awig-awig yang disusun nanti tidak memberatkan perpindahan ini, misalnya, dengan mengenakan penanjung batu yang mahal. Perlakukan saja seperti perpindahan penduduk yang dikelola “desa dinas” seperti mengurus KTP dan sebagainya. Tak ada beban yang harus dibayar mahal. Majelis Desa Adat harus mengatur perpindahan ini lebih rinci agar masyarakat tidak menjadi korban. Bukankah peraturan itu seharusnya selalu berpihak ke masyarakat, bukan menjadi beban. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar