Sabtu, 26 Januari 2019

Kemanusiaan

Putu Setia | @mpujayaprema

INI bukan sorotan tentang Pancasila, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Saya tak mau mencampuri urusan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, lembaga yang kurang saya kenal kiprahnya. Ini soal kegaduhan rencana pembebasan narapidana teroris Abu Bakar Ba’asyir.
Rencana pembebasan itu diucapkan sendiri oleh Presiden Jokowi dengan dalih kemanusiaan. Usia ustad sudah tua dan perlu berkumpul dengan keluarganya untuk perawatan kesehatan. Namun protes berdatangan bahkan dari pemerintah Australia secara resmi.

Tiba-tiba ada koreksi dari Menko Polhumkam Wiranto yang menyebutkan keluarga Abu Bakar Ba’asyir memang sudah lama mengajukan permohonan pembebasan dengan alasan usia dan kesehatan. Presiden Jokowi memahami masalah kemanusiaan itu. Hanya saja Ba’asyir  bisa bebas bersyarat jika menandatangani kesetiaan pada NKRI dan Pancasila.

Lalu masalah pun tambah jelas ketika Menkum HAM Yasonna H Laoly menyebutkan, Ba’asyir sebenarnya sudah berhak mendapatkan bebas bersyarat sejak Desember lalu asalkan menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila. Jadi faktor kemanusiaan betul-betul tidak ada kaitannya dengan pembebasan ustad sepuh ini.

Jika begitu halnya, urusan kemanusiaan dan menegakkan hukum tak bisa dikaitkan. Dua hal yang berbeda. Lalu bagaimana menjelaskan remisi yang diterima I Nyoman Susrama,  terpidana seumur hidup, otak pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa? Dia dapat remisi khusus dari Presiden Jokowi dan hukuman pun menjadi 20 tahun. Alasan Menteri Yasonna begini: Susrama berkelakuan baik di penjara, dan dia sudah sepuluh tahun menjalani hukuman, usianya pun di atas 60 tahun. Apakah dalam kasus ini unsur kemanusiaan dikaitkan? Tersirat seperti itu walau  memang ada peraturan yang membenarkan.

Ada cerita lama yang menarik sebagai bahan renungan bagaimana unsur kemanusiaan diabaikan dalam hukum. Menimpa Ibu Sumiarsih yang dieksekusi mati setelah ibu sepuh ini menjalani hukuman 20 tahun. Sumiarsih ditembak mati 18 Juli 2008 untuk kejahatan pembunuhan yang dilakukan pada 13 Agustus 1988.

Sumiarsih dieksekusi bersamaan dengan anak kandungnya, Sugeng. Keluarga ini melakukan kesalahan berat dengan membunuh keluarga Letkol (Mar) Purwanto di Surabaya. Keluarga pembunuh selain Sumiarsih dan Sugeng adalah Djais Adi Prayitno (suami Sumiarsih), Adi Saputro (menantu), Nano (keponakan Sumiarsih), dan Daim (orang kepercayaan). Keluarga yang terbunuh selain Purwanto adalah istrinya, kedua anaknya dan satu keponakan. Pembunuhan dipicu oleh permasalahan utang-piutang dalam pengelolaan bisnis di komplek prostitusi Dolly.

Nyawa dibalas dengan nyawa. Semua keluarga Sumiarsih dihukum mati. Namun suaminya bisa “mati dengan wajar”, meninggal dunia di penjara karena sakit. Sumiarsih berdoa agar bisa meninggal dengan cara seperti itu. Doa yang begitu panjang sampai 20 tahun. Para sipir di LP Medaeng, tempat Sumiarsih ditahan, menjadikan dia “ibu teladan” dalam hal kesantunan, ketaatan berdoa dan bekerja. Haryo Abrianto, satu-satunya anak Purwanto yang masih hidup, juga sudah memaafkan Sumiarsih. Kemanusiaan yang beradab sepertinya sudah hadir. Namun, keadilan menjadi alasan untuk menembak mati Sumiarsih.

Mungkin perlu ada aturan lebih rinci mengkaitkan keadilan dengan kemanusiaan. Berkelakuan baik saja dapat remisi, kenapa yang divonis mati tak ada evaluasi, lalu dibiarkan menanti bertahun-tahun “hanya untuk mati”. Yang paling ideal – menurut saya – memang menghapus hukuman mati demi kemanusiaan.

(Koran Tempo 26 Januari 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar