Sabtu, 12 Januari 2019

Larangan Berkaitan Panca Wali Krama

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

PERLU disosialisasikan kepada umat Hindu di seluruh Bali. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali sudah menyelenggarakan paruman madya berkaitan dengan upacara besar Panca Wali Krama yang digelar di Pura Besakih pada 6 Maret 2019 mendatang. Ini upacara besar sepuluh tahun sekali, upacara penting untuk “menyucikan alam Bali” dan memohon kerahayuan jagat. Karena itu pantangannya pun sangat berat untuk penduduk Bali terutama berkaitan dengan upacara kematian, dalam hal ini ritual ngaben.

Disebutkan dalam pantangan itu, untuk kesucian dan keberhasilan Yadnya Panca Wali Krama tidak diperkenankan umat melakukan ’’atiwa-tiwa” atau ngaben dalam rentang waktu dari tanggal 20 Januari s/d 4 April 2019. Kenapa waktunya begitu panjang? Persiapan karya sudah dimulai jauh lebih awal karena banyak yang harus dikerjakan. Sedangkan usai Panca Wali Krama tentu masih ada runtutan upacara seperti “ngaturang penganyar” dan memberi kesempatan umat seluas-luasnya menghaturkan bakti.

Lalu bagaimana kalau dalam rentang waktu itu ada umat Hindu yang meninggal dunia? Paruman madya memberikan solusi agar penguburan jenazah tidak dilanjutkan dengan atiwa-tiwa atau ngaben. Solusinya adalah jenazah cukup dikuburkan di setra dengan status “mekingsan di pertiwi”. Sesuai dengan arti kata itu jenazah cukup “dtitipkan di bumi” tetapi tidak disertai dengan tirta pengentas. Kalau memakai bahasa sederhana, belum ada upacara “mengirim roh” ke alam sunia, roh yang meninggal baru dititipkan saja. Penguburan itu pun dilakukan pada sore hari. Istilah ini di beberapa desa disebut “ngemaling” dan umumnya tidak ada bunyi kentongan sebagai pertanda warga adat ikut ke kuburan. Namanya saja “ngemaling” artinya mencuri, secara formal boleh dikatakan warga adat tak ada yang tahu.

Khusus bagi sulinggih dan pemangku ketentuan ini tak berlaku. Apa sebabnya? Sulinggih tidak boleh jenazahnya dikubur. Jenazah sulinggih harus dibakar. Bahkan sulinggih yang tinggal di desa-desa yang tak boleh membakar jenazah, meminjam kuburan desa tetangga atau di era sekarang ini dibawa ke krematorium. Lagi pula ada ketentuan bahwa sulinggih tidak terkena cuntaka dalam hal kematian.

Dalam hal pemangku memang ada tradisi setempat. Ada desa yang memperlakukan pemangku seperti sulinggih dalam ritual kematiannya. Kalau seperti itu tentu tak masalah. Tetapi ada desa di mana memperlakukan pemangku sama dengan walaka (orang kebanyakan) dalam hal ritual kematian, bahkan diikutkan dalam program ngaben massal. Jika ini yang diikuti tentu berlaku pula pantangan seperti masyarakat kebanyakan.


Bagaimana kalau ada jenazah yang belum diaben, termasuk yang meninggal dunia pada rentang waktu pantangan ngaben itu? Hasil paruman madya memutuskan agar krama desa setempat minta “tirta pemarisudha” di Pura Dalem Puri Besakih. Tirta itulah dipercikkan ke kuburan atau di atas makam orang yang dikuburkan. Hal ini sudah berlaku sejak dulu, begitu Panca Wali Krama berlangsung ada “pemarisudha” di kuburan desa adat.

Keputusan yang dihasilkan oleh paruman madya ini agaknya mengacu kepada konsep cuntaka dalam ritual agama Hindu di Bali. Cuntaka kematian bisa membatalkan Dewa Yadnya karena dianggap mengotori pelemahan. Namun dalam perkembangan di masyarakat, ada banyak desa yang membatasi cuntaka hanya pada masalah keluarga, bukan menyangkut pelemahan. Bahkan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu, konsep cuntaka merujuk pada Lontar Catur Cuntaka. Di sana disebutkan, cuntaka kematian hanya berlaku untuk keluarga yang kematian dan paling jauh pada tingkat mindon. Tidak ada suatu wilayah di luar pekarangan rumah duka yang menjadi “kotor” hanya karena ada kematian. Jadi, yang cuntaka hanyalah rumah duka, tempat di mana jenazah disemayamkan dan keluarga yang meninggal sampai pada garis mindon.

Kalau konsep ini digunakan, seharusnya tidak ada pantangan atiwa-tiwa (ngaben) selama Panca Wali Krama. Namun para sulinggih di PHDI Bali nampaknya sepakat upacara besar 10 tahun sekali ini bolehlah dibuat pantangan. Biaya ritual begitu besar, yang terlibat begitu banyak, Bali perlu “lebih suci” jika larangan ngaben itu diberlakukan. Memang tujuannya baik, tapi mari kita lihat apa yang terjadi nanti. Kalau terjadi perbedaan pendapat harus dicari jalan tengah, toh keputusan ini ada klausul: Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Yang penting tak perlu ada ribut-ribut jika ada perbedaan pendapat. Ini ritual besar yang utama adalah ketulus-ikhlasan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar