Senin, 07 Januari 2019

Segera Tebit Novel Lentera Batukaru

Cover Novel ini Masih Sementara
Astungkara, bertepatan pada ulang tahun saya ke 68, April 2019, novel saya terbaru akan terbit. Judulnya “Lentera Batukaru”, sebuah novel semi biografi dengan setting politik tahun 1965 penumpasan PKI, setting politik 1971 Pemilu pertama Orde Baru dengan penggolkaran di Bali, juga disertai pergolakan kasta. Bercampur antara drama keluarga, pergolakan kasta dan ritual Hindu, serta politik kekerasan di Bali. Berikut ini sebagian cuplikannya:

Cuplikan dari Bab 2: Marhaen Menang Pancasila Jaya
HAH... apakah saya salah lihat? Sungguh suatu kejadian yang mengerikan dan pemandangan yang aneh saya rasakan di pagi itu. Ada dua orang yang menggotong orang sekarat, seperti menggotong babi yang mau disembelih. Orang itu masih hidup kelihatan dari perutnya yang kembang kempis, darah meleleh di tubuhnya. Ya, ampun kok digotong seperti itu? Penggotong itu dikawal oleh empat tentara bersenjata, yang berjalan di belakangnya. Rombongan itu datang dari desa di sebelah timur dusun dan akan menuju markas tentara di dekat kantor PNI.
Saya melongo, tapi saya terus menonton. Saya tak punya perasan takut waktu itu, aneh juga. Hanya merasa heran, cuma itu. Ketika sampai di sekolah, saya dipanggil Pak Dedeh.
“Putu, apa anak-anak IPPI bisa diberikan surat keterangan simpatisan GSNI?”
“Untuk apa Pak, surat keterangan?”
“Ada pengumuman, mulai minggu depan ada pemeriksaan di jalan-jalan oleh tentara. Kalau tak punya kartu identitas partai akan ditangkap, karena artinya itu pasti PKI yang sudah menghilangkan kartu partainya. PKI dan akar-akarnya akan dibasmi, istilahnya kena garis.”
Saya lama terdiam.
***
Suatu pagi, ketika menuju sekolah, saya melihat ada orang sebaya saya yang tergeletak di depan rumah yang ditempati tentara. Orang itu sudah sekarat, tapi dari mulutnya masih ada suara berdesis, persis seperti babi yang sudah digorok. Saya mendekati dari jarak sekitar 3 meter – aneh kok saya berani.
Seorang tentara dengan mengenakan baju kaos mengambil air got dengan ember, lalu menyiram kepala anak itu. Ketika masih ada suara mendesis, tentara itu menendang kepala si anak sekarat.
Duh. Saya kemudian menutup muka saya karena kagetnya. Ternyata si anak sekarat itu adalah murid SLUB yang suka pidato dalam acara “kampanye” dan yang berteriak di malam hari di warung depan kost saya, malam-malam di awal keributan ini.
Mobil jeep datang, pintu belakang dibuka. Dua tentara menggotong anak sekarat itu dan dilemparkan begitu saja ke atas mobil. Jeep lalu bergerak ke arah barat, ya, pastilah menuju pantai untuk “membuang” anak itu.

Cuplikan dari Bab 3: Anjing Menggonggong Dini Hari
Tiba-tiba ada yang menggedor pintu rumahnya.
Mbok Ngarti yang terjaga paling dulu.
Sire nike?” tanyanya dalam bahasa Bali, yang artinya, siapa itu?
“Tentara. Ayo yang PKI segera keluar,” jawab seseorang, memakai bahasa Indonesia.
Mbok Ngarti seperti copot jantungnya. Ia kaget bukan main. Malam begitu gelap. Ia langsung bangun dari tempat tidur dan menggapai-gapai meja kecil di samping tempat tidur. Ia mau meraih korek api.
Tapi sinar lampu senter sudah masuk dari celah pintu rumah. Dan seketika pintu itu didobrak sampai rubuh. Pintu rumahnya itu memang sudah rapuh bahkan sebenarnya tidak pernah dikunci. Hanya diganjal kayu kecil dari dalam.
“Mana yang PKI. BTI juga PKI, sama aja....” teriak seorang tentara sambil mengarahkan senternya ke tempat tidur. Nyoman Mastra terkesiap bangun. Entah karena teriakan tentara itu, entah karena sinar senter yang terang di kegelapan itu, atau malah karena anak perempuannya, Made Kerti, yang menangis keras.
“Apa salah saya Tuan?” Mbok Ngarti bertanya di antara ketakutan.
“Suamimu BTI, kaki tangan PKI. Pemberontak, pembunuh jendral di Jakarta.”
“Suami saya orang gunung....”
Made Kerti bangun. Bocah ini kalem saja, tidak menangis seperti bocah lain ketika bangun tak melihat ibunya. Barangkali dia sudah memahami situasi apa yang menimpa keluarganya. Mbok Ngarti menghampiri anaknya itu dan menggendongnya.
“Siapa kira-kira yang melaporkan Bli?”
Mbok Ngarti lama tak menjawab pertanyaan saya.

Cuplikan dari Bab 8: Drama Politik yang Menyebalkan

Usai pencoblosan Made Arya mengundang orang kost untuk minum-minum bir. Saya tak suka bir karena pahit rasanya. Tetapi dipaksa dan tetap dapat bagian segelas. Tak mampu saya habiskan sementara yang lain malah menambah. Meski minum kurang dari segelas, malamnya perut saya mules. Saya tak tahu apa karena bir itu atau karena makan rujak kuah pindang. Sulit saya tidur.
Tiba-tiba pintu kamar digedor.
“Putu Setia... keluar... keluar... sekarang juga...”
Saya mendengar Made Arya berteriak sambil menggedor pintu. Padahal pintu tak terkunci karena memang sejak dulu tak pernah ada kuncinya. Saya dengar pula ada suara orang-orang lain. Begitu pintu saya buka, saya melihat Made Arya sudah dipegang oleh dua orang lelaki.
“Kamu mencoblos PNI ya? Bangsat kamu, sudah saya ingatkan, coblos Golkar...” Arya berteriak tetapi badannya yang kekar itu masih dipegang orang.
Istri kedua Made Arya rupanya datang, memakai daster.
“Dia coblos PNI, Banjar ini sudah menyatakan siap memenangkan Golkar seratus persen. Eh ada dua orang yang mencoblos lain. Yang satu mencoblos partai Islam... apa itu... PSII.. apalah. Satu lagi coblos PNI, bangsat ini yang nyoblos.,.. huk... huk...”
Arya muntah kecil, sepertinya dia lagi mabuk.

Cuplikan Bab 16: Menikah Bersanding dengan Keris
Keris itu kemudian dielus-elus oleh Ngurah Artha Wijaya.
“Mohon maaf, kenapa pengantin pria harus diwakili oleh keris?” tanya saya. Tentu dalam bahasa Bali pula.
“Ini adalah tradisi di keluarga puri. Ini soal adat istiadat yang harus kita pertahankan di Bali,” jawan Ngurah Artha.
“Apa maksudnya?” Ini pertanyaan Wayan Sunawa.
“Ya, ini masalah adat dan mempertahankan tradisi. Anak kami dan anak ibu berbeda kastanya. Kasta kami lebih tinggi.”
Saya melihat wajah Wayan Sunawa tegang. Saya menepuk pahanya untuk memberi kode supaya tenang dan bersabar.
“Bapak masih mempertahankan kasta?”
Akhirnya Sunawa benar-benar tegang dan suaranya gemetaran.
Ngurah Artha Wijaya nampaknya kaget. Begitu pula ibu Ngurah Nurjaya dan beberapa keluarga puri yang ikut duduk di sana, kaget karena suara Wayan Sunawa agak keras dan ini tentu menyimpang dari tradisi basa-basi yang penuh kelembutan jika ada prosesi pernikahan.
“Saya cuma berpedoman kepada adat di puri ini...” kata Ngurah Artha.
Saya lantas minta izin bicara.
“Begini bapak ibu semuanya, keluarga puri yang kami muliakan. Tidaklah pantas mempelai wanita yang kebetulan keluarga kami harus disandingkan dengan keris. Ini tentu saja, mohon maaf semuanya, adalah bentuk penghinaan. Manusia itu semuanya ciptaan Hyang Widhi, tak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Perilakunya yang membuat adanya tinggi rendah itu.”
Semuanya diam.
“Kalau adik saya disandingkan dengan keris, batalkan saja perkawinan ini....”

2 komentar:

  1. Semoga bukunya terbit sesuai jadwal

    BalasHapus
  2. Mantap....seperti monolog autobio...kesannya sprt nyata
    Atau mmng berdasar diary..
    Suksm.

    BalasHapus