Selasa, 08 Januari 2019

MASUKAN TERHADAP DRAF RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG DESA ADAT

Oleh Wayan Suja
Om Swastyastu,
 Sebagai umat Hindu dan krama Bali yang baik, kami merasa perlu untuk ikut memikirkan rancangan peraturan daerah tentang desa adat yang pada akhirnya akan mengatur diri kita bersama. Kami sangat mendukung setiap usaha yang ditujukan untuk mengajegkan Bali. Dalam perspektif ini kami memandang Bali harus menjadi sebuah sistem, yang terdiri atas tiga komponen, yaitu: sarira, prana, dan atma.

Sariraning jagat Bali adalah tanah Bali, palemahan Bali. Kita tidak akan mungkin mengajegkan Bali, jika tanah Bali sudah dikuasai oleh orang luar. Prananing, kekuatan Bali adalah krama Bali. Jika krama Bali tidak berdaulat secara politik, lemah secara ekonomi, dan gagal membangun nilai-nilai kebalian dalam dirinya; maka ajeg Bali hanya akan tinggal slogan. Yang ketiga, ini yang terpenting, atmaning pulina Bali adalah agama Hindu, dengan pustaka suci Weda sebagai sumber hukumnya.
Berdasarkan pemikiran, bahwa Bali merupakan pulau Kahyangan yang dijiwai oleh keluhuran ajaran Weda, ijinkanlah kami untuk mengajukan pandangan terhadap draf Ranperda tentang Desa Adat, sebagai pengganti Perda No 3 Tahun 2013 tentang Desa Pakraman sebagai berikut.
Kami tidak setuju dengan istilah Desa Adat sebagai pengganti istilah Desa Pakraman. Jika itu terjadi, kami memandang sebagai kemunduran kognisi kolektif kita. Ketidaksetujuan kami terhadap penggunaan istilah Desa Adat berdasarkan pertimbangan berikut.

1) Semenjak dilakukan penataan kehidupan bermasyarakat dan beragama di kalangan umat Hindu di Bali pada jaman Mpu Kuturan, sudah dipakai istilah desa pakraman, dan warga desanya disebut krama desa. Menurut Mpu Kuturan, “Desa Pakraman winangun dening sang catur warna manut linging Sanghyang Aji.” Pernyataan itu menegaskan, bahwa desa pakraman dibangun oleh empat warna/profesi (Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra) sesuai dengan petunjuk pustaka suci (Weda). Istilah desa adat digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut desa pakraman. Terus, mengapa kita harus mengikuti pendapat penjajah, dengan meninggalkan warisan lelangit Mpu Kuturan?

 2) Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang berarti kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat dimaknai sebagai aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dulu, dan cara yang sudah menjadi kebiasaan. Dengan demikian, desa adat diatur berdasarkan kebiasaan 2 yang telah diwarisi secara turun temurun sejak dulu. Apakah semua kebiasaan yang terwariskan telah benar dan baik? Kondisi itu, jauh berbeda dengan desa pakraman yang diatur menurut pustaka suci Weda, mulai dari Sruti, Smrti, Sila, dan Acara. Di desa pakraman, kebiasaan (sadacara) bukanlah yang utama sebagai sumber hukum, karena di atasnya masih ada tiga sumber hukum yang lebih tinggi, yaitu Sruti, Smrti, dan Sila.

3) Penggunaan istilah adat yang disandingkan dengan kata agama dalam pengertian yang lebih luas justru merugikan agama Hindu. Terdapat beberapa contoh penggunaan kata adat sebagai pengganti agama, yang merugikan agama itu sendiri, diantaranya: hukum agama menjadi hukum adat, upacara agama menjadi upacara adat, pernikahan menurut agama menjadi pernikahan adat, dan lain-lainnya. Mempersamakan adat dan agama berimplikasi pada sikap memandang adat atau tradisi sebagai agama. Di sisi lain, agama hanya akan dipandang sebagai sistem ritual yang bersifat magis dan mistis, dengan melupakan aspek spiritual dan moralitasnya.

4) Ada tiga macam adat yang ada di Bali. Pertama, adat yang merupakan implementasi ajaran agama Hindu. Kedua, adat yang lahir bukan dari ajaran agama, namun pelaksanaannya mendukung ajaran agama Hindu. Ketiga, adat yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma lainnya. Adat yang terakhir ini tidak hanya menodai keluhuran agama Hindu, tetapi berpotensi membuat penganutnya meninggalkan agama Hindu. Berdasarkan keempat argumen tersebut, kami memandang label desa adat tidak cocok digunakan di Bali karena desa tradisional yang ada di Bali sejak jaman Mpu Kuturan dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu dan dilabel sebagai desa pakraman.

Pemberian nama desa pakraman tidak bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di wilayah NKRI, termasuk UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyebutkan, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa (pasal 1, ayat 1).” 

 Desa pakraman yang telah ada sebelumnya hanya mengurusi krama Bali (krama desa adat dan krama tamiu), dalam ranperda Desa Adat dicantumkan penduduk desa adat, termasuk di dalamnya tamiu, yang bisa jadi umat nonHindu (pasal 1 ayat 8 dan 11; serta pasal 13 dan 14 ). Permasalahannya, apakah mereka bersedia menjadi warga desa adat karena memiliki adat berbeda? Terus, jika mereka memang hanya memiliki swadharma/kewajiban  berkaitan dengan menjaga pawongan dan palemahan, apa swadikara/hakhak yang mereka miliki? Apakah mereka juga memiliki hak untuk menjadi prajuru desa adat? Jika tidak, apakah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk UUD 1945. Bagaimana pula dengan krama Bali yang nilar kedaton, keluar dari Hindu, tetapi tetap tinggal di wilayah desa adat semula. Jika mereka hanya di luar dari ranah parhayangan, sebagaimana disebutkan pada pasal 14 ayat 2a, maka mereka memiliki hak atas penggunaan tanah pekarangan ayahan desa, penggunaan kuburan (yang sampai saat ini dilabel sebagai setra adat, bukan kuburan Hindu), penggunaan balai masyarakat, beserta fasilitas umum milik desa adat. Kondisi itu tidak akan menguntungkan bagi krama desa dan krama Bali sebagai pewaris agama dan budaya Hindu di tanah Bali.

Desa tradisional yang ada di Bali dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, dan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Lalu, mengapa asas dan tujuan desa adat di Bali dirumuskan seperti membuat lembaga baru? Pada pasal 2 disebutkan, “Pengaturan Desa Adat berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.” Menurut kami, dasar desa adat (pakraman) adalah ajaran agama Hindu (Pustaka Suci Weda) dan keempat pilar tersebut. Dengan demikian, desa adat (pakraman) kita tidak kehilangan identitas dirinya, semata-mata karena ingin menunjukkan bahwa kita memiliki sikap nasionalis. Sebagai umat Hindu kita memiliki swadharma agama dan swadharma negara. Swadharma agama secara kelembagaan dilakukan melalui wadah desa adat (pakraman), sehingga akan aneh jika pengaturan desa adat (pakraman) tidak berdasarkan nilai-nilai luhur agama, sebagaimana diamanatkan dalam Pustaka Suci Weda, serta tidak ada koordinasi dengan PHDI.

Pasal 3 Perda Desa Adat tampaknya diambil dari pasal 3 UU Desa, namun menghilangkan asas demokrasi. Di sisi lain, nilai-nilai demokrasi justru sudah diterapkan di desa adat (pakraman) kita. Lebih lanjut, dimunculkan asas gilik-saguluk (apa tidak sagilik saguluk), parasparo (apa tidak parasparos). Sepengetahuan kami, harmonisasi hubungan antar manusia dalam konsepsi pawongan didasarkan atas Tat Twam Asi, yang di dalamnya mencakup asas-asas suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, saling asih, saling asah, dan saling asuh (Dharmayudha & Santika, 1991). Asasasas tersebut semestinya secara formal dimasukkan ke dalam asas pengaturan desa adat (pakraman). Tidak dimasukannya asas demokrasi dalam pengaturan desa adat akan menyebabkan 4 dari aroma feodalistik, bahkan berpotensi memunculkan neofeodalisme di bawah payung slogan Ajeg Bali.

Bagaimana hak dan kewajiban krama tamiu? Apakah krama tamiu juga hanya berperan sebagai objek desa adat? Penataan desa adat di Bab IV hanya melibatkan krama desa adat. Krama tamiu, terutama di daerah perkotaan, banyak tergolong SDM handal, tetapi mereka tidak bisa berperan di tempat tinggalnya karena tergolong krama tamiu, sebaliknya di tempat kelahirannya tergolong krama rantau. Kondisi itu cenderung menyebabkan krama Bali yang beragama Hindu dan merantau ke kota lain tidak akan bisa berkontribusi terhadap kemajuan desa adat (pekraman).

 Jika memang desa adat (pakraman) berasaskan Pancasila, dan menerapkan sila IV dalam mengatur dirinya, maka penetapan prajuru dan masa baktinya semestinya ditetapkan secara lebih pasti agar tidak terjadi perbedaan antara desa adat satu dengan lainnya. Waktu, tempat, dan kondisi desa-desa adat yang ada di Bali saat ini tidak terlalu jauh berbeda satu dengan lainnya, sehingga perlu distandarisasi, dan tidak sepenuhnya hanya berpatokan pada awig-awig desa adat setempat atau dresta setempat. Standarisasi sangat diperlukan karena tugas dan kewajiban prajuru desa adat sebagaimana dicantumkan dalam pasal 30 tergolong cukup berat.

Tugas dan kewajiban Prajuru Desa adat, menurut pasal 30, ayat (f) untuk mengatur penyelenggaraan kegiatan sosial dan keagamaan dalam Wewidangan Desa Adat sesuai dengan susastra agama dan tradisi masingmasing, kami pikir tidak tepat. Susastra agama, artinya karta sastra yang mengandung nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama (Hindu). Sebaiknya dieksplisitkan sesuai dengan hukum Hindu, yang menurut Manawa Dharmasastra II. 6, secara berturut-turut dari tertinggi ke paling rendah adalah Sruti, Smrti, Sila, Sadacara, dan atmanastusti.

Larangan prajuru desa adat, sesuai pasal 32 ayat e, untuk menjadi anggota dan atau pengurus organisasi terlarang, kami pikir sudah pasti dan tidak perlu dirumuskan. Kami usulkan, sebaiknya prajuru desa adat tidak menjadi pengurus partai politik agar bisa bersikap netral selama musim pemilu, dan tetap mengawal desa adat agar tidak dijadikan arena politik praktis yang sering memecah belah krama desa.

Agama Hindu merupakan roh desa adat (pakraman). Masalahnya, mengapa kerta desa adat yang bertugas mendampingi prajuru dalam memecahkan perkara adat (wicara), justru hanya melibatkan krama desa yang memiliki komitmen, pengalaman, dan keahlian dalam bidang hukum adat; namun tidak melibatkan krama yang menguasai ajaran agama Hindu secara 5 komprehensif. Kenyataan dewasa ini, krama yang menguasai hukum adat belum tentu ahli agama, sebaliknya yang menguasai ajaran agama belum tentu menguasi adat Bali.

Bagian keempat Ranperda Desa Adat (pasal 45) berkaitan dengan Pasraman. Menariknya, mengapa pengelolaan pasraman hanya melibatkan krama desa adat saja? Dalam banyak hal, krama tamiu justru sangat potensial untuk menggarap pasraman desa. Kami sarankan, dalam mengelola pasraman, khususnya yang bersifat nonformal perlu melibatkan PHDI dan bekerja sama dengan pasraman-pasraman Hindu yang telah ada.

Untuk desa adat tua, apakah sampai saat ini belum bisa bersentuhan dengan nilai-nilai demokrasi? Penetapan prajuru dengan cara-cara nyanjan, keturunan, dan ririgan, bisa jadi mendapatkan prajuru yang tidak berminat dan tidak kompeten untuk mengelolaan pawongan dan palemahan di era revolusi industri 4.0 sekarang ini.

Tugas desa adat untuk mewujudkan kasukretan sekala niskala (pasal 50), di antaranya dengan kegiatan pancayadnya, sudah saatnya diimbangi dengan bentuk-bentuk yadnya yang tidak hanya berkaitan dengan ritual, tetapi mesti diimbangi dengan aktivitas spiritual dan moralitas yang justru menjadi kekuatan dan kekhasan ajaran Weda.

Desa adat memiliki kewenangan untuk mengembangkan nilai agama, tetapi mengapa dalam ranperda ini tidak ada memuat hubungan atau koordinasi desa adat dengan majelis keumatan (Parisada Hindu Dharma Indonesia/ PHDI). Tanpa koordinasi dengan PHDI, bisa jadi pembinaan umat hanya menjadi pewarisan tradisi, bahkan menjadikan tradisi sebagai agama. Atas dasar itu, kami mengharapkan ranperda Desa Adat ini dilengkapi dengan pelibatan PHDI dalam pembinaan krama desa tentang ajaran agama yang dianutnya. Tata hubungan desa adat, yang dinyatakan dapat melakukan hubungan dengan berbagai lembaga, termasuk lembaga umat Hindu, kami pandang tidak kuat. Bisa dilakukan, bisa juga tidak. Selain itu, lembaga umat Hindu berbeda dengan Majelis Umat Hindu (PHDI).

Berkaitan dengan kearifan lokal yang banyak disebutkan dalam draf ranperda Desa Adat ini, seharusnya dilengkapi dengan definisi yang lebih operasional. Sesungguhnya, kearifan lokal tersebut mencakup kearifan sosial dan kearifan ekologi. Kearifan sosial berkaitan dengan ranah pawongan, sedangkan kearifan ekologi berkaitan dengan palemahan. Tanpa pemahaman akan karakteristik kearifan lokal, bisa jadi keprimitifan dipandang sebagai kearifan. Atas dasar itu, nilai-nilai agama dan nilai-nilai sains sangat penting untuk mengidentifikasi apakah suatu tradisi dapat dipandang sebagai kearifan lokal atau tidak.

Demikianlah, selain memberikan masukan untuk penyempurnaan draf ranperda desa adat ini, kami juga menyampaikan apresiasi berkaitan dengan inovasi untuk menyejahterakan krama desa melalui pemberdayaan aset dan potensi ekonomi yang dimiliki desa adat. Dengan demikian, tujuan umat untuk mencapai jagathita dengan pemenuhan artha dan kama melalui jalan Dharma, semakin potensial untuk dicapai. Ranperda ini telah memuat aspek ekologi dan ekonomi, namun perlu dipertajam untuk aspek spiritualitas kehinduan dan asas demokratisasinya. Selain itu, perlu dilakukan sinkronisasi dengan tugas dan kewengan desa dinas agar tidak muncul permasalahan dalam implementasinya di lapangan.

 Om ano bhadrah kratawo yantu wiswatah. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Om shantih, shantih, shantih, Om.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar