Senin, 14 Januari 2019

Karama Tamiu dalam Ranperda Desa Adat

Mpu Jaya Prema

RANCANGAN Perda tentang desa adat sudah bergulir dengan berbagai tanggapan. DPRD pun sudah membentuk Panitia Khusus yang dipimpin I Nyoman Parta, Ketua Komisi 4 DPRD Bali yang kini nyaleg untuk DPR Pusat. Sepertinya ini tugas yang berat, apalagi konsentrasi anggota DPRD adalah pemilu serentak dan banyak yang kembali menjadi calon.

Banyak yang harus dibahas. Dari nama saja, yakni Desa Adat, harus dijelaskan apa maunya. Ketika Mpu Kuturan membuat konsep desa adat di Bali, nama yang dipakai adalah pakraman dan warganya disebut krama. Ini adalah desa yang kramanya hanya penduduk beragama Hindu yang terikat kepada Tri Kahyangan, yaitu Pura Desa atau Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Karena itu Pemprov Bali punya Perda yang sampai sekarang masih berlaku, yakni Perda tentang Desa Pakraman.

Sekarang Desa Pakraman mau diganti lagi menjadi Desa Adat. Tidak disebutkan dalam penjelasan Ranperda itu apa alasan pergantian. Secara samar-samar ada yang menyebutkan hal ini dilakukan agar sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014 yang banyak menyebut soal desa adat. Padahal desa adat dalam undang-undang ini bukanlah sebuah nama, tetapi hanya istilah.

Lihatlah pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2014 ini. Bunyinya: “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” Dalam pasal itu jelas ada kata-kata “yang disebut dengan nama lain”, jadi untuk menghormati nama-nama lain yang ada di negeri ini. Penamaan itu dianggap sangat penting karena itu langsung diletakkan di pasal yang paling awal, pasal 1 dan ayat 1. Artinya, kalau nama lain yang dipilih Bali adalah Desa Pakraman, itu boleh-boleh saja, seperti halnya di Sumatra Barat nama lain yang dipilih adalah Nagari.

Sebutan Desa Adat sebagai sebuah nama, dan bukan istilah, bisa mengaburkan konsep Mpu Kuturan yang membentuk desa yang cici khasnya adalah kramanya beragama Hindu. Apakah Desa Adat Pegayaman yang kramanya beragama Islam masuk dalam Ranperda ini? Apakah Desa Blimbingsari yang penduduknya Nasrani termasuk dalam Desa Adat sesuai Ranperda ini? Bukankah Ranperda ini sejak pasal-pasal awal sudah menyebut adanya Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan lain-lain yang memang dari ajaran Hindu?


Itu baru soal nama. Soal krama dalam Ranperda ini banyak hal yang perlu diperjelas kembali. Selain rancu bisa membawa masalah baru di kemudian hari. Pasal 13 Ranperda ini membahas masalah pawongan. Ayat (1) menyebutkan, yang dimaksudkan dengan pawongan adalah penduduk yang bertempat tinggal di wewidangan Desa Adat. Wewidangan itu sendiri maksudnya adalah wilayah desa adat. Lalu siapakah penduduk itu? Ada tiga katagori: (a) Krama Desa Adat, yaitu penduduk beragama Hindu yang mipil dan tercatat di Desa Adat setempat. (b) Krama tamiu, yaitu penduduk beragama Hindu yang tidak mipil tetapi tercatat di Desa Adat setempat. (c) Tamiu, yaitu orang selain Krama Desa Adat dan Krama Tamiu yang berada di wewidangan Desa Adat untuk sementara atau bertempat tinggal dan tercatat di Desa Adat setempat.

Dalam Ranperda ini mipil diartikan yang teregistrasi sebagai anggota Desa Adat. Yang dimaksud ”tercatat” adalah dicatat hanya secara administratif, tetapi tidak teregistrasi sebagai anggota Desa Adat.  Kalau dalam istilah yang biasa digunakan di pedesaan, krama desa adat yang mipil itu termasuk “krama wed”, artinya penduduk asli desa adat itu. Sedang krama tamiu bukan “krama wed”. Kalau yang disebut tamiu sudah jelas bukan krama (warga), diartikan sebagai penduduk pendatang yang bukan beragama Hindu.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa krama tamiu harus dicatat oleh perangkat desa adat? Bukankah dia tidak terikat dengan Tri Kahyangan? Kalau dicatat oleh desa dinas itu memang harus dilakukan, karena setiap penduduk yang berdomisili di suatu wilayah bisa mendapatkan hak-haknya sebagai penduduk warga negara seperti memiliki Kartu Keluarga, KTP dan sebagainya. Ini menjadi berlebihan seolah-olah desa adat mengambil alih peran dan fungsi desa dinas atau kelurahan. Krama tamiu, yaitu orang Bali yang beragama Hindu, yang bekerja di luar desa kelahirannya lalu numpang kost atau sudah punya rumah tetap, harus dicatat di dua desa adat, desa adat asalnya dan desa adat di tempat yang baru. Kok malah makin berat?

Pasal 14 Ranperda ini ada dibahas masalah kewajiban (swadharma). Bunyi lengkap Pasal 14 itu begini:

Swadharma/kewajiban Penduduk di Desa Adat sebagai berikut: (a) Krama Desa Adat melaksanakan swadharma penuh dalam bidang Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan Desa Adat. (b) Krama Tamiu melaksanakan swadharma terbatas dalam bidang Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan Desa Adat; dan (c) Tamiu melaksanakan swadharma terbatas dalam bidang Pawongan dan Palemahan Desa Adat.

Penjelasan pasal 14 ini sebagai berikut: Yang dimaksud ”swadharma penuh” adalah melaksanakan kewajiban berupa pawedalan/materi dan ayah-ayahan/kerja fisik secara penuh, baik dalam bidang parahyangan, pawongan, maupun palemahan, sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat setempat.

Yang dimaksud dengan ”swadharma terbatas” adalah melaksanakan kewajiban hanya dalam hal tertentu sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat setempat.

Krama tamiu tetap punya kewajiban meski pun terbatas dalam bidang parahyangan, pawongan, maupun palemahan. Untung masih  ada kata-kata “sesuai awig-awig atau pararem desa adat”. Bagaimana kalau awig-awig itu ketat (karena pembuatan awig-awig hak krama), bisa jadi krama tamiu semakin berat, bisa dobel dalam hal kewajiban, satu di desa adat asalnya, satu lagi di desa adat di mana dia tinggal. Sementara tamiu (pendatang) tak punya kewajiban dalam hal parahyangan karena memang agamanya bukan Hindu.

Adakah Ranperda ini punya maksud yang baik, yakni memberi kemudahan warga Bali yang Hindu untuk pindah desa adat? Sehingga dia akan menjadi krama desa adat di satu tempat saja, yakni di mana dia tinggal saat itu. Ini menjadi tidak mudah karena ada aturan yang menyebutkan bagaimana syarat menjadi krama itu.

Agaknya hal ini harus dibahas serius agar semuanya menjadi jelas. Setiap aturan seharusnya mempermudah warga Bali, bukannya membuat aturan untuk semakin mempersulit penduduk. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar