Senin, 28 Januari 2019

Hukum dan Kemanusiaan

Mpu Jaya Prema

MENARIK mengikuti perkembangan hukum belakangan ini terutama jika dikaitkan dengan sisi kemanusiaan. Semuanya mengandung azas keadilan di sana. Hukum tanpa keadilan tentulah tak ada artinya, bukankah seseorang yang dihukum itu karena sebelumnya diadili. Kemanusiaan tanpa rasa adil juga jadi aneh, bukankah sila dalam Pancasila berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil dan beradab itu yang memang luar biasa sulitnya.

Kasus terbaru yang bikin gaduh adalah batalnya pembebasan gembong teroris Abu Bakar Ba’asyir dari penjara. Selain bikin gaduh kasus ini juga menunjukkan dengan gamblang kalau pemerintah sepertinya tak satu suara dalam penegakan hukum. Atau yang tumpang tindih dan mungkin pula ada yang memanfaatkan panggung dengan cara yang tak benar.

Rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir diucapkan pertama kali oleh Yusril Izha Mahendra, penasehat hukum pasangan capres/cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin. Yusril menyebutkan Presiden Jokowi sudah setuju pembebasan Ba’asyir karena alasan kemanusiaan. Kemudian Presiden Jokowi sendiri menjelaskan hal itu, lagi-lagi kaitannya karena pertimbangan kemanusiaan. Usia Ba’asyir sudah tua dan ustad perlu berkumpul dengan keluarganya untuk perawatan kesehatan. Banyak yang memuji Jokowi karena sangat peka pada masalah kemanusiaan.

Namun kritik berdatangan apalagi video Ustad Ba’asyir ketika dijenguk Yusril Izha Mahendra muncul di televisi dalam keadaan sehat. Timbul kegaduhan dan protes kenapa seorang gembong teroris harus dibebaskan karena alasan kemanusiaan? Padahal 300 lebih nyawa melayang akibat aksi terorisme di mana Ba’asyir sebagai pembawa idenya, bahkan memerintahkan walau Ma’asyir tak mengakui hal itu. Bahkan pemerintah Australia resmi memberikan protes.

Urusan pembebasan yang dikaitkan dengan unsur kemanusiaan ternyata menjadi kabur ketika Menko Polhumkam Wiranto menyebutkan keluarga Abu Bakar Ba’asyir memang sudah lama mengajukan permohonan pembebasan dengan alasan usia dan kesehatan. Permohonan itu memenuhi syarat karena Ba’asyir sudah menjalani 2/3 hukuman. Namun karena namanya saja “bebas bersyarat” ada peraturan untuk narapidana teroris, yakni menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila. Nah, Ba’asyir harus menandatangani hal itu sebagai syarat.
Lalu masalah pun jadi jelas ketika Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebutkan, Ba’asyir sudah berhak mendapatkan predikat bebas bersyarat sejak Desember lalu asalkan menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila. Jadi faktor kemanusiaan betul-betul tidak ada kaitannya dengan pembebasan ustad sepuh ini. Belakangan pun Jokowi tak lagi mengkaitkan dengan unsur kemanusiaan dan fokus pada istilah bebas bersyarat dengan pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila.

Jika begitu halnya, urusan kemanusiaan memang tak perlu dikaitkan dengan hukuman seseorang yang sudah dinyatakan final oleh Mahkamah Agung. Hukum harus ditegakkan tak peduli dengan alasan kemanusiaan, seperti usia sudah tua, sakit-sakitan dan seterusnya. Toh fasilitas di penjara memungkinkan narapidana sakit mendapat pengobatan.

Sekarang beralih ke kasus remisi yang diterima I Nyoman Susrama  terpidana seumur hidup.  Susrama adalah otak pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa. Dulu tidak ada remisi apa pun untuk terpidana seumur hidup. Tapi ada peraturan baru yang menyebutkan terpidana seumur hidup bisa dievaluasi untuk mendapatkan apa yang disebut “remisi perubahan” setelah 5 tahun menjalani hukuman. Dengan “remisi perubahan” itu maka penjaranya menjadi 20 tahun, hukuman tertinggi untuk bilangan angka. Dengan hukuman berjangka tahunan ini harapan bisa bebas akan ada, apalagi ada remisi hari raya keagamaan dan remisi hari ulang tahun proklamasi. Namun dalam aturan ini ada syaratnya, yakni, berkelakuan baik selama di tahan dan usia yang lanjut. Susrama usianya konon lebih dari 60 tahun dan kelakuannya baik bahkan sangat baik dalam membantu usaha-usaha dalam penjara. Karena itu permohonannya yang berkali-kali, dikabulkan pemerintah atas nama kemanusiaan.

Jadi, ternyata ada juga faktor kemanusiaan dalam kasus ini. Jika begitu, bagaimana kalau dibuat saja aturan yang rinci, hukuman jenis apa saja dan terhukum kelas apa saja yang bisa dikaitkan dengan kemanusiaan? Bagaimana dengan hukuman mati?

Ada cerita lama yang menarik sebagai bahan renungan bagaimana unsur kemanusiaan diabaikan dalam hukum. Ini menimpa Ibu Sumiarsih yang dieksekusi mati dengan menembaknya setelah ibu sepuh ini menjalani hukuman 20 tahun. Sumiarsih ditembak mati pada 18 Juli 2008 untuk kejahatan pembunuhan yang dilakukan pada 13 Agustus 1988.

Sumiarsih dieksekusi bersama anak kandungnya, Sugeng. Keluarga ini melakukan kesalahan berat dengan membunuh keluarga Letkol (Mar) Purwanto di Surabaya. Keluarga pembunuh selain Sumiarsih dan Sugeng adalah Djais Adi Prayitno (suami Sumiarsih), Adi Saputro (menantu), Nano (keponakan Sumiarsih), dan Daim (orang kepercayaan). Keluarga yang terbunuh selain Purwanto dan istrinya, juga kedua anaknya dan satu keponakan. Pembunuhan dipicu oleh permasalahan utang-piutang dalam pengelolaan bisnis penginapan di komplek prostitusi Dolly.

Kematian harus ditebus dengan kematian. Semua keluarga Sumiarsih dihukum mati. Namun suami Sumiarsih bisa “mati dengan wajar”, meninggal dunia di penjara karena sakit. Sumiarsih lalu berdoa agar bisa meninggal dengan cara seperti itu. Doa yang begitu panjang sampai 20 tahun. Pertobatan tak kenal waktu. Para sipir di LP Medaeng, tempat Sumiarsih ditahan, sangat akrab dengan terpidana ini dan dijadikan layaknya ibu teladan. Haryo Abrianto, satu-satunya anak Purwanto yang masih hidup, juga sudah memaafkan Sumiarsih. Kemanusiaan yang beradab seperti sila Pancasila nampaknya sudah hadir. Namun, hukum yang adil jadi alasan untuk menembak mati Sumiarsih, di tengah malam sunyi.

Sudah menjalani 20 tahun sebagai tahanan dengan penantian bisa “mati dengan wajar” toh tak ada unsur kemanusiaan yang disematkan pada Sumiarsih ketika ia akan ditembak. Tak ada pertimbangan usia yang sudah sepuh. Tak ada pertimbangan kelakuan baik. Bahkan hukuman yang dijalani selama 20 tahun, yang sesungguhnya bisa disebut hukuman tambahan yang menyiksa batin, tak juga dipertimbangkan dari sisi kemanusiaan.

Kematian adalah hak Tuhan. Bagaimana kalau hukuman mati dihapus demi kemanusiaan, sebagaimana banyak negara lain melakukannya?

(Edisi pendek tulisan ini dimuat Koran Tempo 26 Jan 2019 lihat judul Kemanusiaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar