Sabtu, 12 Januari 2019

Debat

Putu Setia | @mpujayaprema

INILAH debat yang paling seru. Di antara debat-debat pada pemilihan presiden sebelumnya, debat kali ini paling dasyat. Namun, debat ini bukan di antara pasangan calon presiden yang belum terlaksana, tetapi debat yang memperdebatkan cara berdebat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Jika Komisi Pemilihan Umum membagi tema debat, maka debat yang memperdebatkan debat itu juga memiliki beragam tema. Ada yang memperdebatkan kenapa penyampaian visi misi calon presiden dibatalkan oleh KPU. Ada yang memperdebatkan kenapa kisi-kisi pertanyaan kepada para calon harus diberikan dulu kepada calon. Perdebatan berlanjut karena alasan dari KPU mengundang perdebatan pula. Ini negeri paling gemar berdebat, padahal sila ke empat Pancasila berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” bukan “hikmat kebijaksanaan dalam perdebatan”.

Nampaknya KPU konsisten membela Pancasila, apa pun dimusyawarahkan. Penyampaian visi misi pasangan calon dibatalkan karena kedua pasangan calon tak sepakat siapa yang menyampaikan visi misi itu. Kisi-kisi pertanyaan diberikan dulu kepada pasangan calon, juga berdasarkan musyawarah kedua tim sukses pasangan calon. Jika KPU diibaratkan wasit tinju, sang wasit bertanya dulu kepada petinju, mau berapa ronde?

Bagaimana rakyat tahu pasangan calon punya visi dan misi kalau tidak disampaikan? Memang ada laman di masing-masing web pasangan calon, juga web di KPU. Namun apakah rakyat di pedesaan punya komputer untuk membaca visi misi itu? Mereka lebih senang kalau itu disampaikan lewat televisi dan langsung oleh calon presidennya.


KPU menyebutkan, pertanyaan dibocorkan lebih dulu dengan alasan pasangan calon lebih siap menjawabnya. KPU tidak ingin memojokkan calon presiden dan calon wakil presiden dalam menjawab pertanyaan panelis. Artinya, KPU punya dugaan kuat bakal ada salah satu atau lebih dari empat orang terbaik negeri itu yang bisa terpojok dalam menjawab pertanyaan panelis. Luar biasa baiknya KPU, meski tidak layak sebagai kepala sekolah bahkan menjadi guru kelas sekali pun, jika soal-soal ulangan umum dibocorkan dulu kepada muridnya.

Lantas, presiden dan wakil presiden seperti apa yang kita peroleh dengan cara berdebat penuh kemudahan ini? Visi dan missi bisa dibuat oleh tim sukses. Andai itu dibacakan oleh calon, itu hanya bisa dinilai sebagai “lomba membaca naskah” karena tak ada panelis atau siapa pun yang mendebat. Pertanyaan panelis yang dikenal kepakarannya – tapi kerjanya cuma bikin soal tanpa diberi kesempatan mendebat – jawabannya pun pasti dibuat tim sukses. Calon hanya diuji kepandaiannya membaca teks, selain penampilannya yang disorot kamera televisi.

Kita seperti memilih seorang peragawan ketimbang memilih presiden dan wakilnya. Siapa jahitan bajunya lebih pas, siapa yang jalannya lebih meyakinkan, siapa yang bicaranya belepotan, siapa yang pecinya lebih islami. Kedua kubu punya “tim pemoles” pasangan calon. Dipoles dari caranya berdandan, caranya berjalan, caranya mengambil mik, mungkin juga caranya tersenyum. Sulit kita membayangkan bahwa ke empat putra terbaik bangsa itu sesungguhnya kita harapkan untuk menjadikan negeri ini lebih maju di lima tahun mendatang.

Syukurlah ini baru persiapan debat pertama. Mudah-mudahan pada debat selanjutnya, KPU bisa lebih tegas, punya integritas, dan netral sebagai wasit. Penonton ingin ada pertarungan yang memang harus ada yang terpojok, ada yang kalah  dan menang. Bukan pertarungan musyawarah mufakat.

 (Dari Koran Tempo 12 Januari 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar