Senin, 21 Januari 2019

Sarbagita Masuk Kandang

Mpu Jaya Prema

AKHIRNYA bus Sarbagita dikandangkan alias tidak lagi berjalan. Bus itu diparkir di halaman kantor Dinas Perhubungan Bali. Program angkutan umum di Bali pun gagal total dan tidak diketahui lagi apa rencana selanjutnya.
 
Setiap tahun Trans Sarbagita yang ide awalnya menjadi pelopor angkutan umum perkotaan merugi. Memang di seluruh dunia tidak ada angkutan perkotaan yang untung, semuanya disubsidi pemerintah, bahkan di beberapa kota ada yang gratis. Di Bali Trans Sarbagita direncanakan untuk angkutan kota terpadu, menghubungkan empat kota sesuai namanya Sarbagita. Yakni, Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Kini hanya tinggal kenangan. Padahal tahun 2018 lalu program angkutan umum ini mendapat subsidi Rp 13 Milyar dan tahun sebelumnya lebih banyak lagi sampai Rp 17 Milyar. Kini jadi mubazir dan sia-sia.

Kenapa Trans Sarbagita bangkrut? Karena penumpangnya tak ada. Tidak seluruh jalan di perkotaan dilalui oleh bus besar ini, karena memang jalan di perkotaan juga tak mendukung. Koridornya terbatas, tidak seperti di kota lain yang seluruh akses jalan bisa dilalui angkutan kota. Karena keterbatasan jalan yang dilalui maka proyek Trans Sarbagita ini didukung oleh bus mini yang disebut sebagai bus pengumpan. Nah, bus mini pengumpan ini juga bermasalah, sehingga lengkaplah kegagalan Sarbagita. Ditambah lagi masyarakat Bali tak pernah melirik angkutan umum, mereka lebih senang naik sepeda motor atau mobil pribadi.

Sampai saat ini dengan gubernur Bali yang baru, Wayan Koster, belum ada konsep bagaimana menata angkutan umum di perkotaan, khususnya Denpasar. Walikota pun juga tak punya konsep apa-apa. Padahal dalam hitungan moderen, sebuah kota sedang dan besar diperlukan lebih banyak angkutan kota untuk menguragi kemacetan. Sampai 70 persen seharusnya ada angkutan kota. Namun untuk Bali keadaan itu sangat memprihatinkan, hanya sekitar 1 persen angkutan publik.

Menurut Ketua DPD Organda Bali, Ketut Eddy Dharmaputra,  di Bali pernah ada 1.024 kendaraan yang layak disebut angkutan publik. Sekarang tinggal 300-an buah. Itu pun akan segera menyusut karena ada aturan di Bali kendaraan untuk angkutan umum non-pariwisata harus berumur kurang dari 25 tahun, sedangkan untuk angkutan wisata kurang dari 10 tahun. Bisa dibayangkan kemacetan seperti apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 10 tahun mendatang jika angkutan umum tak diadakan dan orang mau tak mau harus menggunakan sepeda motor atau mobil pribadi. Sekarang saja macetnya sudah terasa. Belum lagi kalau ada jalan-jalan yang ditutup dengan alasan ngaben atau piodalan di pura.


Sementara itu pertumbuhan kendaraan bermotor luar biasa di Bali.  Data Biro Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2014 menyebutkan ada 3.003.688 unit kendaraan bermotor.  Setahun kemudian pada 2015, angka itu sudah menjadi 3.505.984 unit. Dari jumlah itu sebanyak 3.015.287 sepeda motor. Kenaikannya rata-rata 16 persen setahun. Bisa jadi angka di akhir tahun 2018 lalu sudah melejit ke angka 4 juta sesuai dengan jumlah penduduk Bali. Padahal Bali hanya ada 8 kabupaten dan satu kotamadya. Di Jawa Tengah ada 38 kabupaten/kota, ternyata sepeda motornya di bawah Bali. Ini berarti hampir semua penduduk Bali yang dewasa punya sepeda motor. Dan perlu diketahui pula, yang tercatat dalam data ini adalah kendaraan bermotor yang sudah berplat Bali (DK), sementara masih ada ribuan kendaraan yang berplat luar Bali beroperasi di sini.

Kota paling macet saat ini adalah Jakarta, meski pun kawasan Kuta hampir menyerupai kemacetan Jakarta. Namun pemerintah pusat dan provinsi DKI Jakarta sudah merancang penambahan sarana jalan dan transportasi alternatif untuk mengurangi kemacetan itu. Sarana jalan itu berupa pembangunan jalan tol di perkotaan dengan sistem jalan layang untuk menambah jalan tol yang sudah ada. Juga ada kereta bawah tanah dan ada kereta layang yang tahun ini sudah beroperasi. Sementara bus Trans Jakarta terus ditambah armada dan jaringannya. Dengan angkutan alternatif ini diharapkan orang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum, sementara pembatasan kendaraan pribadi termasuk sepeda motor terus diperketat. Dengan begitu meski saat ini masih ada kemacetan, sudah terbayang suatu saat kemacetan akan berkurang.

Bagaimana dengan Bali? Belum ada rencana apa-apa untuk angkutan umum di perkotaan. Sedang untuk antar-kota sudah mulai ada pembuatan jalan tembus untuk menerobos tikungan di sekitar Bedugul-Singaraja sehingga jarak tempuh Denpasar-Singaraja bisa lebih cepat. Selebihnya tinggal wacana saja, seperti membangun jalan tol Denpasar/Canggu – Soka – Seririt yang dikombinasikan dengan Canggu – Soka -- Gilimanuk. Juga ide sayup-sayup pembangunan kereta api. Yang jelas inrastruktur di Bali sangat kurang.

Bayangkan kalau tol Anyer – Jakarta – Surabaya – Banyuwangi sudah selesai, maka dampaknya sangat besar buat Bali. Kemacetan di jalur barat yang menghubungkan Denpasar dengan Gilimanuk akan semakin parah, apalagi ada kebijakan memanjakan truck-truck besar dari Jawa.

Secara teori, mengatasi kemacetan adalah mengurangi kendaraan bermotor di jalanan dengan mengaktifkan angkutam umum. Dalam teori ini jika satu angkutan umum berjalan maka ada 30 kendaraan bermotor yang “hilang” dari jalanan, karena orang beralih ke angkutan umum. Tapi hal ini sangat mustahil di Bali karena membutuhkan proyek yang mahabesar dan dasyat, perlu ada ribuan angkutan umum  yang menyebar sampai ke pelosok. Harus ada revolusi angkutan publik dan revolusi mental untuk masyarakat Bali.

Permasalahan memang sangat komplek, tetapi harus dipikirkan dari sekarang. Kalau urusan transportasi ini diabaikan apalagi ditambah infrastruktur yang tak bisa dibangun dengan lebih banyak karena membebaskan tanah di Bali itu sangat sulit dan mahal, maka petaka akan datang tak sampai hitungan 5 tahun. Apalagi kendaraan bermotor akan lebih murah dengan ditemukannya sepeda motor listrik.

Suatu saat orang Bali akan kumpul di jalan tak bisa bergerak dan membuang waktu berjam-jam untuk perjalanan yang pendek. Bagaimana orang bisa melaksanakan kegiatan adat dan agama kalau pelemahan Bali sudah macet total? Harus dipikirkan sejak sekarang karena membangun inprastruktur jalan dan moda angkutan publik butuh waktu sedikitnya 10 tahun. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar