Selasa, 01 November 2011

Komodo dan Manusia Bali

Oleh Mpu Jaya Prema Ananda

(Catatan: artikel ini dalam versi pendek – 3500 karakter—dimuat di Koran Tempo 30 Oktober 2011 dengan judul: Komodo. Versi panjang ini hanya untuk blog, silakan mengutip dengan menyebut sumbernya).

Mari dukung Pulau Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia kategori alam. Ambil telepon selular, ketik KOMODO, kirim ke 9818. Gampang sekali. Lagi pula biayanya sangat murah, hanya Rp 1 per SMS, malah belakangan disebut gratis. Jangan takut, ini bukan SMS jebakan yang akan menguras pulsa Anda. Komodo tak akan memakan pulsa.
Ingat kirim sebanyak-banyaknya. Saya sudah tak bisa menghitung, entah berapa puluh sms yang dikirim dari telepon selular saya. Yang mengirim cucu saya, usia enam tahun, yang senang melihat binatang Komodo. Kalau hanya kurang 30-an juta sms lagi untuk menjadikan Pulau Komodo salah satu dari tujuh keajaiban dunia, bukankah ini pekerjaan mahagampang di negeri ini? Tak perlu mengerahkan anak-anak sekolah untuk mengirim SMS, seperti yang dilakukan di Bandung. Pinjam saja telepon selular para wakil rakyat, suruh petugas kebersihan atau siapapun di Senayan untuk memencet-mencet sampai tangannya lecet. Jika 500 wakil rakyat menyerahkan teleponnya, lalu ada yang memencetnya siang malam, masing-masing wakil rakyat hanya “membuang” pulsa Rp 60 ribu. Itu tak ada artinya, hanya 0,1 % dari pendapatan resmi wakil rakyat. Ini tak akan membuat wakil rakyat kita jatuh miskin, toh masih ada pendapatan tidak resmi.

Lalu, apa setelah semua sms itu dikirim? Apa yang terjadi setelah Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam? Saya hanya memperkirakan semua orang senang, apalagi Bapak Jusuf Kalla, yang kini menjadi Duta Komodo. JK pernah mengatakan, jika predikat itu didapat oleh Pulau Komodo, maka Provinsi Nusa Tenggara Timur akan menjadi “Bali kedua” dalam hal menggaet wisatawan. Komodo akan menjadi ikon pariwisata di NTT dan rakyat di kawasan ini akan segera menikmati kesejahtraannya. Luar biasa, hanya dengan SMS seharga Rp 1, Anda sudah mengentaskan kemiskinan di kepulauan yang gersang ini.

Namun, dalam pikiran saya yang sederhana, wisatawan membanjiri NTT tentu karena Pulau Komodo. Saya belum melihat ada kawasan wisata yang siap jual di sana, meski pun potensi alamnya banyak yang bagus. Artinya, dalam satu dasa warsa ke depan, Pulau Komodo-lah yang akan dituju wisatawan. Apa yang dicari di Pulau Komodo itu? Ya, tentu saja komodo, binatang purba yang masih bisa bertahan. Tak ada orang membeli batik atau lukisan di Pulau Komodo.

Celakanya, binatang yang bernama komodo ini masih primitif, setidak-tidaknya tak mau diajak modern, tak mau diajak berpatungan menggaet wisatawan. Sudah ada penelitian dari pakar komodo, jika habitat mereka dirusak, populasi mereka tak akan berkembang. Bahkan, semakin banyak komodo berinteraksi dengan manusia, semakin stress dia, sampai-sampai “bunuh diri”. Komodo yang ada di Kebun Binatang Surabaya saja mati, padahal sudah dipelihara dengan bagus dan dimanja betul. Aneh betul komodo ini, mbok ya mau diajak menguras kantong wisatawan, mau hidup di lantai yang bersih, apalagi kalau mau makan pizza atau spaghety, pasti dipenuhi oleh manusia. Sayang, komodo itu “binatang bodoh”, tak mau materialistis.

Lantas bagaimana mungkin mengembangkan wisata komodo kalau ikon yang dijual itu tak bisa diajak bermusyawarah? Pelancong membutuhkan hotel, restoran, jalan aspal, mobil, motor, air bersih, listrik dan banyak lagi. Komodo membutuhkan hutan, rawa, air kotor, bangkai hewan untuk makanannya. Kalau tak ada kompromi dan tidak terjadi koalisi antara komodo dan manusia, lalu manusia gagal memecahkan masalah ini, wisata komodo tak akan berumur panjang karena obyek dari wisata itu adalah alam.

Manusia Bali yang Bukan Komodo

Nah, sekarang mari kita lihat dunia wisata di Bali, yang dijadikan impian dalam menggaet jumlah wisatawan. Dunia wisata di Bali masih bertahan – meskipun saya kira tak terlalu lama lagi—karena ada dua ikon yang dimilikinya: budaya dan alam. Alam ciptaan Tuhan, budaya ciptaan manusia. Pantai yang indah, danau yang memukau, gunung yang menakjubkan di Bali adalah ciptaan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan aktifitas budaya masyarakat Bali adalah ciptaan leluhur manusia Bali yang telah diwarisi ratusan tahun lalu.

Manusia Bali tentu saja bukan sejenis komodo, mereka punya akal, pikiran, otak yang bisa dibuat modern. Dalam filsafat orang Bali beragama Hindu, manusia diberi tri pramana – tiga sifat—yaitu hidup, makan, dan pikiran. Binatang hanya punya dua: hidup dan makan. Tumbuh-tumbuhan hanya satu: hidup. Manusia Bali sejak dulu kala menjadi manusia yang polos dan senang dipuji: teruskan mandi di sungai bercampur laki perempuan, teruskan bertani di sawah yang teraseringnya memukau itu, teruskan melakukan ritual yang penuh kesenian dan hura-hura itu. Wisatawan terpukau oleh aktifitas orang Bali dalam melakukan ritualnya, pengelola wisata kaya raya memanfaatkan turis asing menonton ritual ini.

Tetapi karena manusia Bali bukan binatang, apalagi komodo, manusia Bali kini bertanya dengan mengandalkan otaknya: “Kenapa sawah saya yang indah itu harus saya pertahankan, memangnya ada yang mengurusi irigasinya, pajak buminya saja naik terus?” Masuk akal pertanyaan ini, pemerintah Bali mengabaikan sektor pertanian, karena itu banyak sekali sawah yang sudah berubah fungsi menjadi kebun karena irigasi yang tak memadai. Anehnya, sawah yang bertahan dengan irigasi seadanya, dan karena berada di pinggir jalan raya, pajak bumi dan bangunannya naik terus. Padahal sawah inilah yang menjadi daya tarik wisatawan.

Manusia Bali bertanya: “Kenapa saya harus melaksanakan ritual yang besar dan jelimet, membuat sengsara saja, apalagi pendeta Hindu sudah memperkenalkan ritual sederhana yang murah, memangnya ritual itu tontonan?” Ini gugatan yang sudah lama terdengar, tetapi tak didengar oleh pengelola pariwisata. Orang Bali kini sudah merasakan betapa menjadi beban untuk menyelenggrakan ritual yang besar. Ngaben dilakukan dengan besar sampai menjual sawah ladang. Padahal untuk apa ritual besar itu karena tingkat ritual dalam Hindu diperbolehkan sampai 9 peringkat? Belakangan ini sudah dikenal adanya ritual gotong-royong, misalnya, apa yang disebut “ngaben masal”. Upacara sederhana, biaya pun murah. Bahkan ada yang lebih murah lagi dengan membawa jenazah ke krematorium, dibakar apa adanya di sana. Para pendeta Hindu menganjurkan dan memuji upacara jenis ini, dan dengan senang hati memimpinnya. Karena ritual yang sejatinya di saat ini adalah “ritual duniawi”, yakni menolong kehidupan sesama manusia, membantu kaum fakir miskin dan orang yang terlantar.

Manusia Bali pun menggugat: “Kenapa pura saya harus dikunjungi wisatawan, memangnya saya tak terganggu kalau bersembahyang?” Gugatan ini sudah melahirkan bhisama (fatwa) dari para pendeta Hindu dengan mengatur wilayah kesucian pura, minimum 2 km dan maksimum 5 km dari letak pura. Di areal kesucian itu tak boleh ada kegiatan yang bukan bertujuan agama, tak boleh ada hotel, restoran, apalagi kafe remang-remang. Kini, bhisama itu sudah diadopsi oleh Pemda Bali dengan Perda Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah.

Meski pun begitu, para pengelola wisata terus berkoar-koar: lestarikan budaya Bali, ajegkan budaya Bali. Dengan berbalut kata indah “melestarikan budaya” mereka ingin orang Bali tidak mengubah bentuk ritualnya. Namun, orang Bali bersama pendetanya sudah menemukan format yang pas untuk melaksanakan ritual yang murah dan “tanpa enak ditonton”. Sementara orang Bali yang punya kaitan dengan dunia wisata, sengaja membuat ritual yang megah namun dengan sponsor dari jaringan televisi dan entah dari mana lagi. Secara agama ini tidak dibenarkan, disebut rajasika yadnya, artinya punya motif tertentu (menarik keuntungan materi) dari ritual yang dilakukan.

Dengan kecendrungan perubahan manusia Bali dalam menyikapi ritual dan adatnya sekarang ini, maka yang masih dinikmati oleh wisatawan nantinya hanya budaya dalam bentuk kesenian dan itu tak harus dilakukan oleh orang Bali dan terjadi di Bali, bisa berkembang di mana saja di Nusantara ini. Tari Bali yang dinikmati wisatawan itu bisa saja tidak ditarikan orang Bali, bahkan bisa saja dilakukan di luar Bali. Kesenian Bali sudah menjadi milik nasional, bahkan milik dunia. Lihat saja berapa banyak mahasiswi Jepang yang belajar di Institut Seni Indonesia Denpasar.

Kalau begitu, jika kepariwisataan di NTT tak akan bernapas panjang karena ikonnya adalah komodo – yang tak bisa diajak modern – maka kepariwisataan di Bali mungkin juga tak panjang karena ikonnya adalah manusia – yang ternyata bisa modern dan bisa melihat ketidak-adilan. Sayangnya, tak ada satu pun Menteri Pariwisata di negeri ini yang memikirkan bagaimana mengelola “pariwisata budaya dan alam” secara benar. Tak ada yang bisa berpikir – hanya berpikir lalu berwacana—misalnya bagaimana membebaskan pemilik sawah di Bali yang indah itu dari pajak PBB, apalagi memberinya subsidi dalam bertani. Tak ada yang punya ide, bagaimana jika pemerintah menyisihkan sebagian uangnya – katakan saja uang dari turis—untuk disumbangkan kepada manusia Bali agar puranya terawat dengan baik.

Orang Bali tetap disuruh melaksanakan tradisi mewahnya di masa lalu, yang memanfaatkan adalah orang-orang luar Bali yang membangun hotel dan biro kepariwisataan. Jika komodo saja emoh diperalat dan memilih mati, orang Bali tentu emoh diperalat karena tetap memilih hidup.

Selasa, 14 Juni 2011

Istri

(Diambil dari Koran Tempo Minggu, 12 Juni 2011. Renungan yang bisa diambil dari tulisan pendek ini adalah, perkawinan itu sangat sakral, bukan soal seks saja. Perkawinan adalah untuk mewujudkan penerus yang berakhlak karena suami istri dalam Hindu haruslah melahirkan anak-anak yang suputra, anak yang saleh berbakti pada orang tua, lingkungan, bangsa dan agama. Untuk itu "hubungan intim" harus dengan "permainan rasa dalam koridor kerohanian" karena itulah permulaan pertemuan "kama" yang nantinya menjadi benih kehidupan. Dan benih itu semasih dalam kandungan terus dipelihara, misalnya, ada upacara megedong-gedongan -- usia kehamilan 7 bulan. Jangan lecehkan hubungan suami istri, seolah-olah hanya permainan nafsu -- apalagi nafsu seorang pelacur.)

• Putu Setia

Apakah Anda seorang istri? Atau bersiap mengemban tugas sebagai seorang istri? Atau mungkin sudah nenek-nenek karena punya putri yang telah menjadi istri? Siapa pun Anda, asalkan masuk dalam kategori di atas, harap bersiap-siap bergabung--suka atau tidak--dalam Ikatan Istri Taat Suami. Ikatan ini akan dideklarasikan di Jakarta akhir pekan ini, kalau jadi.

Bergembiralah para suami seperti saya, perkumpulan ini sejatinya hanya untuk memuaskan kita. Kaum wanita, para perempuan, kaum ibu, para istri--maaf, saya tak tahu apakah termasuk para selir dan istri simpanan--sibuk merancang teknik hanya untuk memuaskan kita, para suami perkasa. Dan teknik yang diutamakan oleh ikatan ini adalah sesuatu yang kabarnya sering dilupakan para istri, bagaimana memuaskan suami di atas ranjang, apakah ranjang itu beralas kapuk, busa super, atau spring bed. Intinya, para istri akan diberi pelatihan lewat konsultasi bagaimana berlaku sebagai pelacur profesional tatkala melayani suami.

Hore...! Betapa nikmatnya para suami. Setiap malam--siang pun oke juga--dilayani "pelacur kelas tinggi" yang gratisan. Jika para istri tak mau memerankan diri mereka sebagai wanita tunasusila atau pekerja seks atau kupu-kupu malam atau sebutan lain yang lebih manis lagi (di kampung saya sebutannya menyakitkan agar mereka tobat: sundel), berarti istri itu tidak taat kepada suaminya. Ketaatan itu diukur dari bagaimana cumbu rayu di atas ranjang. Luar biasa.

Penggagas Ikatan Istri Taat Suami ini bukan orang sembarangan. Di Malaysia, yang jadi cikal-bakalnya, organisasi yang bernama Klub Istri Taat Suami alias Obedient Wives Club (OWC) diprakarsai oleh kalangan intelektual, salah satunya Dr Rohaya Mohammad, yang kini menjadi Wakil Presiden OWC.

Di Indonesia, penggagasnya Dr Gina Puspita, PhD. Wow, melihat gelar kesarjanaannya saja saya harus angkat topi--eh, maaf, saya tak boleh pakai topi sejak dua tahun lalu. Kekaguman saya pun bertambah setelah tahu Dr Gina adalah doktor aeronautika yang langka, dan menjadi salah satu istri dari seorang suami. Gina melayani suaminya bersama tiga madunya, Basiroh, Salwa, dan Fatimah. Saya merinding membayangkan jika sayalah suami itu: oalah, ada empat pelacur menemani saya di satu ranjang.

Apakah hubungan suami-istri dan hakikat perkawinan semata-mata soal seks? Apakah seks semata-mata soal nafsu? Apakah nafsu semata-mata karena teknik mencumbu dan dicumbui? Dr Gina mengutip ajaran Islam dalam menyebarkan idenya ini: ketaatan istri kepada suami adalah ibadah. Saya buta soal ini, apalagi memaknai kata "taat" jika dikaitkan dengan ibadah.

Yang saya tahu, dalam Hindu, teknik "bermain" di ranjang ada dalam kitab Kama Sutra. "Permainan" ini sejatinya lebih pada "permainan rasa", bukan "pertarungan nafsu". Hanya gara-gara film Hong Kong yang banyak menerjemahkan Kama Sutra dengan konyol sehingga jadilah Kama Sutra cabul, bahkan vulgar. Kama Sutra dipraktekkan oleh pasangan yang sah karena perkawinan adalah sakral. Bahkan dalam Hindu ada saatnya kapan boleh berhubungan suami-istri dan kapan tidak, karena "tujuan hubungan" melahirkan anak yang suputra (anak saleh).

Hubungan seks saat ini sepertinya tak lagi mengikuti pakem. Para istri harus taat kepada suami, melayani suami bak pelacur, dan suami pun hanya menyalurkan rasa lelah dan kesal oleh pekerjaan rutinnya menumpuk harta. Tak ada sentuhan rohani sedikit pun di atas ranjang dan kelak lahirlah bayi-bayi instan yang nantinya mungkin menjadi koruptor, penjarah, penyuap, atau pengemplang pajak.

Pancasila

(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Mei 2011, untuk direnungkan bahwa prilaku kita saat ini sungguh menyimpang dari Pancasila)

• Putu Setia

Menjelang 1 Juni, orang sibuk bicara Pancasila sebagai dasar negara. Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menjadi tamu para petinggi negara yang membicarakan betapa pentingnya kelahiran Pancasila diperingati.

Apakah ini juga buah reformasi? Pada masa Orde Baru, Soeharto tak sudi merayakan kelahiran Pancasila karena lebih tertarik pada kesaktian Pancasila--padahal semua orang tahu tak ada yang sakti kalau tak pernah dilahirkan. Namun di era reformasi pula Pancasila mulai dilupakan, setidaknya pengamalannya luntur. Pancasila tak lagi diajarkan secara khusus, sehingga para rektor di Jawa Timur meminta agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diajarkan kembali.

Saya setuju Pancasila diajarkan, tapi kurang sreg P4 dihidupkan, meskipun saya alumnus penataran P4 tingkat nasional angkatan ke-145. P4 penafsirannya terlalu mutlak dan kurang menghargai dialog. Tapi itu urusan Ketua MPR, Ketua DPR, presiden, dan petinggi lainnya.

Yang hendak saya katakan, pengamalan Pancasila sudah jauh merosot. Sekarang ini perikehidupan--ini bahasa penataran--menyimpang dari Pancasila, baik di tingkat elite maupun lapisan bawah. Yang banyak diamalkan justru "Pancasala". Sala, seperti halnya sila, adalah bahasa Jawa kuno yang artinya salah. "Lima kesalahan" inilah yang kini banyak diamalkan.

Apakah itu? Sala pertama: keuangan yang mahakuasa. Uanglah yang membuat orang berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Untuk menjadi bupati, gubernur, presiden, dan wakil rakyat perlu uang. Menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia saja perlu miliaran uang untuk menyogok wakil rakyat. Menurut akal sehat, tak masuk akal, bagaimana mengembalikan uang itu dengan gaji yang diperoleh? Tapi itu yang terjadi, korupsi semakin marak. Memalukan luar biasa.

Sala kedua: kemanusiaan yang batil dan biadab. Menurut kamus, batil artinya tak benar. Banyak perilaku kita yang tak benar dan kebiadaban terjadi di mana-mana. Teroris menjadi ancaman, perampok seenaknya menembak tewas polisi, rumah ibadah dirusak dengan beringas. Antara Mahfud Md. dan Muhammad Nazaruddin, siapa yang batil? Meski secara "perasaan" gampang ditebak--yang kabur biasanya tak benar--secara hukum, perdebatannya panjang. Ini skandal moral.

Sala ketiga: perseteruan Indonesia. Orang gampang berseteru. Buaya berseteru dengan cicak, es lilin berseteru dengan es kopyor. Andi Mallarangeng berseteru dengan Nazaruddin, Muchdi Pr. berseteru dengan Suryadharma Ali. Padahal semuanya satu partai dan semuanya bicara partainya solid. Memilih Ketua Umum PSSI saja ributnya setengah modar, padahal siapa pun yang terpilih tak akan membuat Indonesia juara dunia. Ini memprihatinkan.

Sala keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah keraguan dalam permusyawaratan semu. Semua langkah yang diambil berdasarkan keraguan. Menaikkan harga Premium takut, tapi tetap mengimbau pemilik mobil membeli Pertamax. Petinggi partai semua ngomong: koalisi solid, tak ada perpecahan, nyatanya itu semu. Ini memuakkan.

Sala kelima: kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini tak perlu diulas, capek. Wakil rakyat membuat gedung mewah, anak-anak rakyat--yang jadi ketua rakyat--gedung sekolahnya roboh. Gaji wakil rakyat Rp 54 juta--di luar komisi proyek, uang reses, sangu studi banding, dan penghasilan makelar anggaran--sementara gaji guru honorer, termasuk yang mengajarkan Pancasila, Rp 200 ribu.

Pertanyaan untuk elite kita: betulkah kalian mau kembali ke dasar negara Pancasila kalau kenyataan yang kalian amalkan "Pancasala"? Beri teladan dong, jangan omong doang!

Senin, 23 Mei 2011

Jika Griya Berbisnis Banten

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda


(Tulisan ini dimuat Majalah Hindu Raditya edisi Mei 2011)


Pertanyaan pertama yang diajukan oleh warga dadya di mana saya meminta dukungan untuk meningkatkan kesucian diri dengan menjadi Sulinggih (pendeta Hindu) adalah apa tujuan yang ingin dicapai? Jawaban saya spontan saja: ingin mengabdi pada umat dan menjadi pelayan umat, mengabdi kepada Bethara Kawitan, mengabdi dalam dunia spiritual dan tentu saja untuk penyucian diri.

Pertanyaan seperti ini ternyata terus muncul pada tahap-tahap berikutnya, ketika menentukan Guru Nabe, ketika diperiksa masalah administrasinya oleh Parisada, ketika Diksa Pariksa yang dilakukan oleh pesemetonan kawitan. Bahkan pertanyaan itu nampaknya menjadi pertanyaan wajib untuk semua orang yang ingin meningkatkan dirinya menjadi Sulinggih lewat upacara Diksa. Jawaban saya -- dan begitu pula jawaban orang lain yang pernah saya dengar -- tetap sama, meski pun dengan berbagai bunga-bunga dan kembang-kembang supaya kelihatan lebih meyakinkan dan mungkin juga lebih seram.

Tapi apakah kenyataannya semua Sulinggih melaksanakan apa yang telah dikatakan sebagai “jawaban atas pertanyaan” itu? Kenapa ada griya yang berbisnis banten, bukankah seorang pendeta tak boleh berjualan, tan wenang adol atuku? Bahkan ada griya yang sudah memposisikan diri sebagai “pabrik banten” dengan mempekerjakan tenaga-tanaga upahan (karyawan).

Fenomena ini tak bisa ditutup-tutupi karena sudah terang benderang. Bahkan beberapa griya sudah menerapkan tabel banten, Untuk upacara ini sekian juta, untuk upacara itu sekian juta. Sampai-sampai ada tabel: daksina linggih harganya sekian ribu, banten prayascita sekian ribu. Mirip super market. Kalau begitu kenapa harus menjadi Sulinggih, kenapa tidak menjadi makelar banten saja?

Di perguruan kami, sangat ketat larangan untuk menjual banten itu. Bahkan dibujuk bagaimana pun oleh umat, tetap tak bisa melayani penjualan banten. Ada cara untuk menyiasati hal itu, yakni dengan menghubungkan umat yang akan melakukan yadnya dengan tukang banten yang memang profesinya menjual banten. Umat yang beryadnya akhirnya berhubungan dengan tukang banten, dan pilihan tukang banten yang dituju diberikan alternatif, bukan cuma satu. Kalau terjadi tawar-menawar, lakukan di sana, bukan tawar-menawar di griya karena griya bukan supermarket banten. Griya adalah tempat memberikan pencerahan kepada umat, tempat bertanya dan menuntun umat dalam kegelapan di bidang agama.

Memang harus diakui, dalam era globalisasi sekarang ini ada proses tertentu yang membuat tak semua orang bisa membuat banten dan mau membuat banten sendiri untuk keperluan ritualnya. Mereka lebih praktis membeli. Tetapi mari tempatkan “sesana kewikon”, janganlah seorang wiku atau sulinggih atau pendeta yang menjual banten, nanti malah upacara yang mestinya kecil dibuat besar supaya bantennya lebih banyak laku.. Begitu seorang sulinggih menjanjikan menjual banten, maka di otaknya sudah ada pikiran tentang berapa keuntungan. Bisa jadi, ia akan berhitung melulu, berapa sekarang harga telur, berapa harga kelapa, berapa harga janur. Kalau itu yang dipikirkan, bagaimana memikirkan kesucian diri, dan kalau dirinya tidak suci bagaimana melaksanakan yadnya yang suci?

Sulinggih adalah pelayan umat. Suatu kali seseorang datang ke sulinggih, minta dibuatkan kajang (perlengkapan pitra yadnya). Ini memang harus dikerjakan sulinggih karena menyangkut kesucian, misalnya, merajah dan sebagainya. Tetapi sulinggih tak berhak menentukan berapa harga kajang itu. Terserah berapa “punia” yang diberikan umat.

Ada contoh menarik dalam hal ini. Seseorang meminta kajang ke sulinggih yang akan muput. Selesai kajang itu, umat memberi uang Rp 50 ribu. Si pemberi merasa uang itu sudah banyak. Sulinggih menerima begitu saja dengan tersenyum, karena memang tugasnya melayani umat. Padahal apa arti uang Rp 50 ribu? Bahan yang dibutuhkan delapan meter kain putih, dua spidol anti air (agar tak melobor jika kena tirtha), dan butuh sehari semalam untuk menggambar dan membuat rerajahan. Umat tak tahu kerepotan dan berapa bahan yang dihabiskan, jadi belum tentu pelit. Namun sang sulinggih tak etis menyebutkan berapa uang yang dihabiskan untuk membuat kajang. Seorang sulinggih yakin, pengorbanannya dalam melayani umat, akan dibalas berlebihan oleh Hyang Widhi, barangkali di kesempatan lain ada umat me-”resi yadnya” lebih banyak.

Suatu kali ada wartawan -- teman lama -- yang bertanya pada saya: kalau tak menjual banten, tak mengejar “proyek muput” dan hanya menunggu yang datang, dari mana memperoleh penghasilan? Jawab saya: “Saya menjadi sulinggih bukan untuk mencari penghasilan, bukan untuk memperoleh kekayaan. Kalau mau penghasilan besar dan kaya, lebih baik menjadi pedagang atau meneruskan karir wartawan dan politik. Untuk apa menjadi sulinggih kalau yang dipikirkan masih materi?” Artinya, menjadi sulinggih bukan untuk mencari pekerjaan baru, bukan untuk job.

Karena itu seorang sulinggih seharusnya punya “tabungan” untuk mengisi hari-harinya melayani umat. Tabungan tak harus materi, bisa berupa anak yang sudah punya pekerjaan mapan dan mendukung sepenuhnya griya yang diasuh sulinggih.

Ya, sulinggih adalah manusia. Seperti halnya pemimpin ada yang korupsi, tokoh agama ada yang berbuat onar, bisa jadi ada sulinggih yang masih memanfaatkan kesulinggihannya untuk menimbun materi. Tapi itu tak banyak, jauh lebih banyak sulinggih yang memegang “sesana kewikon”.

Pilkada Langsung di Hastinapura (Gugurnya Karna)

Cerita Pendek oleh Mpu Jaya Prema Ananda

(Cerpen ini adalah latihan pertama saya menulis fiksi setelah dinobatkan sebagai Pendeta Hindu. Barangkali lantaran itu tak ada satu pun koran yang mau mempublikasikannya, ya, terlalu dangkal mungkin atau gaya bertuturnya sudah ketinggalan. Tapi saya akan mencoba menulis lagi karena pendeta tetap boleh menulis...ha..ha...)

Sejarah baru dimulai di Provinsi Daerah Istimewa Hastinapura. Setelah bertahun-tahun provinsi itu dipimpin oleh kalangan bangsawan pewaris kerajaan, kini gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian slogan yang diusung pemerintah pusat, yang suka atau tak suka, harus diikuti oleh seluruh provinsi.

Awalnya sepuluh kandidat memperebutkan jabatan gubernur yang pertamakali dipilih itu. Tujuh dari kalangan darah biru. Para pengamat meramalkan, jabatan gubernur masih akan tetap dikuasai kalangan bangsawan. Ini bukan saja masalah feodalisme yang sudah menjadi budaya di provinsi itu, tetapi juga kenyataan bahwa kalangan bangsawan lebih siap dengan dana, calonnya lebih berpendidikan, dan kepopulerannya jauh di atas calon rakyat jelata. Maklum, di semua bidang kehidupan, kalangan darah biru menjadi penguasanya. Mereka menguasai sektor ekonomi, komunikasi, dan pendidikan.

Karena itu sangat mengejutkan, hasil pemilihan putaran pertama menempatkan calon dari kaum bangsawan bersaing dengan calon rakyat kebanyakan, hal yang menyimpang dari ramalan para pengamat. Radheya Suthaputra, anak seorang kusir dokar (sais andong) berhasil meraih suara terbanyak kedua dan berhak maju ke putaran final. Radheya menantang sang pengumpul suara terbanyak, Dr. Raden Partha Tenaya, pakar nuklir yang sangat tampan, dari kalangan bangsawan trah (clan) Pandu. Kandidat dari kalangan bangsawan trah Drestarata tidak masuk dalam dua besar.

Eforia pun muncul di kalangan masyarakat rendahan. “Dia pahlawan kita, saatnya kasta Sutha berani tampil untuk menghancurkan feodalisme yang sangat bertentangan dengan hak asasi manusia,” kata tim sukses Radheya. Sutha adalah kasta terendah dalam sistem sosial masyarakat warisan penjajah.

Televisi, koran, majalah dan situs berita online, terpecah. Tapi banyak yang berpihak ke Radheya. Media massa ini lahir di era reformasi, sebuah era yang memberi kesempatan kepada kaum bawah untuk bersuara. Namun, harus diakui eforia itu lebih banyak di perkotaan dan daerah kawasan wisata. Di pedesaan, pengaruh kaum bangsawan tak bisa dianggap enteng. Selain itu, penduduk pedesaan tak merasakan benar apa beda era reformasi dengan era sebelumnya, karena mereka tetap dihimpit kepahitan hidup.

Yang menarik, menjelang putaran final ini, kelompok bangsawan trah Drestarata mendukung Radheya. “Kami, para pangeran keturunan Drestarata mendukung Radheya. Dia menjanjikan perubahan,” kata Drs. Duryadana. M.Sc, pimpinan kelompok itu. Prof. Sakuni Hartawan, sesepuh kelompok itu, yang sikapnya sering mencla-mencle, juga mendukung Radheya. “Anak kusir dokar itu telah menjadi pembaru meskipun pendidikan formalnya tak mendukung. Untuk apa gelar kalau tak bisa diamalkan,” kata Prof. Sakuni.

Sayangnya, Radheya dihantam kampanye hitam. Masa lalunya selalu diungkit oleh media massa yang dikuasai bangsawan trah Pandu. Misalnya, dia disebut bukan anak tunggal kusir dokar itu, karena keluarga itu adalah pasangan yang mandul. Radheya adalah anak yang dipungut di sungai Yeh Gangga. Ada perempuan jahat yang membuang anak itu. “Radheya anak bebinjat, bagaimana mungkin provinsi ini dipinpim anak haram,” kata Yudhistira Adiwangsa, M.Ag, sesepuh bangsawan kelompok Pandu. Bebinjat adalah istilah yang sangat kasar di provinsi itu, berasal dari bahasa daerah yang artinya “anak yang lahir dari ibu jahat”. Yudhistira, master pendidikan agama lulusan Institut Agama Weda ini memang jarang berbicara, tetapi ucapannya yang pelit itu selalu diulang-ulang oleh jaringan televisi kelompok bangsawan.

“Kamu harus melawan kampanye hitam itu, jangan mundur selangkah pun,” kata Sakuni, memanas-manasi. “Ya Paman, pada debat terbuka nanti, saya akan akui hal itu, saya anak bebinjat, anak yang hina…”

“Memang kamu tahu, siapa dirimu?” Sakuni memotong. Radheya langsung menjawab: “Tentu, lebih dari yang orang lain tahu.”

***

Hidup dalam keluarga sederhana, membuat Radheya kecil bergulat keras mencapai cita-citanya: ahli nuklir. Selepas sekolah dasar ia membiayai sendiri pendidikannya di sekolah lanjutan pertama dan atas dengan berjualan koran. Kebetulan sekolah itu ada di lingkungannya, meski pun ia tetap diejek-ejek sebagai anak kusir dokar. Ia tak peduli. Justru ketika di SMA, Radheya menambahkan kata Suthaputra di belakang namanya. “Ini ciri kebanggaan saya sebagai anak kasta Sutha,” katanya.

Tamat SMA, Radheya pergi ke kota mendaftar di Sekolah Tinggi Teknik Nuklir. Sehari menjelang testing, ia dipanggil oleh rektor sekolah tinggi itu, Prof. Dr. Drona. “Siapa kamu, yang berani mendaftar di sekolah yang bergengsi ini?” tanya Drona.

Radheya menjawab dengan hormat: “Namaste Guru. Aku adalah putra Atiratha, kusir dokar di pinggiran kota. Ibuku Radha, perajut benang. Namaku Radheya Suthaputra.”

Prof. Drona menggebrak meja: “Engkau adalah seorang putra Sutha. Aku tak akan mengajarkan ilmu nuklir kepada orang dari kelahiran rendah.”

Radheya masih mampu menjawab: “Kelahiran adalah takdir Ilahi yang tak bisa diminta. Semua orang lahir dari rahim seorang ibu, dan Weda mengajarkan seorang ibu adalah mulia.”

Drona makin marah: “Jangan berkotbah di depanku. Sekolah ini hanya untuk para Kesatria. Apalagi kelahiranmu cacat, tak dikehendaki oleh ibu yang melahirkanmu. Keluar!”

Radheya diam. Drona memanggil seseorang. “Partha, usir anak ini,” teriak Drona, dan guru besar itu pergi. Seorang remaja tampan datang. Ia menegur Radheya dengan halus dan memintanya keluar dari ruang rektorat. Radheya tetap duduk. Tiba-tiba muncul remaja kekar dan langsung menyeret Radheya ke luar dengan paksa. Bahkan si kekar itu sempat memukul Radheya. Tak terjadi perkelahian karena Radheya dipeluk remaja tampan itu sementara yang kekar sudah menjauh. “Dia kakak kandung saya, namanya Bimasena, ia suka berkelahi. Nama saya Partha Tenaya, di rumah saya dipanggil Arjuna, saya murid pribadi Guru Drona. Guru memang hanya menerima murid para Kesatria.”

Kata-kata Partha masih panjang, suaranya sedikit lembut, tetapi Radheya sudah tak bisa menangkapnya karena hatinya sudah panas. Ia pulang dengan kepedihan yang menyayat.

Tiga hari setelah itu, di suatu malam yang dingin, Radheya menemui ibunya di beranda rumah. Saat itu Radheya persis berusia delapan belas tahun, tetapi keluarga ini memang tak pernah merayakan hari kelahiran. Ia segera bersujud di kaki ibunya, sementara perempuan itu asyik dengan benang yang dirajutnya.

“Ibu, apakah Ibu mau menceritakan sesuatu?” Radheya memeluk kaki ibunya dan melanjutkan; “Hari ini usiaku delapan belas tahun, aku mau pergi menuntut ilmu. Di kota ini, aku sudah ditolak. Karena aku pergi jauh, aku ingin tahu, siapa sejatinya aku ini.”

Perempuan itu menaruh benang yang sedang dirajutnya. Tiba-tiba ia menangis. Radheya kaget. “Ibu, apakah aku telah melukai hatimu? Maafkan aku. Mengapa ibu menangis seperti ini?”

Radha tetap menangis. Bahkan ketika ia mampu berbicara panjang tentang siapa Radheya, suaranya terbata-bata. Radheya pun sempat menitikkan air mata mendengar cerita ibunya, walau kemudian ia berusaha tenang.

“Cukup ibu,” ujar Radheya setelah ibunya berbicara lebih dari sejam. “Engkau adalah ibuku, hanya engkau ibuku. Ibu yang paling berharga dibandingkan ibu-ibu yang lain. Aku tak peduli, jika pun aku seorang Kesatria, aku tak ingin jadi orang lain, aku hanya ingin menjadi putramu.”

Radheya memeluk ibunya. Radha membalas pelukan itu dengan derai air mata. Esok harinya, Radheya berpamitan untuk menuntut ilmu ke kota yang jauh. Ia berguru ke Bhagawan Bhargawa.

***

Pendopo gubernuran sudah bersolek. Saatnya tiba, debat akhir calon gubernur. Dr. Partha Tenaya sudah duduk di posisi kiri podium. Ia didampingi ibunya, Dra. Sri Kunti Pandu. Di belakangnya duduk saudara-saudaranya, Yudhistira Adiwangsa, M.Ag, Bimasena yang mantan petinju, Nakula dan saudara kembarnya Sahadewa, keduanya baru saja lulus dari sekolah tinggi seni tari. Satu kursi kosong, tadinya diperuntukkan Pendeta Bhisma, tetapi kakek Partha ini tak datang. Padahal Bhisma diharapkan mewakili kepala keluarga karena ayah Partha, yakni Pandu Devata, sudah meninggal dunia.

Di sisi kanan podium, Radheya Suthaputra hanya didampingi ayah dan ibunya. Tak ada orang lain. Pendukung kedua kandidat ada di depan podium, di sana pula berbaur Duryodana, Sakuni, Aswatama dan – ini yang menarik— ada pula Prof. Drona.

Radheya tampil pertama. Ia maju dengan memberi salam hormat. “Sebelum saya menyampaikan visi dan missi, saya ingin menceritakan sedikit, siapa sebenarnya saya. Betul sekali, saya adalah anak seorang Sutha, ayah saya hanya kusir dokar dan ibu saya tukang rajut.”

Tepuk tangan bergemuruh. Radheya melanjutkan: “Selama ini media massa sering menyebut saya anak bebinjat. Itu tak salah, karena saya ternyata anak angkat yang dipungut oleh ayah saya yang ada di sini,” kata Radheya sambil menunjuk ayahnya.

Tepuk tangan kembali bergemuruh. Kunti membuka kacamatanya, seperti memperhatikan Radheya lebih seksama.

“Seorang ibu yang jahat telah membuang anaknya di aliran Yeh Gangga. Pasti anak itu lahir dari perzinahan, perbuatan terhina dalam Weda. Siapakah ibu itu? Kepolisian menemukan bukti-bukti berikut: bayi itu dibalut selimut mahal yang tak mungkin dibeli oleh rakyat kelas bawah, lalu ditaruh di kotak bekas kardus sepatu buatan luar negeri, benda yang asing di kalangan kasta Sutha. Besar kemungkinan bayi itu lahir dan dibuang oleh ibu dari kalangan bangsawan. Betapa rusaknya moral anak bangsa ini,” Radheya menghentikan pidatonya karena tepuk tangan kembali bergema. Sementara itu, banyak kaum ibu yang menitikkan air mata terharu, termasuk Kunti.

“Bunda jangan terpengaruh bualan Radheya, jangan larut,” bisik Partha ke arah ibunya. Kunti terlihat mengeluarkan sapu tangan.

“Kalau saja kepolisian berani mengusut kasus itu pada awalnya, semuanya tuntas. Karena di telinga bayi lelaki itu sudah ada anting-anting berlian dan masyarakat spontan berteriak: karna…karna… Bayi itu pun dipanggil Karna, artinya daun telinga.”

Sri Kunti Pandu rebah dan Partha tampak panik menyangga bahu ibunya. Radheya tak melihat kejadian itu dan melanjutkan: “Karena kepolisian menghentikan pengusutan, kusir dokar ini berhak atas bayi itu karena dia yang pertama menemukannya. Akulah bayi itu, Karna adalah Radheya. Saatnya Radheya tampil untuk mengembalikan moral yang tercabik-cabik oleh kaum ibu yang jahat…”

Kali ini, tepuk tangan gemuruh ditambah suara gaduh. Sri Kunti pingsan dan diusung keluar pendopo, diikuti putra-putranya. Debat ditunda.

***
Pantai Yeh Gangga setelah matahari tenggelam. Di kafe pinggir laut di hilir sungai itu, duduk seorang perempuan berkerudung ditemani seorang lelaki. Dia nampak gelisah mempermainkan kardus kecil yang diletakkan di atas meja.

“Widura, kau yakin dia datang?” tanya perempuan itu. Yang dipanggil menjawab: “Dia sudah SMS, sebentar lagi datang dengan taksi.”

Betul, terdengar suara mobil memasuki halaman kafe. Radheya memasuki kafe dengan langkah tenang. Ia disambut Widura dan berbasa-basi sejenak, lalu Radheya diarahkan ke meja tempat perempuan berkerudung. Setelah itu Widura pergi.

Suasana kaku. “Radheya, saya kagum dengan visi dan misi yang Anda sampaikan. Perbaikan moral harus jadi prioritas utama di negeri ini dan hanya ibu-ibu yang bermoral yang bisa memperbaiki bangsa. Weda mengatakan, di mana kehormatan seorang wanita terjaga, di sana ketentraman dan kemakmuran berada,” kata perempuan itu.

“Terimakasih,” sahut Radheya. Perempuan itu cepat melanjutkan: “Sebagai bukti saya mendukung perjuangan Anda, saya memberikan dana sekedarnya. Ambillah ini,” perempuan itu menyodorkan kardus kecil. “Tak banyak, hanya seratus ribu dolar.”

Radheya tercengang. “Maaf Ibu, sumbangan ini sebaiknya disampaikan setelah saya menjabat gubernur. Kalau sekarang saya terima ini tergolong money politic.”

“Radheya yang baik,” perempuan itu seperti memelas. “ Saya berpikir, perjuangan menegakkan moral tak mungkin dilakukan oleh pemerintah sekarang, apalagi hanya oleh gubernur. Perjuangan itu harus dilakukan di luar pemerintah, menggandeng ulama, masyarakat adat, budayawan dan sebagainya. Anda tepat melakukan ini.”

“Apa maksud Ibu, bisakah to the point?” tanya Radheya. “Saya ingin Anda mengundurkan diri sebagai kandidat gubernur. Biarkan jabatan itu dipegang Partha Tenaya,” jawab perempuan itu.

Radheya tersinggung. “Permainan apalagi ini? Ini kejahatan luar biasa, menyuap orang untuk mengundurkan diri. Anda siapa?”

“Nama saya Sri Kunti, ibunda Partha Tenaya.”

Radheya tertawa. “Terlalu dangkal ulahmu untuk menaklukkan saya. Kamu sama jahatnya dengan ibu yang melahirkan saya.”

“Karna… Karna…” teriak Kunti. “Nama saya Radheya, bukan Karna,” jawab Radheya tak kalah teriaknya.

“Kau anakku, Karna…”

Radheya tercengang, bibirnya gemeretak menahan marah. “Jadi, kau perempuan jahat yang membuang bayi itu di Yeh Gangga?”

“Ya, aku yang mengandungmu sembilan bulan dan melahirkannya dengan selamat. Kalau aku mau melakukannya, usia kandungan dua atau tiga bulan bisa kugugurkan dengan mudah, banyak dokter yang mau melakukannya. Tapi aku ingin lihat anak itu lahir dan selamat…”

“Dan dibuang…” Radheya memotong.

“Dibuang dengan menjamin keselamatannya, ditaruh di kardus kedap air, dibalut selimut tebal dan anting-anting sebagai pertanda kelak kemudian hari. Diletakkan saat air Yeh Gangga tenang, diawasi oleh banyak saudara-saudaraku sampai yakin ada orang yang memungutnya.”

“Kenapa kau lakukan kejahatan itu, Kunti?”

“Karena aku bangsawan dan kaumku sedang memerintah. Negeri bisa gonjang-ganjing hanya karena perzinahan yang tak kusengaja ini. Biarkan aku bercerita dulu, Karna. Ketika itu aku masih gadis, entah bagaimana aku ingin mempraktekkan ilmu kebatinan yang kuterima dari seorang Resi, Ketika aku melakukan hubungan intim dengan pacarku, yang kubayangkan bukan wajah pacarku, tetapi wajah Dewa Surya. Ternyata hubungan itu membuahkan janin, aku takut kena kutukan Dewa Surya, kupelihara janin itu dan setelah bayi itu lahir, kuselamatkan dengan bantuan Dewa Surya.”

“Itu dongeng konyol. Bukan bantuan Dewa Surya, tetapi bantuan kepolisian yang menutup kasus ini dengan memberikan surat penghentian penyidikan. Mau meneruskan dongeng konyol itu lagi?” Radheya menyindir.

“Ya, setelah semuanya aman, aku dinikahkan dengan Pandu. Dalam perkawinan inilah seharusnya ilmu kebatinan yang kuperoleh itu digunakan, bukan sebelum kawin. Pandu lelaki yang tak subur. Ketika melakukan hubungan suami istri, aku memuja Dewa Dharma dan lahirlah Yudhistira. Anak kedua, aku memuja Dewa Bayu, lahirlah Bimasena. Terakhir aku memuja Dewa Indra, lahir Partha. “

“Cerita konyol apalagi tentang kelahiran kembar Nakula dan Sahadewa?” Radheya terus mencibir.

Kunti melanjutkan: “Oo, itu anak-anak Madri, istri Pandu yang lain. Kuajari Mandri memuja Dewa Aswin dan lahirlah anak kembar itu. Nakula dan Sahadewa kuanggap anak sendiri karena Mandri mau melakukan upacara satya, menceburkan diri di api yang membakar Pandu ketika upacara pitra yadnya. Kini aku menjadi ibu dari kelima anak tanpa pilih kasih….”

“Dan kau sungguh ibu yang mulia kalau tidak membuang anak pertamamu hasil memuja Dewa Surya. …”

“Itu takdir dewata, Karna. Nyatanya, kau tetap tumbuh sebagai kesatria, karena kau memang anak yang lahir dari rahimku. Weda mengajarkan, seburuk-buruk ibu kandung, sejahat-jahat ibu yang melahirkan, seorang anak harus tetap berbhakti karena ibu kandung adalah pradana, pemegang kunci sorga…,”

Radheya mulai agak tenang, dan berkata: “Aku mengakuimu sebagai ibu, tetapi kejahatanmu harus dikuburkan dengan tobat. Mohon ampun kepada dewata malam ini, dan besok pagi kau buat jumpa pers, umumkan kepada semua rakyat yang punya hak pilih bahwa Kunti adalah ibu dari dua kandidat gubernur yang tidak pilih kasih. Siapa pun yang menang, apakah itu Partha alias Arjuna, atau Radheya alias Karna, Kunti adalah ibunya. Namaste….”

Radheya keluar dari kafe. Kunti memeluk kardus kecil berisi uang dolar itu sambil sesenggukan. Sekejap ia sempat menatap Karna, anaknya, yang dihadang dua lelaki dan memasukkan dengan paksa ke mobil. Selebihnya, suara ombak yang menderu, karena kawasan wisata ini memang sepi sejak ada cuaca ekstrim.

***
Radheya tewas. Radheya dirampok. Radheya gugur sebelum bertempur. Headline koran seragam di pagi ini dengan berita tewasnya kandidat gubernur di kawasan wisata Yeh Gangga. Televisi menyiarkan berita itu tak henti-hentinya, dari pagi sampai siang, dari siang sampai malam, dari malam sampai pagi esoknya.

Radheya tewas dengan tiga peluru ditubuhnya, dan sejumlah uang dolar yang tercecer. “Radheya mungkin melakukan perlawanan ketika dirampok,” kata seorang pengamat di televisi.

Semua televisi menyajikan breaking news. Polisi meminta semua orang waspada terhadap teroris yang mulai mencari dana dengan merampok. Pengamat lain meminta kepolisian menyelidiki juga motif politik, bukan hanya perampokan. “Siapa tamu yang ditemui Radheya di kafe Yeh Gangga? Kenapa saat kejadian, Kresna, Yudhistira, Bimasena menginap di vila di sebelah kafe itu? Orang tahu, Kresna berasal dari Provinsi Dwarawati yang diutus oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan pemilihan langsung di Hastinapura. Dan orang juga tahu, Kresna adalah keponakan Kunti, siapa tahu dia sutradara dari huru-hara ini,” kata Tjipta Laksana, pengamat itu.

“Jadi, tewasnya Radheya sebagai permainan kotor politik?’ tanya penyiar, sok menyimpulkan. “Upaya itu harus digali dan yang lebih penting, ini adalah kesalahan pemerintah pusat yang memaksakan pemilihan langsung. Kalau saja jabatan gubernur masih dengan cara penetapan, mungkin tak seheboh ini. Saya yakin akan ada perang saudara di Hastinapura,” kata Tjipta Laksana.

Penyiar bingung , lalu: “Pemirsa, breaking news segera kembali.”


Bali, Januari 2011

Catatan:
• Penulis adalah pendeta Hindu, tinggal di lereng Gunung Batukaru Bali, sebelumnya wartawan bernama Putu Setia.
• Kisah ini terinspirasi dari Adiparwa (bagian pertama ephos klasik Mahabharata) episode Adipati Karna.

Semut

Putu Setia

(Tulisan ini dimuat Koran Tempo Minggu 15 Mei 2011, ditampilkan di sini untuk selingan saja)

Sebagai pemerhati semut, saya kagum dengan fotografer Robertus Agung Sudiatmoko yang bisa memotret semut yang tengah menari dengan satu kaki. Bahkan dalam serial foto semutnya yang dilansir Daily Mail, Robertus juga mengabadikan seekor semut yang berdiri di atas bebatuan tengah menyilangkan tangannya seperti berdoa. Robertus mengaku suka hewan kecil itu, alasannya semut sangat mandiri dan dalam bekerja sama semuanya bekerja.
Saya setuju. Saya sering memakai semut untuk memberi contoh bagaimana seharusnya manusia bekerja sama. Begitu banyak teladan dari alam, baik benda hidup maupun mati, saya suka dengan tiga hal: persekutuan binatang buas, persatuan sapu lidi, dan paguyuban semut.

Persekutuan binatang buas, misalnya macan, dalam mencari mangsa awalnya berkelompok. Begitu ketemu mangsa, macan-macan ini bersatu membunuh korbannya. Kemudian, macan itu saling berebut mendapat jatah paling banyak. Setelah kenyang mereka pergi cerai berai, lupa pada persekutuan.

Di dunia manusia, persekutuan ini banyak dipraktekkan dalam kasus korupsi berjamaah – istilah yang tak saya suka karena mengambil idiom agama. Kasus cek pelayat yang dikaitkan dengan terpilihnya Miranda Goeltom sebagai deputi Gubernur Bank Indonesia, masuk katagori ini. “Macan-macan” itu setelah puas melahap cek, kini saling menyalahkan. Kasus Gayus Tambunan juga masuk katagori ini. Tak mungkin sebagai “macan” Gayus sendirian menggarong uang rakyat, tapi “macan” yang lain keburu hilang dalam rimba. Selain gelap, penjaga hukum dalam rimba terbiasa tebang pilih.

Kasus anyar, korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games Palembang, juga tergolong “persekutuan macan”. Pelaku yang ramai disebut, membantah terlibat, bahkan tiba-tiba saling tak kenal. Lalu saling menuduh, yang ini merekayasa itu, yang itu merekayasa ini. Sekejam-kejam macan tak pernah memangsa anaknya, dan manusia yang baik tentu melindungi “anak buahnya”. Maka petinggi partai pun, baik Demokrat maupun Demokrasi Indonesia Perjuangan, pasti berusaha meminimalkan keterlibatan kadernya.

Mari lihat persatuan sapu lidi. Setangkai lidi mudah dipatahkan, tetapi sekumpulan lidi, sulit dipatahkan. Bersatu teguh, bercerai rapuh. Masalahnya, sebuah sapu mudah dipakai oleh siapapun yang merasa memiliki. Di jagat manusia, kita sudah biasa melihat berbagai aksi yang orangnya “itu-itu saja”. Apalagi saat kampanye Pemilu, tinggal memberi baju kaos – plus nasi bungkus dan sangu. Kini, kita mendapatkan wakil rakyat yang gemar mengejar “bungkusan” dan sangu.

Tapi, saya tak ingin memasukkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam katagori ini. Komisi ini pasti tak bisa “dipinjam” untuk menyapu bagian sana tapi tidak bagian sini. Misalnya, sapu bersih penerima cek pelayat, tapi jangan menyapu pemberinya. Sapu bersih penerima suap Wisma Atlet, tapi jangan sampai ke petingginya.

Paguyuban semut yang ideal. Selebar apapun jalannya, mereka antre, lebih mulia dari manusia di jalanan. Kalau ada sumber makanan, ia komunikasikan lewat sinyal kimiawi yang canggih, yang oleh manusia sistem ini ditiru untuk menciptakan Facebook. Ini bukan omongan saya, ini penelitian Noa Pinter-Wollman dari Stanford University. Ketangguhan semut, seperti dibuktikan Robertus dalam fotonya, dapat membawa daun berukuran lebih dari 10 kali tinggi badannya.

Cuma, semut hewan “wong cilik”, disemprot pestisida mati – akibatnya muncul wabah ulat bulu. Pelajaran dari sini, kalau pemerintah tetap tak memperhatikan rakyat kecil, jangan salahkan “ulat bulu” yang radikal itu jadi subur.

Jumat, 11 Maret 2011

Menyoroti Perda RTRW Bali tentang Kawasan Suci

Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Perda RTRW Bali 2009 memiliki 19 bab serta 153 pasal. Perda ini mengatur banyak hal, dari hal-hal yang berada di bawah tanah (sumber mata air dan tambang, misalnya) sampai di atas tanah bahkan di awang-awang (soal tower dan penerbangan pesawat). Namanya saja mengatur soal ruang, tak ada ruang yang tak diatur sampai alam bawah tanah yang sejatinya tak ada ruangnya juga diatur.
Begitu luas cakupan perda ini, dari hutan lindung sampai terminal bus, dari laut sampai gunung, begitu rinci, termasuk mengatur masalah kendaraan bermotor dalam kaitan dengan kepadatan lalu lintas.

Tapi, yang jadi polemik hanyalah sebagian kecil saja, yaitu menyangkut kawasan suci pura. Dengan energi yang demikian besar memperbincangkan hal ini, seolah-olah isi perda hanya mengatur masalah kawasan suci pura. Apalagi Bhisama PHDI Pusat dijadikan landasan.

Kenapa ini jadi polemik? Karena kita terjebak pada kata-kata suci. Mendengar kata suci kita seperti emosional, karena kata itu begitu bertuah dan harus kita bela mati-matian. Siapa yang mempermasalahkan kata suci ini seolah-olah menjadi tidak suci. Dan lawan suci adalah kotor.

Apa sebenarnya kesucian itu? Kalau dalam ajaran Hindu semua alam ciptaan Tuhan ini adalah suci. Dari laut sampai ke puncak gunung suci. Tanah sebagai ibu pertiwi adalah suci. Bahkan dalam perda pun sudah dijelaskan secara gamblang mengenai kesucian itu. Dari laut, pantai, campuhan, danau, mata air, gunung semuanya suci

Dalam Perda, kesucian dipilah-pilah menurut tempat dan fungsinya. Ada kawasan suci di gunung (pasal 44 ayat 2 huruf.a.), mencakup kawasan dengan kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) derajat dari lereng kaki gunung menuju ke puncak gunung. Kawasan suci danau (pasal 44.2 b), Batur, Beratan, Buyan, Tamblingan. Kawasan suci campuhan, di mana ada campuhan diseluruh Bali. (ps 44.c). Kawasan suci pantai (ps 44.2 d). Kawasan suci laut (ps 44. 2 e). Kawasan suci mata air (ps 44.2 f)

Selain kawasan suci ada lagi kawasan tempat suci, dan ini mengacu ke Bhisama PHDI Pusat. Ini dituangkan dalam Pasal 50 (2) yang melengkapi pasal 44.1 b sebelumnya. Rinciannya, kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius sekurang kurangnya apeneleng agung setara 5.000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Dang Kahyangan dengan radius sekurangkurangnya apeneleng alit setara dengan 2.000 (dua ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya, dengan radius sekurang-kurangnya Apenimpug atau Apenyengker.

Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP. Pura Sad Kahyangan ada 10 buah, Pura Dang Kahyangan 252 buah dan ribuan pura Tri Kahyangan. Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Sad Kahyangan didasarkan pada konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup:
1. Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem).
2. Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem).
3. Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan).
4. Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli).
5. Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung).
6. Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung).
7. Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung).
8. Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem).
9. Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar).
10. Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung).

Dalam penjelasan Perda ini, yang dimaksud kawasan tempat suci adalah kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang berwujud bangunan yang disakralkan sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terdiri dari Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan pura lainnya.

Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug, dan Apenyengker.

Bhisama ini mengatur pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi sebagai berikut. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan Darmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagitha, Dharmasadana dan lain-lain). Artinya, dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk: pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budidaya pertanian.

Kalau mengacu kepada ketentuan ini, dari kawasan tempat suci yang bernama Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan, tercatat 35 % dari luas Pulau Bali yang hanya 563.666 Ha. Ditambah lagi Tri Kahyangan, prosentase itu akan bertambah besar. Nah, bagaimana kalau kemudian dihitung kawasan suci gunung, danau, campuhan, mata air dan sebagainya. Maka, seluruh tanah Bali ini tak ada tersisa, dan semuanya suci. Ini sebenarnya pas betul dengan konsep ajaran Hindu bahwa semua tanah itu (ibu pertiwi) adalah suci.

Muncul pertanyaan, apakah kesucian itu berkaitan dengan suci dalam pengertian ritual keagamaan? Suci yang menjadi lawan dari kotor, dan kotor dalam pengertian yang lebih khusus lagi: leteh, cuntaka, dan seterusnya. Yang kemudian kekotoran ini harus dibuatkan pembersihan. Tidak ada kaitannya sama sekali. Karena pura itu sendiri sudah punya aturan, yang mana suci, yang mana setengah suci, yang mana kotor.

Pura punya mandala, ada utama mandala atau disebut jeroan, ada madya mandala, ada nistha mandala. Itu kalau pura dalam bentuk Trimandala, kalau Dwi Mandala hanya ada Utama Mandala dan Nistha Mandala. Kesucian yang tertinggi itu ada di Utama Mandala, di Madya Mandala vibrasi kesuciannya sudah memudar. Itu sebabnya kalau ada piodalan, umumnya orang mebhakti dan nunas tirtha di Utama Mandala. Kalau tirtha sampai dibawa ke madya Mandala karena melewati kori (apakah itu kori agung atau kori gelung) vibrasinya sudah memudar. Kalau terpaksa, pemangku yang membawa pura itu harus mngucapkan mantram pengurip tirtha lagi. Namun umumnya, tirtha tak sampai di bawa ke madya mandala. Kita bisa saksikan di pura seperti Uluwatu, Sakenan, Gelgel, dan banyak lagi, pemedek yang mebhakti dan nunas wasuh pada Ida Bethara semuanya di jeroan. Jika saja vibrasi kesucian itu sama antara utama mandala dan madya mandala, apalagi sama dengan nista mandala, untuk apa orang berdesak-desakan dan ngantre sampai pingsan mebhakti di Sakenan atau Gelgel. Atau di Uluwatu sampai diberlakukan sistem karcis. Kan tinggal membawa saja tirtha itu ke luar jeroan.

Inilah kesucian dalam hubungan ritual. Adapun kawasan tempat suci yang dimaksudkan bhisama yang diadopsi oleh Perda ini, menurut saya, adalah wilayah kekeran pura yang ideal. Apa itu kekeran pura? Kekeran, keker, itu artinya kita sudah bisa melihat pura itu dari tempat kita berada. Seorang pemedek yang datang ke sebuah pura, diharapkan sudah membawa pikiran yang suci ketika sudah melihat wujud phisik pura itu. Dengan pikiran yang sudah distel ke arah kesucian maka sampai di pura apalagi di jeroan tinggal menyempurnakan kesucian itu. Inilah konsep leluhur kita di masa lalu dalam memilih lokasi pura yang diperuntukan umat secara umum (Kahyangan Jagat), sengaja diadakan area kekeran dan luasnya menyesuaikan dengan pura itu sendiri.
Tidak bisa hal ini diseragamkan. Adapun pura Tri Kahyangan karena letaknya di dalam pemukiman desa (Tri Kahyangan adalah syarat dari pembentukan desa adat, jadi memang di pemukiman atau diwilayah desa adat itu sendiri) tidak diperlukan wilayah kekeran. Cukup apenyengker (batas tembok pura).

Oleh pengempon pura atau penduduk terdekat di tempat pura itu, kekeran bisa diwujudkan dengan menanam pepohonan, jika wilayah kekeran itu sangat luas. Maka muncul kemudian istilah alas kekeran. Di banyak tempat wilayah kekeran ini dimasukkan dalam awig-awig untuk dijaga kelestariannya. Saya memakai kata lestari dan bukan suci, karena memang dalam konsep mebhakti ke pura, ini belum tempat suci. Bagaimana disebut suci, nistha mandala pura saja belum ada, masih jauh kesucian itu.

Kejanggalan Bhisama PHDI

Saya mau cerita latar belakang bhisama ini, sepanjang yang saya ikuti. Mahasabha PHDI VI yang diadakan di TMII Jakarta diwarnai oleh kasus yang mencuat di Bali akibat akan dibangunnya Bali Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot. Penentangan proyek itu terjadi di Bali. Lalu dalam Mahasabha ini keluar Keputusan Maha Sabha PHDI No. I/TAP/M. SABHA/1991 Tentang Tata Keagamaan.

Bagian II ketetapan ini bertajuk Tempat Suci Ibadah. Dalam huruf 2.a berbunyi: PHDI Pusat hendaknya mengeluarkan peraturan atau ketentuan tentang Tata Keagamaan terutama mengenai sila sesana atau aturan-aturan di dalam menjaga kesucian tempat sembahyang.

Huruf 2.b berbunyi: Asta Kosala, Asta Kosali, Asta Dewa, Asta Gumi serta ketentuan yang ada pada satu daerah dijadikan dasar untuk membuat bangunan tempat pemujaan dengan segala perlengkapannya.

Keputusan inilah, antara lain, mendasari dirancangnya Bhisama Kesucian Pura. Sejak itu lalu diadakan diskusi-diskusi. Pura harus dibuat kawasan suci yang mengacu kepada Asta Kosala Kosali, Asta Dewa dan Aasta Gumi seperti huruf 2.b di atas.

Ide bhisama itu pun mengacu kepala wilayah kekeran. Bagaimana mengukur wilayah kekeran itu? Dalam diskusi awal yang diadakan para Sulinggih yang tergabung dalam Paruman Sulinggih (kini nama itu sudah menjadi Sabha Pandita), ditemukan 3 istilah, yakni: apeneleng, apenimpug dan apenyengker.

Apeneleng adalah wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura, artinya dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Ini untuk pura Kahyangan Jagat (kelompok ini dibagi dua: Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan). Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Ini agak sulit batasannya, karena tergantung sesuatu itu dan siapa yang melempar. Tapi umumnya tak jauh amat, karena sesuatu itu dipastikan alat-alat upacara. Ini untuk pura yang umumnya ada di lereng gunung, yang tak ada penyengkernya. Umumnya pura berbentuk bebaturan, di lereng Gunung Batukaru banyak ada; Pura Turus Gunung, Pura Gunung Tengah, Pura Geria, Pura Kamoksan, dllnya. Terakhir: apenyengker, ini paling jelas ukurannya karena sudah dinyatakan dengan membangun tembok pura. Pura Tri Kahyangan semuanya ber-penyengker.

Pada saat bhisama digodok saya mengikuti selintas dalam status saya sebagai wartawan dan orang yang peduli sama perkembangan Hindu. Tapi menjelang bhisama lahir di UNHI (Januari 1994), saya kembali lagi ke Jakarta karena disibukkan sebagai Ketua Forum Cendekiawan Hindu Indonesia yang akan mengadakan proyek besar kerja sama dengan ICMI, PIKI, KCBI dan ISKI. Apalagi kemudian ada musibah, dibredelnya Majalah Tempo tempat saya bekerja, saya harus menyelamatkan banyak teman-teman karyawan. Jadi perhatian saya lepas sama sekali dari kelahiran bhisama itu.

Setelah beberapa tahun kemudian baru saya sadar, kenapa bhisama yang kemudian disebut Bhisama Kesucian Pura (bukan bhisama wilayah kekeran – salah satu ide sebelumnya) istilah apeneleng, apenimpug dan apenyengker itu diberi penjelasan dalam kurung dengan ukuran eksakta. Bahkan apeneleng dibagi dua: apeneleng agung dan apeneleng alit. Apa yang membedakan kedua jenis apeneleng itu, apakah apeneleng agung memakai keker (teropong) dan sebagainya. Kita tahu dalam bhisama apeneleng agung diberi dalam kurung 5 km untuk jarak Sad Kahyangan, apeneleng alit jarak 2 km untuk Dhang Kahyangan, apenimpug jarak 25 meter.

Ini agak janggal, karena itu perlu dipertanyakan agar umat paham dan jelas. Keputusan PHDI sebelumnya jelas menyebutkan dasar kesucian itu didasarkan pada Asta Kosala Kosali, Asa Gumi dan sebagainya. Asta Kosala Kosali tak mengenal ukuran eksak, centimeter, meter, kilometer. Atapak tangan ngandang, atapak pada…. Ajari, alangkat, asiku, adepa, dan seterusnya. Ini untuk membuat bangunan dan pemelahan bangunan. Untuk kawasan memakai Asta Gumi, pun dalam Asta Bumi tak ada ukuran kilometer dan sebagainya. Untuk ukuran kawasan ada apeneleng. Ini warisan leluhur kita yang patut dilestarikan karena memiliki konsep, setiap apapun yang dibangun haruslah menyesuaikan dengan siapa yang akan menggunakan bangunan itu.

Lalu dari mana datangnya apeneleng itu menjadi 5 km? Apeneleng disamakan dengan jarak tertentu, menurut saya salah besar. Dari arti kata saja sudah tak tepat.
Apeneleng itu artinya batas jarak pandang kita pada suatu obyek dari pura. Kalau kita sudah dibatasi oleh pandangan dan sesuatu itu sudah di luar batas pandang (tak bisa diteleng), maka itu sudah di luar apeneleng. Contoh yang pernah saya dapatkan; Pura Pulaki, dibangun di pilah-pilah tebing. Jika kita berada di pura, batas pandang kita dibatasi oleh tebing sekelilingnya. Wilayah di balik tebing itu, tak bisa diteleng. Jadi, Dodik Gerokgak yang jaraknya kurang dari 200 meter dari Pura Pulaki di luar kawasan kekeran atau dalam istilah bhisama di luar wilayah apeneleng. Kalau sekarang menurut bhisama, Dodik itu harus “ditertibkan” karena Pulaki termasuk Dang Kahyangan yang wilayah kesuciannya harus 2 km.

Contoh lain, Pura Goa Gajah. Dari komplek pura, kita tak bisa meneleng tempat parkir di atas dengan segala kesibukannya. Jadi tak ada pengaruhnya, kecuali masalah keamanan/ketahanan pura, tempat parkir dipindah menjauh. Tapi tidak sejauh 2 km. Nah, ini kan sudah beda sekali antara apeneleng tanpa unsur jarak dan apeneleng memakai unsur jarak.

Konsep menambah aturan jarak untuk apaneleng ini patut dipertanyakan kepada para penyusun bhisama. Mumpung ada Pansus RTRW, supaya ada tugasnya, cobalah ini ditanya. Mungkin benar aturan jarak itu sudah dengan pertimbangan matang, sudah berdasar sastra, sudah didiskusikan panjang lebar, tapi apa dasarnya, jelaskan dengan tuntas. Yang saya khawatirkan, tapi saya tak boleh menuduh, jarak 5 km dan 2 km ini ditambahkan belakangan di luar Paruman Sulinggih, apalagi bhisama itu ditandatangi oleh Pengurus PHDI Pusat, bukan oleh Paruman Sulinggih.

Ini mungkin terjadi –sekali lagi mungkin, tapi belum tentu, karena itu perlu diselidiki—karena PHDI saat itu masih didominasi oleh para walaka. Paruman Sulinggih bisa disetir oleh pengurus harian, meskipun pengurus hariannya dipimpin oleh pandita. AD-ART PHDI yang berlaku saat itu, Pasal 12 menyebutkan: Paruman Sulinggih diangkat oleh pengurus pusat dan pasal 15 menyebutkan: Hasil musyawarah Pesamuan Sulinggih disampaikan kepada Pengurus Pusat untuk selanjutnya diumumkan dalam bentuk keputusan Parisada Pusat. Jumlah Paruman Sulinggih hanya 11 orang.

Karena itu bhisama yang digodok Pesamuan Sulinggih harus disampaikan ke pengurus pusat dan kita lihat Bhisama Kesucian Pura ini bukan bhisama Pesamuan Sulinggih tetapi Bhisama PHDI Pusat. Yang menandatangani Ketua Umum dan Sekjen yang walaka. Apakah dalam perjalanan bhisama ini dari sulinggih ke pengurus pusat ada koreksi dan penambahan jarak 5 km danb 2 km itu, saya tak tahu, tapi bisa kita lacak.
Pada Mahasabha PHDI setelah itu, yakni 1996 yang diadakan di Solo, ketika itu saya sudah jadi peserta aktif, struktur PHDI mengalami perubahan sedikit. Mulai diperkenalkan Sabha Pandita pengganti Paruman Sulinggih dan Sabha Pandita berjumlah 33 orang dipilih dan diangkat oleh Mahasabha. Jadi kedudukannya tinggi sekali, tapi selama kepengurusan ini – yang memang ada masalah saat pembentukannya – tak ada melahirkan bhisama.

Sampailah pada Mahasabha PHDI 2001 di Hotel Radisson Bali yang dikenal dengan reformasi PHDI. Di sana dikukuhkan bahwa organ tertinggi di PHDI itu adalah Sabha Pandita yang dipimpin oleh Dharma Adyaksa. Pengurus PHDI hanya mengurusi masalah administrasi. Kepengurusan ini paling banyak menghasilkan bhisama. Pada tahun 2002 di Pesamuan Agung Mataram lahir bhisama dana punia, bhisama catur warna dan bhisama sadhaka. Pada 2005 lahir bhisama soal pediksan. Semua bhisama itu ditandatangani Dharma Adhyaksa dan wakilnya, karena memang sejak awal digodok Sabha Pandita. Sabha Walaka hanya memberikan masukan.

Mahasabha PHDI 2006 di Jakarta tak ada perubahan. Kepengurusan ini akan segera berakhir tahun ini dan Mahasabha 2011 akan digelar lagi di Bali.

Nah, Bhisama Kesucian Pura tahun 1994 itu tentu terbuka kemungkinan (meskipun ini baru dugaan yang harus ditelusuri), hasil Pesamuhan Sulinggih mendapat koreksi atau apalah namanya oleh Pengurus Harian.

Kalau misalnya Pansus RTRW menemukan kejanggalan dalam bhisama kesucian pura, seperti yang saya rasakan, ini kesempatan berharga untuk dibawa ke Mahasabha PHDI di Bali, beberapa bulan lagi.

Kejanggalan Perda terkait Bhisama
Sekarang saya cerita kejanggalan Perda RTRW ini terkait bhisama kesucian pura yang dijadikan acuan. Terutama dalam menentukan apa itu Sad Kahyangan.
Pasal 50 ayat 3 berbunyi: Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP.

Pasal 83
(1) Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial budaya Bali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c, mencakup:
a. kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan berdasarkan konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup: Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem), Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem), Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan), Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli), Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung), Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung), Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung), Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem), Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar), Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung); dan

b. kawasan warisan budaya, terdiri dari: kawasan Warisan Budaya Jatiluwih, Kawasan Warisan Budaya Taman Ayun, dan Kawasan DAS Tukad Pekerisan.

Kejanggalannya:
Bhisama PHDI Pusat 1994 itu tak ada mengatur Sad Kahyangan berdasarkan konsep Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, Dari mana Perda ini dapat masukan konsep itu? Kalau melihat pasal 50 ayat 3 di atas, logikanya masukan konsep itu dari PHDI Bali dan MUDP. Pertanyaannya, kapan rekomendasi itu diberikan dan apa dasar rekomendasi PHDI Bali dan/atau keputusan MUDP Bali? Ini perlu dijelaskan agar masyarakat terang benderang.

Padahal penggolongan Sad Kahyangan sudah ditetapkan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek2 Agama Hindu. Seminar ini dihadiri para sulinggih dan pemuka agama Hindu, saya siang malam meliputnya sebagai wartawan. Dalam keputusan seminar ini jelas disebutkan landasan dasar Kahyangan Jagat yang digolongkan Sad Kahyangan adalah:
1. Landasan filosofis: Konsep Sad Winayaka menurut lontar Dewa Purana Bangsul.
2. Landasan Historis: sudah ada sebelum kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi.

Berdasarkan landasan ini Sad Kahyangan itu adalah Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, Pura Pusering Jagat. Betul-betul enam, tak ada Sad berarti sepuluh.

Jadi, Pura Andakasa, Pura Puncak Mangu, Pura Batur, dan Pura Kentel Gumi, tidak tergolong Sad Kahyangan menurut hasil Seminar Kesatuan Tafir itu. Kalau mengikuti konsep Padma Bhuwana maupun Catur Lokapala (tapi ini bukan keputusan seminar) barulah Andakasa dan Puncak Mangu masuk. Sedangkan Pura Batur masuk dalam konsep Rwa Bhineda sebagai Pradhana dari Besakih yang berstatus Purusha.

Karena Perda ini produk hukum, jangan rancu antara Kahyangan Jagat dengan Sad Kahyangan seperti masyarakat umumnya. Kahyangan Jagat menganut konsep Rwa Bhineda, Catur Lokapala dan Sad Winayaka, sedang Sad Kahyangan hanya memakai konsep Sad Winayaka ditambah landasan historis tadi.

Ini biar jelas, karena masyarakat kian kritis, nanti anak-anak bertanya: lo katanya sad itu artinya enam, dalam perda ini kok sad kahyangan menjadi sepuluh kahyangan, kenapa tak disebut Dasa Kahyangan. Lagi pula kita menghormati Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir. Kecuali memang diubah oleh keputusan lembaga yang sama kuatnya.

***
Akhirnya, sekarang kita berasumsi bahwa jarak-jarak itu sudah benar dan Sad Kahyangan itu pun benar ada 10 kahyangan, lalu bhisama harus ditegakkan. Menurut saya kita pun tak perlu ribut, demo sana demo sini, kita perlu duduk bersama antara yang pro dan kontra Perda ini.

Pasal penutup Perda ini (Pasal 153) berbunyi; Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Kemudian pada akhir Perda tercantum: Diundangkan di Denpasar pada tanggal 28 Desember 2009. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI, I NYOMAN YASA.

Kalau pasal ini kita pakai, maka persoalan sebenarnya tak begitu ruwet. Pelabuhan Padangbai tak harus dipindahkan, Penelokan tak harus digusur, warga di Pejeng dan Banjarangkan tak harus resah. Saya tak tahu bagaimana dengan Pecatu, berapa banyak bangunan yang didirikan setelah tahun 2009 itu.

Namun, Perda ini juga menyimpan pasal yang sedikit bertentangan, yakni pada BAB XVIII. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 150. Isinya:
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus segera disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.

Kalau pasal 150 (1) ini yang diikuti, ada kata “harus” di sana, maka semua bangunan (pemanfaatan ruang) yang tak sesuai Perda harus disesuaikan. Kata “harus” menegaskan bahwa ada penataan, sementara kata “penyesuaian” masih bisa dirembugkan. Kalau di wilayah kesucian pura itu berdiri hotel, villa atau penginapan, kan pemiliknya tinggal menyesuaikan dengan memberi pengumuman; “Para tamu dilarang melakukan perbuatan yang menodai ajaran agama Hindu seperti : ini…ini…ini.” Kalau kita sering melancong ke daerah lain, banyak hotel yang mencantumkan peringatan ini. Tak perlu rebut-ribut buang energi, apalagi mempermasalahnya nama hotel, villa, darmasala dan sebagainya. Tak semua hotel dipakai untuk mesum, dan tak semua rumah-rumah penduduk di sekitar pura bebas dari perselingkuhan.

Atau kalau bangunan itu tak bisa “disesuaikan”, ya, serahkan ke pemerintah dan minta ganti rugi yang layak, sebagai mana diatur padal 150 (2). Bahkan sebelumnya di BAB XII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT pada Pasal 138 c. disebutkan, masyarakat berhak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;

Catat itu, pergantian yang layak. Rakyat jangan dikorbankan, kalau pemerintah tak punya uang ganti rugi yang layak, ya sudahlah, Perda tak bisa dijalankan. Penataan Candi Borobudur-Parmbanan bisa dijadikan teladan di sini.

Jadi, kenapa kita ribut-ribut membuang energi? Bagi saya, yang diributkan saat ini persoalan yang kecil jika kita melihat cakupan Perda yang begitu luas. Saya terbatas menyoroti dari sosial budaya – sesuai permintaan panitia. Dasar pembuatan Perda ini sudah menyebutkan begini:

Dalam konteks nasional, Bali merupakan sebuah pulau kecil yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun memiliki keunggulan komparatif dari segi keunikan budaya dan keindahan alam, yang merupakan modal dasar bagi Bali dalam menyelenggarakan pembangunan wilayahnya. Keunikan budaya dan alam tersebut telah menempatkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terkemuka di Indonesia dan Dunia dan dinyatakan sebagai pulau terindah di dunia.

Menjaga keindahan Bali ini tak harus mengobok-obok bangunan wisata, bahkan bangunan wisata itu kalau ditata dengan baik, memperkuat keindahan. Tapi bagaimana dengan keunikan? Kenapa ini tidak menjadi prioritas dan malah terkesan dinomor sekiankan. Banyaknya pendatang ke Bali menimbulkan masalah dalam keunikan, rumah-rumah bedeng bertebaran, budaya yang tak dikenal dalam keunikan Bali mulai datang. Pengemis di jalanan, pengamen dan pedagang acung di perempatan jalan, itu keunikan Jakarta yang tak cocok dengan keunikan Bali. Cobalah iseng lihat tulisan di warung pinggir jalan, ada ratusan warung yang sudah bertuliskan Warung Muslim. Di daerah lain dari Sabang sampai Merauke tak ada warung berlabel agama. Hanya di Bali ada Warung Muslim, sementara orang tahu, keunikan Bali adalah kuatnya agama Hindu dan simbul-simbul Hindu.

Saya pernah berdiskusi soal ini dengan tokoh Muslim, mereka pun risih, karena warung saja harus mencantumkan label agama. Harusnya cukup dengan tulisan “halal” atau kalau mau lebih jelas “tidak menjual makanan dari unsur babi”. Di Jakarta, pernah ada restoran bernama Bar Buddha, protes marak dan bar itu ditutup. Tapi di Bali, keunikan Bali digerogoti, dan orang Bali pada diam.

Pedagang kaki lima di Bali sudah memenuhi banyak tempat dan merusak keunikan Bali. Kenapa tak mencontoh Solo, ada penertiban sehingga keunikan Solo tetap bertahan.

Sepeda motor di Bali lebih banyak dari sepeda motor di Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten. Keunikan dokar Bali sudah tergusur, padahal di Yogya sendiri keunikan andong itu dilestarikan. Perda ini mengatur soal lalu lintas, dari urusan terminal, transportasi antar kota dan sebagainya. Kenapa ini belum dilaksanakan dan tak ada yang mempermasalahkan. Jika transportasi umum diabaikan – dan itu pemerintah melanggar Perda – Bali suatu saat akan macet total oleh sepeda motor. Lihat saja tiap hari, ribuan sepeda motor masuk Bali. Tapi jangan salahkan penduduk. Kalau tak punya sepeda motor, mau pakai apa.

Banyak sekali yang semestinya sudah dikerjakan untuk memberlakukan Perda ini, kenapa urusan tanah rakyat di Pecatu yang selalu diobok-obok terus, seolah-olah pengempon pura Uluwatu sudah mulai mengotori kahyangannya sendiri, sementara kita yang mungkin setahun sekali ke sana teriak-teriak menyebut tak suci.

Mari kita berkepala dingin dan merajegkan Bali dengan tidak saling congkrah. Perda ini sudah sangat ideal, bahkan terlalu ideal sampai-sampai ada yang sangat mustahil untuk dilaksanakan, bukan hanya menyangkut kesucian pura versi bhisama, tetapi juga soal sosial budaya, soal lingkungan dan soal manusia Bali secara luas.

Sebagai penutup, ada baiknya kita statusquo sesaat, sambil memberi kesempatan Pansus bekerja siapa tahu ada yang memang diperbaiki, dan juga menunggu Mahasabha PHDI dalam beberapa bulan ini, siapa tahu masalah bhisama ini bisa dibahas lagi.

Sekian dan terimakasih.

Saran-saran
1. Beri kesempatan Pansus RTRW Bali bekerja dan beri tugas untuk menanyakan ke PHDI Pusat kenapa ada ukuran eksak di dalam bhisama, apa dasar hukumnya. Apakah ukuran itu sama untuk semua pura sejenis, tidakkah ada pertimbangan tentang pelemahan pura.
2. Ditanyakan pula, sebenarnya Sad Kahyangan itu enam pura sesuai Hasil Keputusan Seminar Tafsir atau 10 pura seperti dalam Perda. Kalau 10 pura, apa dasar hukumnya.
3. Pertanyaan 1 dan 2, bisa pula dibawa ke Mahasabha PHDI P yang akan digelar tahun ini di Bali, supaya dibahas oleh Sabha Pandita, mengingat bhisama tahun 1994 ini ditandatangani pengurus Parisada.
4. Jangan terburu-buru merevisi Perda, mengingat cakupannya begitu luas, lebih baik yang bermasalah seperti soal kawasan suci ini di-statusquo dulu, sampai ada kejelasan soal 1 dan 2. Selain itu, kalau kita taat hukum, revisi perda baru dibenarkan setelah 5 tahun berjalan. Tunggu saja saat itu.
5. Laksanakan Perda untuk hal-hal lainnya yang tidak bermasalah. Ide kawasan suci dalam Perda tentu sangat baik untuk Bali ke depan, cuma yang perlu dipertanyakan apakah jaraknya itu sudah patut dan seragam untuk semua pura, karena menyimpang dari konsep wilayah kekeran.

Biodata Penulis:
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, nama walaka Putu Setia
1974-1978 Wartawan Bali Post, lebih banyak urusan agama dan kebudayaan.
1978-2006 Wartawan Tempo, pernah di Yogya dan lama di Jakarta
2006 pensiun dan persiapan mediksa pulang ke Bali, Diksa Dwijati 29 Agustus 2009

1991-1996 Ketua Umum Forum Cendekiawan Hindu Indonesia
2001-2003 Ketua Badan Penyiaran Hindu PHDI Pusat
2003-2007 Sabha Walaka PHDI Pusat, terakhir menjabat Wakil Ketua Sabha Walaka.
2009 Mengundurkan diri dari Sabha Walaka di Pesamuan Agung PHDI Denpasar karena sudah berstatus pandita.

Penulis buku trilogi soal budaya dan adat Bali: Menggugat Bali, Mendebat Bali, dan Bali yang Meradang. Menulis beberapa buku agama Hindu, selain buku sosial politik dan jurnalistik.


Sabtu, 05 Februari 2011

Politik Humor

Putu Setia

(Tulisan ini versi panjang dari yang dimuat Koran Tempo Minggu 30 Januari 2011)

Kita sudah lama kehilangan humor. Humor yang tidak menyakiti, humor yang membuat kita tersenyum lepas, syukur-syukur ada bunyi tawa. Humor yang membuat kita tidak dendam, apakah itu dendam kepada sesama manusia atau dendam kepada keadaan yang semakin tak bisa kita mengerti.

Srimulat dan Ketoprak Humor sudah lama hilang di televise. Jika pun kini ada tayangan humor seperti Opera van Java, Extravagansa dan sejenisnya, ini adalah humor gedebak-gedebuk, adegan saling gebrak dan saling memukul – meski di layar ada teks: proferti menggunakan bahan liunak yang tak membahayakan.

Seperti diwakili oleh media televise, di dunia politik pun humor sudah lenyap. Pemerintah dikelola oleh orang-orang yang tegang, petinggi negeri ini diisi oleh orang-orang yang cemberut tanpa senyum. Semua masalah, dari yang besar sampai yang sekccil-kecilnya, ditanggapi dengan ketegangan yang serius atau keseriusan yang menegangkan.

Bagaimana menghadirkan humor kalau bencana silih berganti datang? Ini kata teman saya. Ada benarnya, tsunami meluluhkan sebagian negeri, awan panas dan lahar muntah dari gunung menghancurkan pertanian, kereta api tak hentinya bertabrakan, kapal laut terbakar. Belum lagi hakim, jaksa dan polisi begitu mudahnya disogok oleh seorang pegawai rendahan yang bernama Gayus Tambunan. Sulit mencoba melucu di negeri yang penuh perdebatan ini.

Namun, saya tetap percaya, humor adalah bagian terpenting dari keseimbangan jiwa dan lewat humor kita bisa membangun negeri ini dari keterpurukan moral – iye he he.. keren benar kalimat ini. Mau mengikuti analisis saya berikut ini?

Presiden Yudhoyono di depan rapat pimpinan TNI dan Polri menyebutkan akan memperhatikan nasib prajurit bangsa ini dengan menaikkan gaji mereka. Tekad dan niat luhur presiden itu dinyatakan dengan sungguh, sampai-sampai presiden memberikan ilustrasi bahwa gaji beliau selama enam tahun dan memasuki tahun ke tujuh tidak naik-naik. Ini adalah bukti, presiden ingin memperhatikan “rakyatnya” ketimbang memperhatikan diri dan keluarganya.

Hadirin sebenarnya sudah tertawa menanggapi “satu kalimat” dari “puluhan kalimat” yang terucap, pertanda humor masih menjadi jiwa dari pernyataan itu. Sayangnya, tertawa para hadirin itu tidak direspon oleh presiden. SBY tetap serius, tetap tegang, bahkan berkata: “betul….” Seolah mempertegas keseriusannya.

Apa yang terjadi? Jelas, niat baik di balik pernyataan itu seketika berubah makna. Presiden mengeluh soal gaji di depan umum. “Satu kalimat” akhirnya berbuntut ribuan kalimat celaan. Lawan politik presiden, dari “anak baru gede” sampai “mantan petinggi” rame bersitegang dengan “lingkaran dalam” presiden. Semuanya serba serius, saling menyindir dan mengobral kebusukan –yang sejatinya adalah kebusukan diri pengobralnya juga.

Humor sudah tewas. Andaikan saya Gayus, eh, SBY, dalam situasi yang khilaf karena keblablasan menyebut gaji tak naik dengan muka tegang, saya akan banting setir kembali untuk menghidupkan humor. Caranya, saya akan menerima dana “koin untuk presiden” dan sejenisnya dengan penuh kegembiraan, termasuk koin dari para wakil rakyat di Senayan yang memang senang menyindir meski marah kena sindir. Setelah uang diterima, saya akan memanggil Tukul. Tarsan, Doyok yang tengah menghimpun dana untuk mengembalikan para TKI dari Arab Saudi, menyerahkan uang itu dalam suasana riang penuh senyum. Saya yakin kesalah-pahaman akan hilang, ketegangan berhari-hari lenyap, karena humor sudah dihidupkan kembali.

Yang ada saat ini adalah lelucon yang tak lucu karena lahir dari saling memukul – persis di televisi. Contoh lain, tokoh agama membuat Rumah Kebohongan untuk menghimpun kebohongan pemerintah. Bahasa kaum agamawan ini “lucu yang memprihatinkan”, kebohongan tokoh agama siapa yang memungut? Mari kita hidupkan kembali humor dalam setiap denyut nadi mengelola negeri ini. Wassalam.

Senin, 24 Januari 2011

Kesabaran dan Kesahajaan Menjadi Teladan


Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

(Tulisan ini mengantar purna bhakti Drs. Ketut Wiana, M.Ag sebagai staf pengajar di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, 5 Januari 2011)

Rasa bangga dapat berkenalan dengan orang-orang yang dikagumi tentulah dialami oleh banyak orang. Apalagi jika orang yang dikagumi itu kemudian bisa menjadi seorang sahabat yang tulus, sekaligus seorang guru yang tak habis-habisnya menuangkan ilmunya. Saya bersyukur bisa berkenalan dengan Ketut Wiana, sahabat yang tulus itu, orang yang saya kagumi itu, dan harus saya akui pula bahwa dia adalah seorang guru buat saya, meski tak pernah saya menjadi muridnya yang formal. Pak Wiana memang seorang guru, beliau bahkan pernah menjadi kepala sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Denpasar, tetapi saya tak pernah bersekolah di sana atau ikut menjadi staf pengajar di sana.

Saya tak ingat kapan saya mulai berkenalan dengan Ketut Wiana, tetapi yang jelas jauh sebelum kenal secara pribadi saya mengenalnya lewat tulisan-tulisannya, baik di media massa maupun makalah dalam berbagai seminar. Beliau sudah lama aktif di Parisada sebelum saya mengenal dengan baik majelis agama Hindu itu.

Tetapi saya ingat sebuah pertemuan dengan Ketut Wiana di Bandung, 21 Mei 1989. Saya kira itu bukan pertemuan yang pertama, karena sebelum saya merantau ke Jawa rasanya sudah pernah ketemu dengan beliau. Di Kampus Universitas Padjadjaran Bandung 21 Mei 1989 itu ada dharmatula yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Hindu Brahmacari Unpad. Drs Ketut Wiana yang kala itu menjabat Ketua III PHDI Pusat membawakan makalah tentang kasta di Bali. Saya bertugas untuk membahas materi itu.

Diskusi soal kasta ini menarik perhatian. Perdebatan pun seru. Saya yang di kalangan orang Bali rantauan dikenal sebagai “anti kasta” seringkali diundang ke berbagai diskusi, dan di Bandung itu saya mendapatkan lawan diskusi yang menarik. Sebelumnya saya menduga Pak Wiana setuju dengan adanya kasta di Bali, setidak-tidaknya tak menganggap masalah adanya sistem kasta di Bali. Dugaan saya ini dengan alasan, Parisada selama ini tak dikenal sebagai lembaga yang mau meluruskan kasta. Bahkan saya menduga Parisada mengajegkan sistem kasta itu di Bali. Dugaan saya ini meleset. Pak Wiana dalam diskusi itu sangat sependapat dengan saya, bahkan beliau lebih gencar lagi menyebutkan bahwa kasta di Bali itu salah kaprah.

Dari pertemuan ini, ada yang berubah pada diri saya. Di sana saya menyatakan, kalau begitu pandangan Pak Wiana, saya ingin ikut di organisasi Parisada. “Silakan,” katanya. Kesan saya, orang ini begitu terbuka dan demokratis, selain rendah hati. Maaf saja, sebelumnya saya selalu curiga dengan para pengurus Parisada yang saya nilai – waktu itu – masih feodalis.

Ketika Mahasabha PHDI diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta tahun 1991, saya datang sebagai penonton. Saya tak diundang karena memang tak jadi pengurus apa-apa, bahkan saya tak tahu banyak tentang Parisada saat itu. Namun, saya sudah dikenal aktif di kalangan umat Hindu Jakarta. Dalam mahasabha itu kembali saya bertemu dengan Pak Wiana, tetapi hanya selintas. Saya melihat majelis umat Hindu ini terlalu condong pada partai tertentu dan cenderung berpolitik praktis. Situasi politik saat itu memang mempengaruhi segala gerak aktifitas berbagai organisasi kemasyarakatan. Kesan saya – dan ini kesan umum – Parisada terlalu dekat dengan Golkar, bahkan ada yang bilang Parisada itu bagian dari Golkar.

Bersama teman-teman aktifis yang tak terlibat dengan Mahasabha Parisada itu, saya pun mempunyai ide bahwa perlu ada organisasi yang vokal sebagai “penyeimbang” Parisada. Maka di sanalah lahir gagasan saya untuk membentuk Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI). Supaya tidak terasa berbenturan dengan Parisada dan menghindari konflik dengan berbagai pihak, forum ini dirancang sebagai “bukan organisasi massa”, meski pun kemudian karena tuntutan berbagai hal akhirnya nyaris sebagai organisasi massa.

Ketika menyusun personalia pengurus FCHI pada awal-awalnya, saya ingat Ketut Wiana. Saya pernah menyarankan kepada teman-teman yang lain, bagaimana kalau Ketut Wiana dirangkul. Ada banyak yang setuju karena mereka sependapat dengan saya bahwa Ketut Wiana seorang demokrat dan hampir tak punya musuh. Pemikirannya juga bagus dan tak terkotak dalam sekat-sekat kecil. Namun, karena tidak ingin ada masalah lantaran Pak Wiana berada di dalam kepengurusan Parisada Pusat, nama dia tak jadi dimasukkan. Tapi, kami bertekad jika ada kegiatan yang membutuhkan pemikiran yang beragam, Pak Wiana harus diajak serta.

Banyak sekali kegiatan FCHI di awal-awal berdirinya tatkala saya memimpin forum itu. Berbagai diskusi digelar di kota-kota besar. Ada satu diskusi yang menarik yang mempertemukan kembali saya dengan Pak Wiana, yaitu diskusi yang digelar di kantor Bali Post Denpasar, pada 22 Desember 1992. Diskusi ini diselenggarakan FCHI bekerjasama dengan Yayasan Studi Hindu Indonesia menampilkan empat pembicara yakni Ketut Wiana, Ngurah Bagus, Wayan Sudirta dan IGB Arthanegara. Temanya adalah menyikapi keberadaan Pura Besakih dikaitkan dengan Undang-Undang Tentang Benda Cagar Budaya. Saat itu ada pro dan kontra bagaimana kalau Pura Besakih dimasukkan dalam gugusan Cagar Budaya – waktu itu belum ada rencana masuk Warisan Budaya Dunia. Hasil diskusi ini kemudian saya sampaikan ke Menteri P dan K yang waktu itu dijabat Prof. Fuad Hassan.

Pertemuan di Bali Post itu membuat saya makin kagum pada pemikiran Pak Wiana. Saya sampai mengibaratkan beliau “kamus berjalan”, karena apapun pertanyaan saya mengenai masalah Hindu dan adat Bali, bisa dijelaskannya dengan gamblang. Setiba di Jakarta saya langsung punya ide untuk membuat sebuah buku yang menulis soal kasta yang salah kaprah di Bali. Penulisnya tentu tak ada lain, Pak Wiana sendiri. Saya hubungi beliau dan bersedia. Ternyata naskah yang dibuatnya tidak setebal untuk buku. “Maklum, saya hanya bisa membuat tulisan berupa makalah,” katanya waktu itu.

Kalau tulisan itu saya bukukan, akan sama saja dengan buku-buku Hindu yang ada saat itu, tipis dan tidak menarik. Saya ingin menggebrak dunia penerbitan buku Hindu dengan buku yang berkualitas dan layak dijual. Saya teringat bahwa Raka Santeri – waktu itu wartawan Kompas – pernah menulis secara berseri masalah kasta di Bali Post mulai terbitan 29 April 1989. Saya hubungi Raka Santeri dan dia bersedia tulisan itu diterbitkan. Lalu saya hubungi Satria Naradha, waktu itu Wakil Pemimpin Umum Bali Post, untuk minta izin mengambil tulisan Raka Santeri. Ternyata Satria Naradha menyambut dengan baik bahkan saya dan Satria akhirnya membuat yayasan sebagai badan hukum penerbitan itu, yakni Yayasan Dharma Naradha.

Tetapi buku pertama Yayasan Dharma Naradha bukan soal kasta itu, untuk tidak menimbulkan kegoncangan seolah-olah saya membuat penerbitan hanya untuk “menggugat kasta”. Buku pertamanya adalah Cendekiawan Hindu Bicara, sebuah kumpulan tulisan dari 12 pemikir Hindu, tapi tak ada Pak Wiana di sana. Saya sengaja menyimpan nama Pak Wiana untuk buku selanjutnya, yakni tentang kasta itu.

Akhirnya buku soal kasta yang berisi gabungan tulisan Ketut Wiana dan Raka Santri terbit dengan judul “Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad”. Buku ini, yang saya beri pengantar agak panjang, meledak di pasaran, bukan hanya di Bali, tetapi juga di Jakarta dan kota-kota lainnya. Laris sekali. Saya senang karena buku dibicarakan di Jakarta dalam berbagai kegiatan. Tetapi tidak di Bali. Wiana dan Raka Santri diteror. Raka Santri mengaku tenang saja, tetapi Pak Wiana mengaku: “Saya serba repot, banyak yang sampai meneror saya secara phisik.” Satria Naradha dan Bali Post pun kena terror dengan surat kaleng, sampai-sampai cetakan kedua buku ini ditunda karena ada ketakutan.

Saya tak memikirkan Raka Santri karena dia seorang wartawan, sudah biasa kena terror seperti halnya saya. Namun saya terus memikirkan Pak Wiana karena dia pegawai negeri di Kanwil Departemen Agama Bali, waktu itu kalau tak salah menjadi pengawas. Bagaimana kalau dia dipecat? Syukurlah tak ada “pemecatan” itu, meskipun dia mengaku ada “pengucilan’. Sejak itulah saya semakin akrab dengan Pak Wiana, dia sama sekali tak menyalahkan saya akibat terbitnya buku itu dengan judul yang bombastis.

Kesabaran Ketut Wiana adalah hal yang saya kagumi. Setiap pulang ke Bali saya berkunjung ke rumahnya. Bahkan dia dengan entengnya datang ke desa saya di Pujungan, memimpin diskusi dengan tokoh-tokoh desa dalam rumah saya yang sempit. Sepulang dari Pujungan saya terus berdiskusi bagaimana memajukan umat Hindu. Pak Wiana mengusulkan agar saya membeli lahan yang lebih luas. “Nanti dibangun bale semacam wantilan untuk tempat diskusi,” itu kata-kata yang masih saya ingat. “Berdoa saja, kalau Tuhan mengizinkan, apapun bisa kita lakukan,” katanya lagi.

Mungkin doa saya dan doa Pak Wiana terkabul. Saya kemudian mampu membeli tanah sawah seluas 30 are di samping Pura Manikgeni, dan kemudian hari saya membangun ashram (kini pesraman) di sana. Di atas tanah itu saya baru bisa membangun balai sejenis aula dengan sangat sederhana dan sebuah padmasana. Pak Wiana langsung meminta supaya bangunan itu diresmikan saja sebagai ashram. Dan itu saya ikuti, jadilah Ashram Manikgeni yang begitu sederhana diresmikan pada 3 Maret 1995. Entah karena ashramnya yang sederhana atau saya belum dikenal banyak oleh pejabat di Bali, tak satu pun undangan pejabat yang hadir. Bupati Tabanan tak hadir, apalagi Gubernur Bali. Padahal Wihara di Pupuan yang jaraknya 2 km dari tempat saya, diremikan oleh Gubernur Bali dengan sangat meriah. “Jangan putus asa, ini soal biasa, Tuhan yang meresmikan ashram ini,” kata Pak Wiana seperti menghibur saya.

Hubungan saya dengan Pak Wiana pun akhirnya semakin dekat. Kadang saya memfungsikan beliau sebagai guru yang mengajari banyak hal, tentu lebih banyak soal tatwa agama. Kadang saya memfungsikan sebagai orang tua, yang memberi banyak nasehat. Kalau Pak Wiana ke Jakarta tentu kontak saya, kadang menginap di rumah saya sambil mengajarkan yoga – sayangnya saya tak tertarik waktu itu. Setiap ada kegiatan di dalam keluarga saya di kampung (Ashram Manikgeni), Ketut Wiana selalu datang, bukan hanya sebagai tamu tetapi seperti keluarga sendiri. Ketika dua anak saya potong gigi, Pak Wiana memberikan sambutan atasnama keluarga dan langsung memberikan dharma wacana.

Saya tak pernah mendengar dia marah, apalagi marah kepada saya. Saya sering berbeda pendapat dengan dia, tetapi tak pernah sampai meretakkan hubungan, bahkan beda pendapat itu tetap disertai dengan guyonan. Ketika saya menulis opini bahwa Kitab Mahabharata bukan kitab suci umat Hindu, Ketut Wiana menegur saya, bahwa opini itu salah. Mahabharata adalah kitab suci Hindu, katanya. Beda pendapat ini hanya soal pendekatan masalah, saya mengatakan itu dari sisi formal dan format aturan beragama dalam konstitusi Indonesia, karena selama ini kitab suci Hindu tercatat Weda. Jika Mahabharata juga disebut kitab suci Hindu – dalam tataran formal dan format konstitusi – maka Hindu di Indonesia akan kembali ke tahun sebelum 1959, disebut agama budaya dan disejajarkan dengan “kepercayaan”. Ini bisa fatal karena bisa-bisa nanti tidak diayomi oleh Departemen Agama tetapi diayomi Kejaksaan Agung sebagai salah satu “kepercayaan”. Soalnya Mahabharata sudah menjadi milik dunia.

Selain sulit menemukan kemarahan pada diri Ketut Wiana, belajarlah bersabar pada beliau. Dia sangat penyabar dan dalam beberapa hal membuat orang lain justru tak sabar untuk menunggu tindakannya. Sebagai tokoh, dia sudah sesepuh di Parisada. Dari salah satu ketua, kemudian menjadi salah satu sekretaris, balik lagi menjadi ketua, terakhir menjadi Ketua Sabha Walaka. Dia bertahan karena dia tak punya musuh atau dia bisa memasuki “sarang musuh” untuk dijadikan teman. Wawasannya yang luas dan informasi yang selalu mudah diperolehnya, membuat dia produktif dalam menulis dan seperti yang saya katakana tadi, dia bak kamus berjalan jika kita bertanya soal Hindu.

Barangkali banyak orang yang lebih pintar dari Wiana, tetapi jika ilmunya itu tak mudah dibagi, apakah arti kepinteran itu. Di sini kelebihan Ketut Wiana, dia mau membagi ilmunya kepada siapa saja tetapi juga dia bisa menerima masukan dari siapa saja, ditambah dengan kerendahan dirinya yang membuat penampilannya menjadi bersahaja. Kesahajaan itu yang membuat dia menjadi teladan, dan itu yang selalu saya kenang. ***

(Penulis adalah pendeta Hindu, mantan wartawan dengan nama walaka Putu Setia, pernah menjabat Wakil Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat)

Galungan dan Bencana

Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Syahdan, Raja Bali Sri Jaya Kesunu, heran tak kepalang kenapa bencana terus-menerus terjadi di Bali. Angin puting beliung merobohkan rumah penduduk, kekacauan sering terjadi di masayarakat. Dan, ini yang lebih aneh lagi, raja-raja pendahulunya selalu berumur pendek.

Sri Jaya Kesunu naik tahta pada tahun 1126 Saka atau 1204 Masehi menggantikan Sri Dhanadi yang meninggal dunia tanpa sebab yang jelas. Tak ada disebutkan kapan Sri Dhanadi naik tahta, tetapi dia menggantikan Sri Eka Jaya yang juga berumur pendek. Tak jelas pula berapa usia Sri Eka Jaya tatkala meninggal dunia, tetapi beliau memegang tapuk pemerintahan pada 1103 Saka atau 1181 Masehi.

Begitu naik tahta, Sri Jaya Kesunu langsung melakukan dewa sraya, artinya mendekatkan diri dengan dewa. Inilah cara beliau untuk mencari tahu kenapa bencana terus-menerus menggoyang Bali dan kenapa umur raja pendek-pendek. Mendekatkan diri kepada dewa itu dilakukan di Pura Dalem Puri, sebuah pura yang dekat dengan Pura Besakih. Sri Jaya Kesunu melakukan tapa brata dan yoga samadhi.

Kocap kacarita – begitu hikayat mewartakan – berkat ketekunan Jaya Kesunu melakukan tapa brata, terdengarlah pembisik (pawisik) dari Dewi Durga, sakti (kekuatan suci) dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durga menjelaskan kenapa bencana selalu datang dan umur raja pendek. Penyebabnya tiada lain, Hari Raya Galungan, tidak lagi dirayakan. Selama Galungan tidak dirayakan, bencana akan terus datang. Dewi Durga meminta kepada Jaya Kesunu untuk kembali merayakan Galungan jika ingin ada ketentraman.

Tentu saja Sang Raja yang bijaksana dan religius ini langsung memenuhi janji Sang Dewi yang dalam versi India sangat cantik dan versi Bali sangat menyeramkan itu. Kepada masyarakat langsung diinstruksikan untuk merayakan Hari Raya Galungan sesuai jadwalnya, yakni hari Budha (Rabu) Kliwon wuku Dungulan sesuai dengan wariga yang berlaku. Konon, sejak itulah bencana bisa berkurang di Bali.

Hikayat di atas dipetik dari lontar Purana Bali Dwipa. Bahwa banyak yang tidak jelas, begitulah salah satu ciri lontar. Tak semua lontar merupakan catatan sejarah yang otentik, atau bahkan tak semua lontar bisa disejajarkan dengan prasasti. Lontar adalah “catatan yang ditulis di daun rontal” oleh seseorang pada zamannya, jadi bisa berupa opini tanpa dasar, bisa pula kisah yang benar adanya, dan banyak berupa pedoman ritual. Lontar di masa lalu adalah bentuk penyampaian pikiran dengan sarana yang ada di saat itu. Kalau dibandingkan dengan masa kini, sama dengan buku atau CD (compact disk) atau flashdiks yang menyimpan berbagai buah pikiran. Tak semua “buah pikiran” itu berdasarkan fakta, bahkan banyak “buah pikiran” itu berupa cerita fiksi.
Purana Bali Dwipa juga menyebutkan hal penting, bahwa Hari Raya Galungan di Bali dirayakan sejak tahun 804 Saka (882 Masehi), tepat pada Purnama Kapat. Lontar itu memuat begini: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasi kecatur, tanggal 15, icaka 804. Bangun indra bhuwana ikang Bali rajya. Ini bahasa Jawa Kuno (Kawi) yang terjemahan bebasnya: Perayaan (upacara) Galungan itu dimulai (pertama) pada Bhuda Kliwon Dungulan sasih kapat bulan purnama (penanggal 15) tahun 804 Saka. Keadaan pulau Bali bagaikan indra loka.

Perayaan Galungan ini dihentikan tiba-tiba ketika Sri Ekajaya memegang tapuk pimpinan pada 1103 Saka. Entah apa penyebabnya, tak pernah diceritakan dalam lontar itu. Sejak itulah terjadi bencana. Jadi selama 23 tahun rakyat Bali tak merayakan Galungan dan terus-menerus digoncang bencana tanpa diketahui sebabnya, sampai saatnya Sri Jaya Kesunu mendapat “jawaban” itu di Pura Dalem Puri.

Bencana yang dikaitkan dengan absennya perayaan Galungan juga ada pada legenda Raja Mayadenawa. Kisah ini bahkan tanpa sumber yang jelas, jadi bisa berbeda versi di masing-masing wilayah di Bali. Namun, inilah kisah yang lebih melekat pada orang Bali dibandingkan lontar Purana Bali Dwipa itu.

Kocap kacarita disebutkan Raja Mayadenawa mengaku sebagai Dewa itu sendiri, sehingga rakyat Bali tak boleh lagi menyembah para dewa. Dialah yang harus disembah. Jangankan merayakan Galungan, bentuk persembahan yang kecil pun dilarang. Tak ada dewa selain Mayadenawa, mungkin begitu slogan yang dikumandangkan Raja Diraja ini.
Apa yang terjadi selama Sang Raja memerintah secara diktator? Bencana demi bencana datang. Rakyat bertambah melarat tetapi Mayadenawa tak pernah peduli akan nasib rakyatnya. Sampailah muncul sang pahlawan yang bernama Dewa Indra, beliau memimpin pasukan menyerang dan membinasakan Mayadenawa. Pesta perayaan kemenangan melawan Sang Diktator dilakukan secara meriah dan entah kebetulan atau memang dipaskan harinya, bertepatan pada Rabu Kliwon wuku Dungulan. Itulah Hari Raya Galungan yang kemudian terus dirayakan setiap enam bulan dalam hitungan wariga Bali – hitungan kalender Masehi setiap 210 hari.

Apakah dua kisah di atas adalah rekaan para leluhur orang Bali dalam memberikan “wawasan dan penerangan” mengenai agama dan ritual yang disesuaikan dengan kemampuan daya serap pada zamannya? Entahlah. Jika itu rekaan, maka itu adalah “kearifan lokal” bagaimana menjelaskan ajaran agama sementara bahan bacaannya tidak ada atau sangat terbatas. Adalah suatu hal yang sangat dipuji – sampai saat ini— bahwa leluhur orang Bali terkenal ahli membuat hikayat dan dongeng yang intinya menyebarkan ajaran agama yang penuh kedamaian dan kasih sayang. Sampai akhir dekade 1970-an, orang Bali pedesaan menidurkan anaknya sambil mendongeng tentang “kedamaian dan kasih sayang” itu. Baru 1980-an dan puncaknya saat ini, anak-anak Bali tak lagi mengenal dongeng karena disibukkan oleh Daremon dan sejenisnya, sementara orang tuanya – kalau televisinya lebih dari satu – menonton sinetron tentang hantu.
Hari Raya Galungan memang hari raya yang “mengusir” bencana, terutama bencana yang datang dari pikiran yang jahat. Pikiran jahat itu dikatagorikan sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran atau dharma). Adharma harus dibunuh sehingga yang muncul adalah dharma alias kebenaran.

Adharma bisa disimbolkan dari datangnya virus jahat itu melalui Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa (Anggara), esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita perangi sehingga pada hari Rabu kita merayakan kemenangan dharma. Sayangnya, kini memerangi bhuta itu tidak dengan pengendalian diri dan membunuh nafsu hewani, tetapi betul-betul menggorok hewan, maka babi pun disembelih dan bau arak berseliweran di antara lawar.

Galungan sebagai kemenangan dharma juga hari bersyukur kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur. Berbagai ornamen sesajen Galungan memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula bahan persembahyangan ke pura penuh buah-buahan.

Buah dari mana? Buah dari bumi pertiwi di mana kita menumpang hidup. Leluhur orang Bali “menciptakan” sebuah hari yang disebut Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Di sini umat memuja Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Orang Bali “mepengarah” (memberitahu) kepada semua pohon itu supaya cepat-cepat berbuah agar bisa dihaturkan pada Hari Galungan, itu sebabnya disebut Tumpek Pengarah.

Ritual itu sampai sekarang dilaksanakan, meski beberapa jenis pohon sudah hilang seperti juwet, sotong, wani, boni dan sebagainya. Nanas, durian, jambu, masih ada. Tapi, apakah sekarang ini ada orang Bali menghaturkan nanas dan durian saat Galungan? Tidak, karena kalah gengsi. Lebih enak buah impor seperti apel. peer, sunkis dan ini semua dibeli di mini market yang sudah bertebaran di pedesaan.
Penjor Galungan masih tetap lestari, kata seorang pejabat. Memang betul, tetapi semua ornamen penjor bisa dibeli di Desa Kapal, Lukluk dan sekitarnya, termasuk padi, kelapa, dan palawija yang menggantung di penjor itu. Kelapa dan telor datang dari Jawa, busung datang dari Sulawesi, padi entah masih dari Penebel atau datang dari Cianjur, Jawa Barat – karena sawah di Bali sudah ditanami “padi nigtig”. Itukah hasil “bumi pertiwi” yang dipersembahkan?

Jika sekarang ini bencana muncul di Bali – bentrok antar warga, pencurian pratima di pura, berkelahi soal kuburan, rabies yang tak kunjung tuntas diberantas dan penyakit sosial lainnya lagi – itu bukan karena Galungan tidak dirayakan, tetapi (jangan-jangan) karena Galungan dirayakan dengan salah kaprah, jauh dari kemenangan dharma.
Lihatlah saat ini ada ritual yang jor-joran, ada Dhanu Kertih, Segara Kertih, Wana Kertih dan sebagainya. Boleh saja ada Dhanu Kertih tetapi kalau danau tidak dikeruk, tak ada manfaatnya. Wana Kertih berbiaya mahal, tetapi biaya gerakan menanam pohon kecil, bagaimana hutan lestari? Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberi contoh “yadnya yang utama”, bukan dengan ritual tetapi gerakan nyata menanam bambu. Bayangkan kalau bambu punah dari Bali, maka lengkaplah sudah, penjor Galungan betul-betul “diimpor” dari luar, orang Bali menghaturkan hasil bumi penduduk luar Bali. Bagaimana Bali bisa ajeg?

Mari kita merayakan Galungan apa adanya, persembahkan isi alam Bali, karena Galungan memang hari raya umat Hindu etnis Bali, umat Hindu yang bukan etnis Bali sama sekali tak merayakannya.

*** Penulis adalah pendeta Hindu, mantan wartawan bernama Putu Setia.