Sabtu, 25 Desember 2010

Diksa Pariksa PHDI: Apakah Berhak Tak Meluluskan Calon Pandita?

(Tulisan ini untuk urun rembug Pesamuan Agung MGPSSR 25 Desember 2010 yang dimuat Tabloid Suara Pasek)

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Pesamuan Agung Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang berlangsung 25-26 Desember 2010 ini membahas secara mendalam masalah diksa. Bagaimana pedoman diksa untuk kalangan warga Pasek, bagaimana persyaratan diksa, bagaimana menentukan Guru Nabe, semuanya akan dibahas secara mendalam. Sungguh materi yang sangat luas namun harus berhasil dirumuskan untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Ketentuan yang penting ini harus ada dasar hukumnya dan kemudian menjadi acuan dalam pelaksanaannya.


Saya tak ingin mengomentari masalah itu, biarlah hal ini menjadi perdebatan di antara Guru Nabe atau Pandita Mpu lain yang lebih senior dan punya wawasan yang luas, baik wawasan yang didapat dari penjelajahan tatwa maupun wawasan karena pengalaman sebagai pelayan umat di masyarakat. Saya menaruh hormat pada gagasan menyusun pedoman padiksan tersebut agar kelak bisa dipakai acuan bersama.

Saya hanya menyoroti satu hal kecil saja, ibarat sebutir pasir di sebuah lautan pasir. Mungkin hal ini tak ada artinya. Yakni, masalah keterlibatan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota/Kabupaten yang melakukan Diksa Pariksa terhadap calon sulinggih, dalam hal ini ketika calon sulinggih itu berstatus Ida Bhawati. Praktek di lapangan selama ini, Diksa Pariksa PHDI Kota/Kabupaten itu dilakukan dengan sistem ujian. Calon sulinggih diuji oleh pengurus PHDI atau yang ditunjuk. Calon sulinggih mendapat pertanyaan yang harus dijawab dan kemudian diberi nilai. Setelah semua pertanyaan dijawab, PHDI kemudian mengumpulkan nilai itu, lalu keluar keputusan; “Lulus”. Atau “Tak Lulus”.

Saya tak tahu, bagaimana kalau misalnya calon sulinggih itu “tak lulus”, apakah pediksan dibatalkan atau ditunda? Saya pernah mendengar selentingan -- tapi tak jelas di mana itu -- bahwa PHDI Kabupaten pernah tak meluluskan calon sulinggih, tetapi upacara pediksan tetap saja berlangsung karena banten dan rentetan upacara sudah disiapkan. Pertanyaannya, apa artinya kata “tak lulus”, lalu bukankah wibawa PHDI jadi dilecehkan karena tak ada arti apa-apa dari konsekwensi Diksa Pariksa itu?

Ketika saya menjalani Diksa Pariksa, tim dari PHDI Kabupaten Tabanan yang kebetulan tak ada warga Pasek (unsur warga Pasek seperti Wayan Tontra berhalangan), dalam hati kecil saya muncul pertanyaan: bagaimana kalau saya “dipermainkan” lalu dinyatakan tak lulus? Saya cuek saja, lulus atau tidak saya akan tetap mediksa. Alasan saya, apa yang dilakukan PHDI itu melanggar Bhisama PHDI Pusat. Syukurlah saya dinyatakan lulus dan ternyata ketua tim penguji itu -- Ida Pedanda dari Taman Sari, Tabanan-- adalah teman sekelas di sekolah menengah pertama.

Yang menarik, dalam pedoman Pediksan Pandita Mpu yang dirumuskan oleh Sabha Pandita MGPSSR, ternyata wewenang PHDI Kota/Kabupaten untuk meluluskan atau tak meluluskan calon sulinggih dibenarkan. Dalam alur “Prosedur Menjadi Pandita Mpu” disebutkan, setelah calon sulinggih lulus Diksa Pariksa yang diadakan Sabha Pandita MGPSSR dikeluarkan rekomendasi ke PHDI Kota/Kab untuk melakukan Diksa Pariksa. PHDI Kota/Kab setelah mendapat rekomendasi kelulusan itu, melakukan Diksa Pariksa, hasilnya adalah bisa lulus atau ditunda.

Ini yang saya sebutkan melanggar Bhisama PHDI Pusat. Pertanyaan saya, apakah Sabha Pandita MGPSSR tak tahu ada bhisama itu, apakah PHDI Kota/Kab juga tak tahu adanya bhisama itu, atau kita semua cuek dan tak taat pada apa yang sudah diatur sebelumnya?

Hak Penuh Aguron-Guron
Bhisama yang saya maksudkan berjudul lengkap: “Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat No. 04/BHISAMA Sabha Pandita Pusat/V/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dviyati” dikeluarkan pada 7 Mei 2005. Bhisama ditandatangani oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar Arimbawa dan Wakil Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pandita Mpu Jaya Suta Reka.

Setiap bhisama di PHDI Pusat dibahas dan disiapkan oleh Sabha Walaka yang merupakan pemikir majelis umat Hindu itu. Kebetulan saat itu saya sudah duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat, jadi saya tahu masalahnya.

Pada bagian “Menimbang” disebutkan, bhisama ini adalah penyempurnaan dari Ketetapan Sabha II PHDI Pusat tahun 1968 tentang tata keagamaan/pendeta dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke XIV tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa. Kenapa disebut penyempurnaan? Karena dua ketetapan itu dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Jadi kalau PHDI sudah menganggap ketetapan itu perlu disempurnakan, kenapa kita warga Pasek masih mengacu ke sana?

Inti dari Bhisama tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati tahun 2005 ini adalah, diksa merupakan salah satu kewajiban umat Hindu yang sebaiknya dilaksanakan pada waktu kehidupan di dunia ini sebagai wujud tahapan hidup dan peningkatan kualitas sradha, bhakti dan yasa kerti. Jadi, tak ada diksa dilakukan pada saat orang itu sudah meninggal dunia.

Dalam lampiran bhisama ini dijelaskan dengan rinci tentang kedudukan dan fungsi diksa. Saya tak ingin memerinci masalah ini. Juga yang sangat penting diuraikan di sini adalah kedudukan Guru Nabe (acharya) dengan calon diksita atau murid atau sisya. Dikutip berbagai kitab suci, terutama Atharwa Weda yang menjelaskan hubungan spiritual antara Guru Nabe dan calon diksita.

Apa kesimpulannya? Saya kutip seutuhnya: “Dalam lembaga diksa dwijati, kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tak terjadi pengingkaran terhadap sasana atau dharmaning kawikon”.

Hak prerogatif di sini mencakup kapan calon diksita itu akan didiksa. Kapan seorang Ida Bhawati -- kalau dalam sitem aguron-aguron warga pasek -- siap untuk diksa dwijati menjadi Pandita Mpu. Artinya, lulus dan tidaknya calon sulinggih itu tergantung Guru Nabe.

Nah, meski pun Guru Nabe punya hak prerogatif, dalam pelaksanaan diksa, PHDI Pusat menyerahkan sepenuhnya hak itu kepada sistem aguron-guron. Disebutkan dalam lampiran bhisama itu (lampiran ini merupakan penjelasan), segala persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa, atribut serta abhiseka kepanditaan sepenuhnya diserahkan kepada sistem aguron-guron yang diikuti oleh calon diksita.

Jadi, tak ada lembaga apapun yang bisa mencampuri pelaksanaan diksa ini, di luar aguron-guron itu. Jika seorang Guru Nabe merasa perlu seorang calon diksita diuji (diksa pariksa), maka yang berhak menguji dan meluluskan atau tidak adalah lembaga di dalam sistem aguron-guron itu. Di kalangan warga Pasek, Guru Nabe dengan rendah hati menyerahkan calon diksita untuk di-diksa pariksa, dan ini telah kita setujui bersama. Saya setuju hal ini dipertahankan, meski hak prerogatif itu ada pada Guru Nabe, sebagai lembaga aguron-guron MGPSSR melalui Sabha Pandita wajib melakukan seleksi atau menguji calon diksita. Bagaimana pun juga, seorang Guru Nabe adalah manusia biasa yang belum sempurna.

Lalu, apa peran PHDI? Saya kutip lengkap lampiran bhisama ini bagian peran PHDI itu. “Dalam proses pelaksanaan diksa dwijati, PHDI berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru Nabe.”

Tidak ada disebutkan PHDI melakukan ujian atau test terhadap calon diksita. Diksa Pariksa yang dilakukan PHDI adalah dalam arti yang sebenarnya, “memeriksa kelengkapan diksa” dalam hal administrasi. Misalnya, apakah sudah ada keterangan dari kepolisian bahwa calon diksita tak pernah melakukan tindak pidana, apakah ada surat keterangan sehat, apakah pemberitahuan ke lembaga-lembaga adat dan agama sudah dilakukan. Jadi hanya sebatas administrasi dan kemudian jika itu sudah lengkap, PHDI memberikan rekomendasi bahwa pelaksanaan dwijati bisa dilakukan.

Jika perlu -- begitu ide awal bhisama ini -- kalau calon diksita kekurangan biaya untuk urusan pediksan, PHDI sebagai majelis dan pengayom umat akan mencarikan jalan keluar. Ini hal yang umum, karena PHDI satu-satunya majelis umat Hindu yang anggarannya bisa dimasukkan APBD dan APBN. Di luar Bali sudah umum dalam pelaksanaan diksa ini pemerintah kabupaten dan provinsi memberikan bantuan. Warga Pasek yang mau mediksa dwijati dan memenuhi syarat oleh Guru Nabe dan aguron-aguronnya, seharusnya jangan malu meminta bantuan biaya dari pemerintah melalui PHDI, karena tugas pemerintah dan PHDI adalah mengayomi umat. Cuma banyak yang rikuh. Ketika saya mediksa dwijati, saya pun juga rikuh dan saya tak pernah meminta bantuan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Tetapi, rupanya pemerintah (Bupati dan Gubernur) “tahu diri” juga, kalau saya adalah rakyat pembayar pajak, jadi saya tetap mendapat bantuan. Astungkara dan suksma -- ini hanya contoh selingan saja.

Demikianlah kedudukan bhisama PHDI Pusat yang digagas Sabha Walaka bersama Sabha Pandita PHDI di Denpasar pada tahun 2005 itu, yang sangat menghormati sekali sistem aguron-guron dan tak ingin mencampuri urusan diksa dwijati. Karena PHDI menyadari kalau urusan ini dicampuri akan menjadi masalah besar. Persoalannya, apakah bhisama ini sudah disosialisasikan di masyarakat? Kenapa PHDI Kota/Kab masih melakukan ujian (tes) dan kenapa Sabha Pandita MGPSSR juga mengakui keberadaan tes itu, sehingga masih dimasukkan dalam alur “Prosedutr Menjadi Pandita Mpu”? Kalau demikian, apa gunanya ada bhisama?

Mari kita hormati bhisama Parisada karena kita sebagai warga Pasek tak bisa lepas dari Parisada sebagai majelis umat. Apalagi bhisama itu juga ditandatangani oleh wakil Dharma Adhyaksa yang merupakan Pandita Mpu Nabe yang kita hormati di kalangan warga Pasek.

Tahun depan, PHDI Pusat menyelenggarakan Mahasabha, mari kita terlibat lebih jauh dalam Parisada. Kalau selama ini Pandita Mpu hanya “mampu sebatas’ Wakil Dharma Adyaksa, siapa tahu tahun 2011 kelak, kedudukan tertinggi di Parisada itu dipegang oleh Pandita Mpu. Kenapa tidak? Kita punya banyak Pandita Mpu yang cendekiawan sekaligus rohaniawan, ada profesor, ada doktor, kapan lagi tampil?

Sabtu, 06 November 2010

Bethara, Tuhan, Dewa: Tiga Hal Berbeda


Om Swastyastu
Ini buku terbaru karya Ida Pandita Mpu Jaya Prema Andanda, akan terbit akhir bulan November ini. Dan ini ringkasannya:


Sampai sekarang, masih banyak umat Hindu yang belum jelas benar, apakah mereka da¬-tang ke sebuah pura memuja Bethara, Dewa-Dewa atau Hyang Widhi. Mereka bahkan tak ambil pusing dan tak peduli, dan mungkin pula tak bisa membedakan apa itu Ida Bethara, Ida Hyang Widhi, dan Dewa-Dewi. Mereka hanya tahu, misalnya, datang bersembahyang ke pura untuk piodalan. Tapi siapa yang piodalan di sana? Ida Bethara yang mana? Atau jangan-jangan bukan Ida Bethara, tetapi Istadewata, tapi Istadewata yang mana?

Seperti diketahui, ajaran Hindu memang menyebutkan, bahwa umat Hindu selain memuja Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi), juga memuja leluhur. Leluhur itu ada yang bersifat umum artinya orang-orang tua di masa lalu yang sangat berjasa, bisa berarti pula kawitan, yakni yang langsung punya hubungan darah secara vertikal. Leluhur ini dalam ajaran Hindu menyatu dengan Tuhan.

Dalam memuja Tuhan pun umat Hindu tak harus langsung kepada Tuhan itu sendiri (dalam hal ini disebut Brahman), tetapi bisa melewati Istadewata, yakni para dewa yang merupakan sinar sakti dari Brahman. Nah, siapa Istadewata yang dipuja pada hari-hari tertentu dan tempat tertentu itu, sebaiknya dipahami lebih dahulu agar persembahyangan menjadi khusuk dan tepat sasaran.

Buku ini dimaksudkan untuk itu, mengenal Bethara (leluhur), Hyang Widhi dan Istadewata dengan tempat-tempat pemujaannya dan caranya memuja. Karena itu buku ini pun dilengkapi dengan Puja Stawa kepada Bethara, Tuhan dan Para Dewa. Tentu saja puja yang terbatas, karena buku ini ditujukan kepada masyarakat umum -- meski pun sebagai pelengkap disajikan juga Gagelaran Pemangku.

Semoga buku ini bermanfaat adanya.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Senin, 25 Oktober 2010

Pahlawan

Putu Setia/Mpu Jaya Prema Ananda

Awalnya adalah saya hanya bercanda di hadapan Romo Imam. Saya meminta komentar Romo, apakah saya – kalau nanti telah tiada – layak disebut pahlawan. Ternyata Romo Imam menjawab dengan serius. “Kamu pahlawan, karena salah satu yang medobrak tradisi masyarakat Bali masa lalu yang masih berkutat dengan kasta dengan mengembalikan pada ajaran Hindu. Satu contoh saja, sudah ada ratusan pendeta Hindu yang di masa lalu tak mungkin jadi pendeta karena dianggap berkasta Sudra. Gerakanmu lewat tulisan, buku dan ceramah pantas diganjar pahlawan, pahlawan back to Weda, sebagaimana yang banyak dikatakan orang….”

“Stop… jangan teruskan,” saya mengharap sampai –sampai memeluk Romo. “Ini masalah pribadi, sangat lokal, Romo. Saya malu. Lagi pula banyak yang anti dengan gerakan saya itu.”

Romo melepaskan pelukan saya. “Sekarang ini gelar pahlawan itu sangat lokal. Paro dan kontra pun tak terhindarkan. Gelar yang sudah dilembagakan pemerintah saat ini sudah salah kaprah. Apalagi yang mengusulkan seseorang mendapat gelar pahlawan itu bermula dari daerah. Akibatnya, pemerintah daerah mencari-cari orang yang harus dipahlawankan, kalau tidak ada gengsinya berkurang. Bagi Romo, gelar pahlawan itu seharusnya sudah ditutup setelah kemerdekaan. Jadi, pahlawan itu adalah mereka yang gugur di medan juang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”

Kami duduk, tapi Romo masih bersemangat. “Awal-awalnya sudah benar, kriteria pahlawan seperti itu, berjuang atas nama kemerdekaan, lalu dicari sebuah hari yang bisa diperingati, ketemu tanggal 10 November, pertempuran di Surabaya. Setelah itu orang-orang yang berjasa di republik ini yang dianggap setara dengan pahlawan diberi julukan pahlawan dengan embel-embel, misalnya, pahlawan proklamasi yang diterima oleh Soekarno dan Hatta, dan pahlawan revolusi yang diterima oleh para jenderal yang terbunuh saat Gerakan 30 September 1965. Tiba-tiba kemudian, dua marinir, dulu disebut KKO, mati digantung di Malaysia, dan kita mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Mungkin sulit menyebut pahlawan apa, atau emosi kita waktu itu menggebu bahwa keduanya harus jadi pahlawan, ya, hanya disebut pahlawan saja, tanpa embel-embel.

“Nah,” Romo melanjutkan, “ketika lembaga yang memberi gelar tanda jasa diformalkan di negeri ini di masa orde baru, setiap tahun lalu muncul pahlawan baru. Di sinilah terjadi kerancuan, pahlawan apa? Ya, disebut pahlawan saja. Bermunculan pahlawan di daerah. Uniknya, kalau itu tokoh lokal, justru tak ada perdebatan, karena plus minus tokoh itu tak diketahui, ya, orang cuek. Tetapi begitu tokohnya dikenal di daerah lain dan merupakan tokoh nasional, polemic justru ramai. Ya, tentu saja, karena penilaian itu sebenarnya sangat subyektif.”

Romo bertanya pada saya: “Soeharto apa layak jadi pahlawan? Gus Dur dan Ali Sadikin, apa layak?” Saya menjawab: “Karena saya berprinsip mikul dhuwur mendhem jero semuanya layak. Apalagi pahlawan itu orangnya harus mati dulu, membicarakan kejelekan orang mati pantang bagi saya. Hanya kebaikan yang harus saya umbar, kejelekannya saya kenang sebagai pelajaran.”

“Bagus,” kata Romo. “Tapi, karena gelar ini dikukuhkan secara nasional dan pahlawan dianggap orang yang layak jadi panutan, pro kontra muncul. Soeharto berjasa membangun, ribuan sekolah dan puskesmas dibangun di desa, luar biasa pembangunan itu sampai diberi julukan Bapak Pembangunan. Tapi orang bertanya, apa pantas Pak Harto yang gampang menangkap orang, yang membredel pers, jadi pahlawan? Ali Sadikin berjasa membangun Jakarta. Orang bertanya, apakah orang yang setuju judi, yang nyata-nyata melanggar agama dan haram, layak jadi pahlawan? Gus Dur pemikirannya luar biasa, pejuang pluralisme. Orang bertanya, menjadi presiden saja harus diberhentikan di tengah jalan, apakah itu teladan yang baik?”

Romo berhenti dan saya merenung. Saya pikir ada baiknya kepahlawanan seseorang itu tidak diformalkan oleh negara setelah kemerdekaan dicapai. Apalagi, tokoh-tokoh yang berjasa itu sebenarnya “tak sudi” dimakamkan di Taman Pahlawan, mereka memilih makam pribadi. Biarlah sebutan pahlawan itu bersifat local atau hanya sekedar predikat untuk menunjukkan orang itu berjasa tanpa harus ada pengakuan negara. Seperti kaum guru menyebut diri “pahlawan tanpa tanda jasa”, TKI disebut “pahlawan devisa”, Rudy Hartono pahlawan bulutangkis.

“Sebenarnya sudah cukup orang berjasa pada negara ini diberi bintang saja, lagi pula bintang jasa itu tingkatannya sudah begitu banyak. Atau gelar pahlawan dihapuskan diganti dengan piagam-piagam, misalnya Piagam Kalpataru untuk pahlawan lingkungan,” kata Romo sambil masuk ke kamarnya. Saya setuju dan saya mengajak semua orang untuk menjadi pahlawan, minimal, “pahlawan keluarga”.

(Materi tulisan ini dimut Koran Tempo Minggu 24 Oktober 2010, namun yang ini versi panjangnya, sebelum disesuaikan dengan ruangan di Koran).

Sabtu, 23 Oktober 2010

Bersembahyang ke Leluhur

Mpu Jaya Prema Ananda

Bersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di jakarta. Dulu, ketika saya masih jadi wartawan dan berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.

Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di per¬empatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengun¬jungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri¬kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersem¬bahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan?

Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan, stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Umat tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya memuja Tuhan.

Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa maksudnya?

Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” seperti Pura Jagatnatha?

Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.

Sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura.

Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum saya menjadi pandhita, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.

Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi pa¬ling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono).

Namun, di luar kesulitan dan keruwetan itu, sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau. Pura besar di Bali termasuk Pura Lempuyang Madya semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan muncul generasi “anak mula keto” jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri.

Tantangan bagi kita semua untuk menerbitkan buku sejarah tentang pura, tentu termasuk di dalamnya tentang ketokohan Rsi Agung kita yang pernah berstana di pura itu, yang kini kita puja. Karena dengan cara itulah kita menjadi tahu, apa bedanya bersembahyang di kamar dengan bersembahyang jauh-jauh ke atas bukit di Pura Lempuyang Madya, misalnya. Sebagai umat Hindu kita memang memuja Tuhan (Hyang Widhi), tapi kita juga memuja leluhur, dan keduanya beda.

Kamis, 21 Oktober 2010

Ucapan Terimakasih


Atas nama keluarga besar Pasraman Dharmasastra Manikgeni dan atas nama saya pribadi, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sangat mendalam kepada semua pihak yang telah memberi restu pada hari perkawinan (pawiwahan) putra kami, Nyoman Wirya Suniatmaja dengan Nyoman Henny Sandra Dewi. Pawiwahan dilangsungkan 13 September 2010 dan baru kesempatan ini kami bisa menghaturkan ucapan terimakasih.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua yang hadir, secara khusus kami menyampaikan rasa terimakasih kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti, serta Marsilam Simanjuntak, Putra Astaman, Putu Soekreta Soeranta, Gede Eratha, Nengah Dana, Djony Gingsir – semuanya di Jakarta -- Nengah Nadha di Yogyakarta.

Mari Sembahyang ke Candi Cetho


Candi Cetho berada di lereng selatan Gunung Lawu tepatnya di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi Cetho dibangun Raja Lingga Warman sekitar tahun 500 Masehi. Kekuasaan Kerajaan Pakuan atau Lingga/linggam diwariskan kepada menantunya yang bernama Tarusbawa yang dilambangkan dengan kura-kura dan linggam. Di Candi Cetho ini pula diyakini Raja Majapahit Brawijaya moksha.

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit. Penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh, yang berada di lereng barat Gunung Lawu.

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli (punden berundak) pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.

Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri atas sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.

Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat melangsungkan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut ''Kuntobimo'') di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Candi Cetho kini sudah resmi dipakai sebagai tempat bersembahyang umat Hindu. Umat datang dari berbagai penjuru Nusantara. Di lereng atas Candi Cetho juga sudah dibangun tempat pemujaan Dewi Saraswathi yang kebetulan pula di sana terdapat sumber air. Karena Candi Cetho berada di ketinggian, hanya mobil pribadi atau mobil khusus yang bisa ke sana. Umat Hindu yang datang dengan bus besar harus mengganti mobil di Desa Kemuning, desa paling bawsah di Gunung Lawu.

Candi Cetho termasuk kawasan Cagar Budaya, karena itu pengunjung yang masuk ke sana membayar karcis masuk seharga Rp 2.500/orang. Namun umat Hindu yang bersembahyang tidak dikenakan karcis masuk, paling “uang kebersihan” sekedarnya.

(Bagi umat Hindu di Bali yang ingin melakukan perjalanan ke Candi Cetho, ikuti paket tirtayatra yang diselenggarakan Pasraman Manikgeni, Desa Pujungan. Kab. Tabanan. Paket itu adalah Pura Blambangan (Banyuwangi), Pura Semeru Agung (Senduro,Lumajang), Pura Kepasekan (Karanganyar, Jawa Tengah) dan Candi Cetho. Disempatkan berkunjung ke Solo membeli oleh-oleh. Berangkat dari Bali pagi hari pertama, siang di Pura Blambangan, sore di Pura Semeru, pagi hari kedua di Pura Kepasekan, siangnya di Candi Centho dan kembali ke Bali, tiba siang hari ketiga. Biaya perjalanan Rp 300.000/orang TANPA MAKAN – makan bawa sendiri).

Bencana

Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda)

Belum sempurna pantat ini menyentuh kursi, Romo Imam sudah mengajukan pertanyaan: “Bagaimana bunyi sila pertama Panca Sila yang menjadi dasar negara?”

Saya tercengang. Jawaban itu tentu saja mudah. Yang sulit adalah mencari tahu ada apa di balik pertanyaan itu. “Kenapa Romo menanyakan hal itu?” saya balik bertanya.


“Pertanyaan ini jauh lebih bermutu dari tes calon pegawai negeri Kementerian Perdagangan. Apa kaitannya pegawai yang ngurusi harga bawang merah ini dengan lagu ciptaan Presiden SBY? Kenapa tidak sekalian ditanyakan, apa parfum yang biasa dipakai Ibu Ani Yudhoyono. Pertanyaan konyol. Tapi pertanyaan saya serius, jawab.”

Sorot mata Romo membuat saya kecut dan akhirnya saya menjawab: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Romo tertawa senang, lalu berdiri: “Benar, dan bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Sekarang yang berkuasa itu uang, kalau punya uang berbuat apa saja bisa. Ketuhanan Yang Masa Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa jarang sekali ini dijadikan ‘dasar’, padahal ini sila pertama?”

Saya tak paham, untung Romo melanjutkan: “Kalau benar orang Indonesia menjadikan Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai dasar falsafah hidup yang pertama, kenapa setiap ada masalah tak pernah merujuk pada kekuasaan Tuhan? Jika ada masalah yang menimbulkan korban, maka alam dijadikan kambing hitam, istilahnya pun disebut bencana alam. Padahal alam yang diciptakan Tuhan tak mungkin memberI bencana, alam diciptakan untuk dinikmati sepenuhnya oleh isi alam.”

Saya masih tak paham dan membiarkan Romo bicara terus. “Alam itu diciptakan dalam konsep keseimbangan. Begitu keseimbangan dirusak, alam mencari keseimbangan baru. Kalau hutan dibabat, tanah yang tak dilindungi pohon itu akan mencari keseimbangan baru untuk menguatkan posisinya. Hutan yang rusak juga membuat air tanah di sana “tak nyaman”, lalu air di tanah itu mencari keseimbangan baru. Dalam proses pencarian itu, terjadi tanah longsor dan banjir bandang. Kenapa itu disebut bencana oleh manusia?”

Wah, saya tak mudah mencerna filsafat alam seperti ini. Saya masih diam. “Saya memuji orang Bali yang selalu menjaga keseimbangan alam dengan ritual yang memuja alam. Misalnya, pohon diberi sesajen, danau diberi sesajen dan sebagainya,” kata Romo.

Yang ini saya paham, makanya saya nimbrung: “Romo benar, orang Bali menjaga alam dengan banyak ritual. Pohon diberi sesajen, sesungguhnya agar pohon itu tak mudah ditebang orang yang haus kayu. Tapi, orang Bali menjadi sibuk menjelaskan konsep keseimbangan alam ini, karena belum apa-apa sudah dituduh klenik, mistik, memuja berhala. Padahal yang dipuja adalah Tuhan dengan ciptaan-Nya.”

Romo menyela: “Inti yang mau saya katakan adalah mari sesekali kita menoleh kepada kekuasaan Tuhan, karena bukankah ini sila pertama dasar negara kita? Siapa tahu kita banyak berbuat salah. Kita membabat hutan, banjir datang. Kita menguras air tanah, ambles datang. Jika kita menyadari ada yang salah, mari kita bertobat. Kita lakukan ruwatan nasional.”

Saya memotong: “Betul Romo, kita lakukan intropeksi mengacu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kereta api tabrakan terus, jangan-jangan pejabat yang mengurusi perhubungan moralnya cela di mata Tuhan. Bus wakil rakyat tabrakan, jangan-jangan para wakil rakyat banyak yang berdusta. “

Romo terpingkal-pingkal. “Kalau itu diperpanjang, jadi banyak. Bisa tak nyambung, bisa pula nyambung. Tapi ada baiknya kita sesekali berpikir: apa perlu melakukan pertobatan nasional dan minta ampun pada Tuhan, sembari memperbaiki moral kita bersama-sama?”

(Koran Tempo 17 Oktober 2010)

Kamis, 07 Oktober 2010

Tumpek Landep: Hari Raya Apa?

Mpu Jaya Prema Ananda

Umat Hindu etnis Bali akan merayakan kembali sebuah hari yang disebut Tumpek Landep. Persisnya adalah pada hari Sabtu 9 Oktober 2010 ini atau dalam istilah orang Bali disebut Saniscara Kliwon Wuku Landep. Seperti kebiasaan yang mulai berkembang, umat Hindu memberi sesajen yang ditaruhnya di semua benda dan peralatan yang terbuat dari besi, terutama sekali yang menyolok saat ini adalah kendaraan, baik roda dua maupun roda empat dan lebih dari itu seperti truck, misalnya.

Bukan itu saja. Peralatan lain seperti kulkas, komputer, kompos gas dan semuanya yang dari besi dihaturkan sesajen. Termasuk pula handphone. Lalu, cobalah iseng ditanya pada orang-orang Bali itu, siapa dewa yang dipuja di sana? Tak banyak yang bisa menjelaskan. Orang-orang Bali memang masih banyak yang sebatas itu menjalankan agama: pertama berdasarkan ungkapan khas “nak mule keto” (karena begitu ditemukan dari dulu) dan sekarang ditambah dengan “ikut-ikutan”, orang Bali bilang: yen sing milu lek atine (kalau tak ikutan, malu).

Tumpek Landep adalah sebuah hari pemujaan yang penting. Karena itu pula, piodalan di Pura Manikgeni, Desa Pujungan (bersebelahan dengan Pasraman Dharmasastra Manikgeni) dilangsungkan pada hari itu, dari pagi sampai pagi esoknya. Mau datang? Silakan sambil mampir di Pasraman Manikgeni yang mempunyai Taman Baca dengan ribuan koleksi buku.

Tumpek Landep tak berdiri sendiri – hampir semua hari-hari suci umat Hindu saling berkaitan. Tumpek Landep dimulai cikal-bakalnya pada Hari Raya Saraswati, yaitu hari turunnya ilmu pengetahuan. Dewi Saraswati dipuja di sini karena Beliau yang menurunkan ilmu pengetahuan. Esoknya, orang-orang mulai melakukan pembersihan diri agar ilmu pengetahuan itu bisa masuk kedalam jiwa dengan tanpa hambatan. Orang kotor – baik kotor rohani maupun kotor phisik—akan sulit menimba ilmu pengetahuan, apalagi pengetahuan suci. Demikian seterusnya sampai suatu saat orang yang ingin mendapatkan ilmu suci itu wajib melakukan peneguhan diri, memagar dirinya dari niat dan prilaku jahat, agar ilmu pengetahuan itu menjadi lebih mantap. Pagerwesi, adalah simbul dari pagar yang maha kuat untuk peneguhan diri itu. Setelah ilmu pengetahuan suci diperoleh dan jiwa bersih plus ada rambu-rambu pagar dari wesi (simbol logam berat) silakan ilmu itu dipelajari.

Sepuluh hari setelah itu adalah simbol untuk pemantapan, dan itulah hari yang disebut Tumpek Landep. Pengetahuan atau ilmu suci itu harus dikukuhkan, dipasupati, diwinten, agar ilmu itu terus bermanfaat dan terus runcing sehingga bisa dimanfaatkan untuk membedah segala masalah yang ada di dunia ini. Runcingkan (landep) ilmu itu dengan memberkahi semua peralatan yang dipakai untuk menimba ilmu itu agar tetap memiliki kekuatan tak ternilai (taksu).

Jadi, pada Tumpek Landep ada dua hal penting: pertama pasupati, peralatan dipasupati agar terus memberikan khasiat. Kedua pewintenan, penyucian diri. Itu sebabnya banyak Sulinggih yang melakukan acara pewintenan pada saat Tumpek Landep, misalnya, Ida Pandita Mpu Dwija Kerti di Gria Seririt setiap Tumpek Landep mewinten puluhan pemangku. Semua ini dilakukan agar peralatan dan diri kita tetap punya “taksu”.

Lalu apa yang dipasupati? Pisau, karena ini peralatan penting. Setiap menyelenggarakan ritual upacara, pisau pasti alat yang paling berguna. “Ilmu mejejahitan” tak lepas dari pisau. Tombak, keris, dan sebagainya juga patut dipasupati kembali. Peralatan upacara juga, misalnya sangku, bajra dan sebagainya. Jika sudah berstatus Sulinggih, tentu semua siwakrana sang Sulinggih dipasupati pula pada hari itu.

Apakah mobil. komputer, radio, televisi juga dipasupati? Ya, silakan saja, tak ada yang melarang tak ada yang mengharuskan. Semuanya bisa saja dikait-kaitkan. Bukankah mobil adalah sarana yang penting untuk mencari ilmu pengetahuan? Kalau tak ada mobil atau motor, bagaimana bisa kuliah? Komputer bahkan sarana mendapatkan ilmu pengetahuan, kalau dimanfaatkan dengan baik lewat internetnya. Radio dan televisi adalah sumber informasi di mana ilmu pengetahuan berseliweran.

Yang penting adalah: jangan sampai mobil, radio, televise dan lainnya itu diberi sesajen yang utama, sementara peralatan melakukan yadnya seperti pisau, pengutik dan simbol kesakralan seperti tumbak, keris dan banyak lagi dilupakan. Kalau sesajen tidak banyak harus ada yang prioritas. Prioritas itu adalah “senjata kehidupan”, bukan “alat penunjang”.

Jadi kalau pada Hari Saraswati kita memuja turunnya ilmu pengetahuan, Pager Wesi membentengi diri dari pengaruh negatif agar ilmu itu bermanfaat, Tumpek Landep kita mulai jadikan ilmu itu sebagai senjata untuk memperbaiki kwalitas diri maupun pengamalan diri.

Apa saja banten Tumpek Landep? Banten adalah simbol, tentu sangat terkait juga pada dresta (kebiasaan) setempat. Orang Bali umumnya membuat dengan rangkain (sorohan) seperti ini: Sesayut Jayeng Perang, Sesayut Kesuma Yudha, Sesayut Pasupati, Segehan (Agung) Pasupati, Sesayut Guru selain banten dasar untuk pembersihan (mereresik) seperti byakawon, prayascita dan sebagainya, termasuk ayaban dan suci yang disesuaikan dengan peralatan yang diupacarai. Kiranya ini tak usah dirinci, kalau ingin tahu buka blog Mpu Jaya Prema Ananda (http://mpuprema.blogspot.com)

Bagaimana dengan puja atau mantramnya? Wah, soal itu, pemangku atau orang yang dituakan bisa melakukan improvisasi dengan baik, dan ini biasa disebut sehe atau sesontengan. Ingat selalu, Tuhan tahu semua bahasa. Dalam beryadnya yang penting ketulusan dan keiklhasan, bahasa bukan kendala. Pakai bahasa hati juga tak masalah.

Namun, karena inti Tumpek Landep adalah mepasupati peralatan dan mewinten, baiklah dikutip dua mantra. Tentang Pasupati banyak ada jenis mantranya, di sini dikutip yang paling mudah dihafal, karena hanya “ngider bhuana” saja, yang penting kita hafal letak senjata dan nama arah anginnya.

PANCA-PASUPATI-STAWA

Om, Pasupati wajra-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Purwa-desa mukha-sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Dandha yudhaya, Agni raksasa rupaya, Daksina-desa mukha-sthanaya,Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Pasa-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Pascima-desa mukha-sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Cakra-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Uttara-desa mukha-sthanaya, Om, P asupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Padma-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Madhya-desa mukha sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Sri-Pasupati Aksobya ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Ratnasambhawa ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Amitabha ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Amogha siddhi ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Wairocana ya namah swaha.

Untuk Pewintenan, bisa dipakai Ghana Pati Stawa berikut:

Om, Ghana-pati-rsi-putram, Bhuktyantu weda-tarpanam, Bhuktyantu Jagat-tri-lokam, Suddha-purna-śariranam.

Om, Sarwa-wiśa-winasanm, Kala-Durga-durgi-pati, Marana-mala murcyate, Tri-Wristi pangupa jihwa,

Om, Gangga-Uma stawa-siddhi, Dewa-Ghana guru-putram, Sakti-wiryam loka-śriyam, jayati labhãnugrahakam.

Om, Astu-astu ya namah swaha.

Banten Tumpek Landep

Banyak orang bertanya, apa saja banten takkala datang rahinan Tumpek Landep. Berikut ini jenis-jenisnya (sorohan) yang sederhana, karena harus disesuaikan lagi dengan kebiasaan setempat.

Sesayut Jayeng Perang
Kulit sesayut dari daunan dong, tumpeng putih memuncuk barak 2 buah. Tumpeng selem memuncuk putih 1 buah. Medasar beras triwarna (injin, baas barak, baas biasa). Be ati bungkulan, yeh asibuh, muncuk dadap 11, tulung urip apasang (2), kewangen 3 (tiga) sekar pucuk bang tirta asuhun keris mewadah sibuh.

Sesayut Kesuma Yuda
Beras mepisela padma medasar beras barak, kulit sesayut busung nyuh gading, penyeneng nagasari, nyuh gading ring tengah pinaka agung, tindakan sekar mancawarna, bawang putih padang kasna, prayascita dikelilingi antuk tumpeng pancawarna metanceb pucuk bang lima katih. Getih megoreng atakir, ati dan batukan (betukan ayam) megoreng pada metakir tirta pasupati, tirta betara, tirta sulinggih sesari 76.500 kepeng, tetebusan benang hitam.

Sesayut Pasupati
Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati.

Segehan Agung Pasupati
Peras barak sodan barak (sampeyan canang don andong). Daksina tampi serobong, ketipat kelan, nasi kepelan 9 kepel metatakan don andong medaging ulam jeroan matah 9 takir raung ring sowang-sowang. Asep 9 katih, nasi wong-wongan barak 5, api takep 5.

Sesayut Guru
Kulit sesayut beras akulak metatah kain putih tampelan tetebu jinah 11 kepeng. Tumpeng guru, tulung 2, kewangen 1, peras alit, pesucian, pembersihan, penyeneng, sampeyan nagasari, meulam ayam putih mulus.

Banten lain:
ayaban, suci, byakawon +prayascita (anggen mereresik). Yening membanten ring mobil, genahang jayeng perang atanding.

Rabu, 06 Oktober 2010

Rusuh

Negeri ini sudah tak aman. Rusuh di mana-mana. Rusuh antaretnis, rusuh antarpreman, rusuh antarkelompok, rusuh antarmahasiswa, rusuh antarpelajar. Polisi tak berkutik karena mereka rusuh dengan para pengunjuk-rasa. Apa yang salah?


Itulah ocehan istri saya yang sudah saya sunting supaya tidak terlalu vulgar. Maklum, ia belakangan ini lebih sering menonton berita dibandingkan sinetron.
Saya tak berminat meladeni. Indonesia luas, rusuh di sana, asal tidak di sini, biarkan saja. Itu sudah menjadi pendapat yang menggejala belakangan ini, rasa memiliki bangsa sudah luntur. Tapi, kalau saya tak mau meladeni ocehan istri saya, itu soal lain.

“Apakah kerusuhan ini buah dari demokrasi yang membaik, yang dipuji-puji Obama? Setiap saat ada unjuk rasa, setiap unjuk rasa ada kerusuhan. Polisi takut tegas karena bisa melanggar hak asasi manusia. Nah, makan itu demokrasi,” oceh istri saya lagi.

Saya tetap tak ingin meladeni.

“Teroris juga makin berani. Merampok, menyerang pos polisi, bahkan muncul teroris kelas sepeda ontel. Orang di pusat berteriak agar teroris dijadikan musuh bersama, tak cuma musuh polisi. Tapi di daerah, jenasah yang disebut teroris itu disambut spanduk bertuliskan pahlawan agama. Ada wakil rakyat yang menyalahkan kerja polisi yang menembak mati teroris. Semuanya berjalan seiring, di satu pihak teroris dijadikan musuh besar, di satu pihak teroris mendapat simpati. Sesungguhnya, bangsa ini tega nggak berperang dengan teroris?” lagi-lagi istri saya ngoceh.

Saya hampir tergerak meladeni, tapi saya urungkan. Saya memaklumi istri saya lagi terprovokasi pengamat di televisi. Maklumlah, kebijaksanaan redaksi media masa saat ini adalah bagaimana mencetak oplag besar, bagaimana menaikkan ratting tinggi, meski harus mengabaikan apakah berita dan siaran itu bermanfaat untuk bangsa atau tidak. Ini juga buah demokrasi, pers yang bebas.

“Rampok bersenjata, waduh, ini mengerikan, ibu takut pak…” tiba-tiba ia memeluk saya. Terpaksa saya meladeni, kalau tidak tentu saya dianggap suami tak normal. “Tenang Bu, perampok yang ganas di Sumatra dan di Jawa. Kalau pun ada di Bali, ya, hanya di kota,” kata saya.

“La, tadi malam di kampung kita, tiga perampok bertopeng menyekap petani kopi dengan senjata, semua uang dan perhiasan ludes dirampok. Polisi tak bisa berkutik,” ujar istri saya.

Saya baru sadar kejadian semalam, memang sadistis. Padahal ini di kampung yang jauhnya 60 kilometer dari Denpasar, kampung yang damai, di mana orang biasa menaruh sepeda motor di depan rumah tanpa dikunci semalaman. Rumah-rumah yang tanpa pagar. “Ya, negeri ini sudah tak aman, sangat memprihatinkan,” komentar saya. Istri saya menimpali: “Nah, akhirnya bereaksi juga setelah merasakan langsung akibatnya.”

Saya membenarkan kata-katanya. Orang baru peduli ketika sebuah kasus menimpa dirinya atau dekat dengan dirinya. Orang bisa tak berbelas kasih kepada teroris jika tahu betapa teroris menghancurkan kehidupan sekian ribu orang bertahun-tahun – contohnya seperti dampak bom Bali. Orang baru mengecam kerusuhan ketika keluarganya terkena bencana salah sasaran itu. Kerusuhan di Sampit dan kini di Tarakan, hanya dianggap berita biasa di daerah lain, padahal benih-benih kerusuhan itu – kesenjangan antara pendatang dan penduduk asli – muncul di mana-mana. Ledakan hanya menunggu waktu, dan Indonesia berantakan jika kebersamaan sudah mulai luntur dan rasa memiliki bangsa ini mulai surut. Apalagi para elite bangsa pada tak akur dan pemerintah sangat lemah -- seperti sekarang ini.

Perang

Mari berperang. Satukan tekad, bulatkan keyakinan, tanamkan dalam dada kita bahwa kita pasti menang. Kawan, sudahkah Anda siap terjun ke medan laga dan menunggu kemenangan itu akan datang?

Perang melawan siapa? Melawan Malaysia? Oh, tentu saja bukan. Malaysia bukan musuh kita. Negara ini dihuni oleh orang serumpun dengan kita, orang Melayu. Malaysia tetangga kita, kalau pun sesekali kita pernah cekcok, dua atau tiga sesekali pasti pernah rukun. Kita saling membutuhkan, saling punya ketergantungan. Berperang dengan tetangga, hasilnya sudah pasti seperti yang ditulis oleh para pujangga Melayu di masa lalu: menang jadi arang, kalah jadi abu. Arang dan abu tak begitu jauh bedanya, tetapi persamaannya adalah terjadi kerusakan berat dibandingkan sebelum terjadi perang. Kalau sudah jadi arang, apalagi jadi abu, tak bisa dikembalikan lagi ke bentuknya yang semula. Betapa dasyatnya dampak perang.

Karena itu mari kita bunuh nafsu berperang kepada negara tetangga. Kalau sekedar mengumpat, mengecam dengan kata, mengingatkan dengan keras, bolehlah asal tak berlarut-larut, karena pekerjaan kita di dalam negeri masih banyak. Memang, siapa yang tak geram kalau kedaulatan kita dipermainkan begitu saja oleh bangsa lain, lebih-lebih itu tetangga sendiri. Betul juga, bahwa kita terlalu sering dilecehkan. Selain kelakuan buruk tetangga kita dalam masalah perbatasan, kelakuan buruk lainnya sudah lebih dulu dipamerkan dalam hal hak cipta, misalnya. Warisan lelulur kita seperti batik, wayang, tari pendet dan sebagainya, diklaim sebagai warisan mereka.
Tapi, tidakkah kelakukan buruk tetangga itu bisa kita jadikan bahan instrospeksi? Sebelum tetangga kita mengklaim sebagai miliknya, apakah kita sudah cukup melestarikan warisan itu sesuai dengan aturan zaman? Apakah kita sudah mendaftarkan hak paten batik, wayang, tari pendet, angklung bambu, dan sejenisnya ke lembaga-lembaga terkait?

Begitu pula dalam masalah perbatasan. Sudahkah kita menentukan garis perbatasan yang disepakati oleh semua negara yang berbatasan? Presiden SBY baru saat berpidato di Cilangkap memerintahkan supaya perundingan perbatasan dengan Malaysia segera dilakukan. Lha, kok baru sekarang, memangnya kemarin-kemarin tak ada yang mengurusi masalah itu?

Malaysia menuduh tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan memeras nelayan mereka, dan karena itu polisi Malaysia menangkapnya. Menteri Kelautan membantah. Kita menuduh, Malaysia menangkap ketiga petugas kita di perairan Indonesia. Malaysia membantahnya. Bantah-berbantahan begini masih bisa diselesaikan dalam koridor perundingan, jika buntu mari kita undang pihak ketiga yang independen. Kalau masih juga buntu, ya, baru cara yang lebih keras. Janganlah keburu nafsu, belum apa-apa sudah siap berperang. Memangnya kita betul-betul tega saling berbunuhan antar tetangga?

Tapi, kita juga tak bisa menggadaikan harga diri. Kalau betul kedaulatan kita diinjak-injak, kita harus melakukan protes keras, jangan lembek. Jangan pula menimang untung rugi. Keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang jutaan itu jangan sampai dijadikan alat memperlunak protes yang seharusnya bisa keras.

Masih siapkah Anda berperang? Tentu, tetapi bukan dengan Malaysia. Berperanglah melawan nafsu buruk yang ada dalam diri kita, termasuk berperang melawan “nafsu berperang”. Kita tetap mengendalikan diri – antara lain dengan berpuasa – dan di akhir pekan ini, Insya Allah, kemenangan sejati akan datang.

Selamat Hari Raya Idoel Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Puasa

Romo Imam lagi santai. Istri dan anak putrinya sibuk di dapur menyiapkan makanan buka puasa. Sebagai basa-basi baru bertamu saya memuji: “Ibu memang pinter memasak, sudah terasa sedapnya makanan.”

Romo tersenyum. “Nanti kita buka puasa bersama,” katanya. Saya mengangguk. “Puasa penting untuk kesehatan. Tapi, ya, sudah tiga hari Ramadhan berlalu, Romo masih kurang sreg dengan puasa ini. Masih puasa phisik.”

Saya segera mengejar apa maksudnya. “Puasa yang hanya menunda makan. Pada saat kita menahan lapar, kita berpikir itu hanya menunda makan, karena sudah pasti kita akan makan. Istri sudah menyiapkan makanan, bahkan makanan yang enak-enak dibandingkan hari-hari yang bukan Ramadhan. Menunya khusus, dari minuman pembuka, makanan penambah selera, makanan besar, makanan penutup, sampai pada pernik-pernik cemilan.”
Romo mengambil koran dan membaca judul-judul berita dengan cepat, seperti penyiar televisi membawakan rangkuman berita sepekan. Ada bazaar Ramadhan di berbagai kota, ada liputan buka puasa bersama pejabat, ada selebritas yang membuat pesta buka puasa yang mewah, ada keluarga tahanan yang membawa puluhan tusuk sate kambing ke rumah tahanan. Semuanya untuk berbuka puasa. Dan semua yang berbuka puasa sudah siap dengan menu khusus itu. Jadi yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya makan, dari mana memulai.

“Itu puasa phisik. Mulut kita berpuasa, pikiran kita tidak. Kita tak sempat berpikir, oh, begini toh rasanya lapar, betapa memprihatinkan kaum papa yang selalu menahan lapar tanpa jelas tahu kapan akan menghentikan lapar. Puasa phisik tak akan melahirkan solidaritas yang sejati, semuanya menjadi solidaritas semu.,” kata Romo.
Saya menyela: “Tapi bukankah banyak sekali fakir miskin yang diundang saat berbuka puasa? Bahkan orang berbondong-bondong membawa nasi bungkus untuk didermakan pada mereka?”

Romo tersenyum: “Ya, itu sucinya Ramadhan. Bahkan bisa disebut saktinya bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan lewat, berapa orang yang membawa nasi bungkus ke anak-anak jalanan dan para gembel yang selalu dianggap mengotori kota ini? Ramadhan datang, warung remang-remang dihancurkan, rumah pelacuran Dolly yang terbesar di Asia Tenggara ditutup, hotel dirazia tamunya, panti pijat, karaoke dan semua tempat hiburan malam tak boleh buka. Ramadhan lewat, negeri ini seperti dibiarkan menjadi sarang maksiat. Itu karena pola puasa kita sebagian besar menjadi urusan phisik, bukan rohani, bukan mengambil hikmat dari bulan suci itu. Saya senang di Bali tak ada lokalisasi pelacur…”

“Tapi Romo,” saya langsung menyela agar pujian itu tak berlebihan. “Memang di Bali tak ada lokalisasi pelacur karena itu simbol membiarkan perzinahan yang dilarang agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Bali. Tapi siapa yang berani mengatakan hotel-hotel di Bali bebas dari kemaksiatan?”

“Tunggu dulu,” Romo yang kini memotong saya. “Justru itu penting, memberangus simbol kemaksiatan. Bahwa kemaksiatan masih ada, itu urusan polisi dan pemuka agama yang terus menerus memberi khotbah yang menunjukkan bahwa itu maksiat. Jakarta dulu punya Kramat Tunggak, lokalisasi pelacur paling terkenal, sekarang menjadi Islamic Centre. Perubahan yang dasyat dan ini membuat citra baik. Bahwa masih ada yang tak baik, itu yang kita perangi. “

Adzan magrib bergema. “Mari kita buka,” kata Romo. “Dan besok, Insya Allah, kita berpuasa secara rohani agar nurani kita lebih berpihak pada kaum papa dan perang terhadap kemaksiatan kita lakukan berkesinambungan, ada Ramadhan atau pun tidak.”

Berita Dari Pasraman Manikgeni

Pasraman Dharmasastra Manikgeni yang juga lebih popular dengan sebutan Ashram Manikgeni di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan memiliki Taman Baca dengan ribuan buku. Koleksi buku meliputi cerita anak-anak, cerita untuk remaja, sastra, filsafat, ekonomi, pengetahuan popular, otobiografi, dan tentu saja buku-buku agama dari berbagai lintas agama. Di sini misalnya terdapat kitab Bhagawadgita dengan 12 versi terjemahan, begitu pula buku tentang Weda lainnya. Filsafat dan agama Islam menduduki urutan kedua dalam daftar buku agama, menyusul Kristen, Katolik dan Buddha. Ashram Manikgeni mendapatkan buku itu dengan cara membeli, mendapat sumbangan dari donator dan dari berbagai kalangan.

Jika Anda ingin berpartisipasi untuk melengkapi Taman Baca ini guna mencerdaskan masyarakat pedesaan bisa mengirimkan buku itu langsung ke alamat Ashram Manikgeni, atau Anda bisa mengirimkan dana punia berupa uang dengan cara mentransfer ke rekening BCA No. 049 0379 690 a.n. Putu Setia. Yayasan Dharmasastra Manikgeni akan mengelola dan mempertanggungjawabkan dana itu sebaik-baiknya, untuk kepentingan umat, bangsa dan negara.

Berikut catatan buku yang kami terima pada bulan September 2010.

Dari Arti Foundation Denpasar
1. Bali Dalam Bahasa Politik karya I Nyoman Darma Putra
2. Anjing Bali dan Rabies karya Nyoman Sadra Dharmawan
3. Bali Hohoho kartun karya Gun Gun
4. Konspirasi Media Dengan Kandidat Pilkada karya Gusti Putu Artha
5. Penari Sanghyang kumpulan cerpen karya Mas Ruscitadewi
6. Nalar Rupa Perupa karya Wayan Kun Adnyana
7. Berguru dalam Jejak Sastra karya I Nyoman Tingkat
8. Biaya Upacara Manusia Bali karya Made Sukarsa

Dari Gde Aryantha Soetama, Denpasar
1. Tak Jadi Mati kumpulan cerpen karya Gde Aryantha Soethama
2. Basa Basi Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
3. Dari Bule Jadi Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
4. Daerah Baru kumpulan cerita karya Gde Aryantha Soethama
5. Bali is Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
6. Senja di Candi Dasa novel karya Gde Aryantha Soethama
7. Bali Tikam Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
8. Mandi Api kumpulan cerpen karya Gde Aryantha Soethama
9. Pergolakan Pemikiran Menuju Amandemen UUD 1945 karya I Dewa Gede Palguna
10. Kemiskinan dan Pemiskinan Bali karya bersama Forum Komunikasi Alumni GMNI Bali


Dari Brigjen Pol. (Purn) N. Nadha, Yogyakarta
1. Pencerahan dalam Perjalanan karya Gede Prama
2. The Secret Rahasia karya Rhonda Byme
3. Kisah Tentang Seekor Sapi yang Jujur karya Necy Tanudibya
4. Konsolidasi Perbankan Nasional karya Krisna Wijaya dan Djoko Retnadi
5. 88 Kisah Bijaksana dari Negeri Naga karya Chen Wei An
6. Bertambah Bijak Setiap Hari: 5 Matahari karya Budi S. Tanuwibowo
7. Fight Like A Tiger Win Like A Champion karya Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadi

Dari Letjen (Purn) I Putu Soekreta Soeranta, Jakarta
1. Memaknai Hidup, Renungan Rasa Eyukur karya I Putu Soekreta Soeranta
2. Gaya Hidup Sehat karya Prof. Hung Zhao Guang

Dari Djohan Efendi, Jakarta
1. Sang Pelintas Batas biografi Djohan Efendi karya Ahmad Gaus AF
2. 70 Tahun Djohan Efendi karya bersama tokoh lintas agama.

Dari Ngurah Agung, Denpasar
1. Di Kaki Padma Sang Guru Sejati penyunting Adji Mudhita

Dari Majalah Tempo, Jakarta
1. Cari Angin kumpulan tulisan karya Putu Setia
2. 9 dari Nadira novel karya Leila S. Chudori
3. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku karya Semuel Waileruny
4. Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia
5. Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman
6. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil
7. Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan

Senin, 15 Maret 2010

Nyepi: Pengendalian Diri dari Dalam

Oleh: Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Esok, umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Nyepi, tahun baru Saka 1932. Pemerintah sudah menetapkan Nyepi sebagai libur nasional. Namun, karena Nyepi jatuh di hari Selasa, maka sangat besar kemungkinannya hari ini pun sudah menjadi hari libur, entah dengan istilah “cuti bersama” atau istilah “harpitnas” alias “hari kejepit nasional”. Untuk itu, saya mengucapkan selamat bagi Anda yang tidak merayakan Nyepi, karena menikmati libur panjang sejak akhir pekan lalu, tanpa ada beban.


Bagi umat Hindu yang merayakan Nyepi, apakah perlu ucapan Selamat Hari Raya Nyepi? Saya cenderung menyetujui pendapat yang pernah dikatakan Bapak Kebek Sukarsa yang kini sudah tiada. Penyusun kalender yang berpikir modern ini merasa tak ada gunanya mengucapkan selamat hari raya Nyepi. Karena Nyepi melaksanakan empat pantangan (disebut catur brata penyepian) yang sungguh amat sulit dilaksanakan. Pantangan ini harus dilewati dengan perjuangan yang sangat berat, karena musuh yang dihadapi adalah nafsu yang ada di dalam diri. Yang perlu diucapkan selamat adalah mulainya kita memasuki tahun baru Saka. Jadi, kira-kira berbunyi: “Mari laksanakan brata penyepian dan Selamat Tahun Baru Saka 1932 bagi umat Hindu yang merayakannya”.

Yang menjadi masalah sekarang adalah Nyepi identik dengan Tahun Baru Saka, pada hari yang bersamaan. Di masa lalu, katakanlah sebelum era 1960-an, Nyepi dan Tahun Baru Saka berbeda. Nyepi diselenggarakan pada Tilem Kesanga, sedangkan Tahun Baru dimulai esoknya pada penanggal apisan (tanggal satu) sasih Kedasa. Adapun Tawur Kesanga (istilah itu sekarang lebih populer disebut pengerupukan) dilangsungkan pada pengelong 14 (sehari sebelum Tilem). Kenapa begitu? Pangelong 14 adalah hari tergelap selama sebulan, dan di sanalah Dewa Siwa melangsungkan semadinya. Ini disebut Siwa Ratri alias Malam Siwa. Adapun pengelong 14 pada Sasih Kepitu yang merupakan malam tergelap sepanjang tahun disebut Maha Siwa Ratri. Umat Hindu di Bali sering salah kaprah, Maha Siwa Ratri disebut Siwa Ratri, sedangkan Siwa Ratri itu sendiri (diluar Sasih Kepitu) dilewati begitu saja.

Baiklah, kita tinggalkan masalah yang rumit ini. Para penyusun kalender Bali kini sedang berupaya mendudukkan Hari Raya Nyepi pada porsinya yang pas. Apalagi pada tahun depan (2011) terjadi perbedaan yang mendasar soal penentuan Nyepi ini, apakah dalam tahun ini akan ada “nampi sasih” atau tidak. Umat akan dibuat bingung kalau tidak ada kesepakatan dalam masalah ini.

Kembali kepada pantangan Nyepi yang berat itu, apa permasalahannya? Pantangan itu (brata penyepian) terdiri dari amati karya (tidak bekerja), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan). Ini gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Disebut gampang, tinggal mematikan lampu, mengurung diri di dalam rumah, tidak menyetel televisi atau radio, sudah dianggap cukup untuk melaksanakan pantangan ini. Bahkan, bagi mereka yang suka berjudi, saat Nyepi dijadikan ajang untuk main judi domino atau kartu ceki. Yang suka makan, menikmati makanan mewah atau yang spesial, yang disiapkan sehari sebelumnya. Di beberapa desa, masih ada tradisi untuk datang ke kebun memasak makanan yang enak-enak, karena kebun bebas dari pantangan Nyepi, seolah-olah Nyepi hanya berlaku di wilayah pemukiman saja. Lagi pula ada alasan untuk menggampangkan hal ini, yakni: bukankah tidak ada pantangan makan?

Tentu hakekat brata penyepian bukan sampai di situ. Inti utama dari keempat pantangan itu adalah pengendalian diri. Mematikan api adalah mematikan nafsu buruk. Tidak bekerja adalah membiarkan pikiran hening agar kita bisa melakukan perenungan yang dalam, apa yang telah kita lakukan selama setahun, di mana yang salah, sehingga bisa kita jadikan pedoman untuk tahun yang akan datang. Semua kemewahan dan kegemaran yang biasa dilakukan sehari-hari harus dihilangkan dari pikiran, itulah hakekat tidak bepergian dan tidak mencari hiburan.

Bagaimana bisa melaksanakan pantangan Nyepi di saat kita dimanja oleh teknologi canggih ini? Itulah seninya. Beberapa tahun yang lalu, saat Nyepi di Bali, listrik dimatikan dari gardu induk. Orang pun protes, karena listrik bukan hanya alat penerangan, tetapi banyak peralatan elektronik yang perlu listrik, misalnya, kulkas, mesin air dan sebagainya. Akhirnya listrik tetap hidup dan pengendalian diri diserahkan ke masing-masing orang. Ya, televisi dinyalakan sembunyi-sembunyi, bukankah televisi nasional tetap siaran?

Hiburan yang tak mungkin bisa “disensor” oleh pacalang yang menjaga wilayah desa adat adalah telepon selular. Entah itu bermain pesan pendek antar teman, atau bermain games. Betapa pun angkernya pecalang di jalanan, orang masih leluasa menikmati hiburan ini.

Orang yang menjalankan pantangan Nyepi dan merayakan tahun baru Saka dengan baik adalah mereka yang bisa melakukan brata penyepian tanpa ada paksaan dari pihak luar, juga tanpa ada pengawasan dari orang lain. Pengendalian diri harus muncul dari dalam diri sendiri, bukan karena adanya pecalang, bukan karena takut didenda, bukan pula karena keadaan memaksa. Jika sudah sampai dalam tahap seperti itu, hingar bingar di luar tidak lagi menjadi masalah. Itu sebabnya, beberapa anak muda yang menekuni spiritual, lebih senang merayakan Nyepi di luar Bali, karena jika tantangan makin besar dan lulus menghadapi tantangan itu, rasa nikmat lebih dalam diperoleh.

Namun, apa sesungguhnya yang dicari dengan pengendalian diri yang kuat itu? Tak lain adalah perenungan tentang perjalanan hidup di tahun yang lewat untuk melakukan perbaikan di tahun baru. Nyepi membawa kita ke titik nol kembali, atau inilah saatnya jeda dalam siklus kehidupan. Saat ini kita melakukan introspeksi. Jika tahun lalu kita suka curang, emosional, selalu berjanji tanpa bukti, korupsi besar atau kecil, berbuat baiklah di tahun depan. Jika kita tak pernah melakukan perbaikan, tak ada gunanya hari raya Nyepi. Mari kendalikan diri, renungi kehidupan yang lalu, untuk hari esok yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Saka 1932.

Minggu, 28 Februari 2010

"Lawar Century"

Putu Setia

(Ini Cari Angin versi awal sebelum saya perpendek untuk Koran Tempo Minggu 28 Februari 2010)

Ngobrol tentang kasus Bank Century dengan orang desa, asyik juga. Kepolosan mereka dalam berpikir dan mungkin wawasan serta pengetahuan mereka yang pas-pasan mengenai masalah perbankan, apalagi perekonomian – baik makro maupun mikro – membuat saya makin bernafsu mendengarkannya. Mula-mula ini selingan yang menarik setelah setiap saat dijejali ocehan para (yang mengaku) pakar ekonomi dan pengamat dalam tayangan televisi. Lama-lama bukan lagi selingan, karena saya mulai muak dengan ocehan di televise itu, apalagi dengan penyiar yang tidak melaksanakan fungsi sebagai “penggali berita” namun lebih sebagai “provokator”. Clik, televisi di off-kan.


Tentu orang desa yang saya maksudkan tidaklah ndeso amat, bukan orang yang buta huruf apalagi buta mata. Ada yang jadi saudagar sapi. Ada yang makelar mobil bekas, dan ada yang propfesinya – ini trend menarik dan bermunculan di pedesaan – menerima gadaian telepon seluler. Yang menarik, mereka berurusan dengan bank, minimal punya tabungan – jauh sebelum Presiden SBY mencanangkan gerakan “Mari Menabung”. Suara-suara mereka tak mungkin masuk televisi, karena suara mereka “sudah dianggap terwakili” oleh segelintir orang di kota yang teriak-teriak di jalanan. Ini klim yang sudah salah kaprah berkepanjangan. Jadinya, benar atau salah pendapat mereka, tentu tak sempat diuji, apalagi kebenaran saat ini sudah dimonopoli oleh beberapa orang politikus, yang ternyata juga mengatasnamakan rakyat.

Apa saja pendapat mereka tentang kemelut Bank Century ini? Misalnya tentang Sri Mulyani Indrawati – sungguh-sungguh mereka hafal nama lengkap Menteri Keuangan ini. Sebagai pejabat Negara yang bertanggungjawab mengenai kestabilan ekonomi nasional, Ibu Sri (saya singkat karena saya sendiri sering lupa nama panjangnya) dengan cepat memutuskan mem-bailout Bank Century agar tidak merembet ke bank lain dan mengakibatkan krisis lebih dalam. Pengalaman 1998 menjadi guru yang baik karena kekurang-cermatan penanganannya.

Salah atau benarkah Ibu Sri? “Gampang sekali, lihat saja setelah 2008 itu, ada krisis atau tidak? Tak ada krisis, jadi tindakannya benar, kok repot sekali,” kata juragan sapi. Bahwa ada aliran uang yang menetes ke sana atau ke sini, itu bukan urusan Ibu Sri, silakan diusut dan diproses sesuai hukum. Masak Ibu Sri harus nongkrongi kasir bank?

Tentang uang 6,7 trilyun itu apakah membuat negara rugi? Ini uang hasil iuran bank yang memang dipergunakan untuk saat krisis yang disimpan Lembaga Penjamin Simpanan. Memang sudah keluar uangnya, tapi kan bisa kembali kalau nanti Bank Muatiara yang jadi siluman Century sudah baik dan bisa dijual ke investor. “Nyatanya Bank Mutiara jalan bagus, saya baru menabung di sana, kantornya di Denpasar malah makin besar di daerah elite,” kata makelar mobil bekas. Tapi ia buru-buru menambahkan, aliran dana yang tak beres – kalau nyatanya ada – tetap diusut, dan tentu ada penanggung-jawabnya.

Yang menarik dalam obrolan ini adalah pendapat mereka tentang Pansus Angket Century. Kesimpulan Pansus – baik sementara maupun akhir – hanya membuang-buang duit 2,5 milyar, anggaran yang dipakai Pansus. Lo, kok begitu? “Semua fraksi bilang, hasil Pansus Century perlu ditindak-lanjuti ke jalur hukum. Kalau hasilnya begitu, ngapain pakai hak angket, dari dulu saja serahkan ke aparat hukum,” kata rentenir telepon seluler.

Jadi apa dong hasil kerja Pansus? Kata mereka, anggota Pansus hanya bermimpi menaikkan citra partai. Partai Golkar paling ge-er, seolah berhasil menjadikan “panas 32 tahun dihapuskan oleh hujan dua bulan”, padahal rakyat belum tentu mudah “lupa”. Partai lainnya – yang kalah Pemilu lalu – merasa sudah mengungkap “kebenaran yang sejati”, seolah partai lainnya “menutupi kebenaran”. Padahal kebenaran tak bisa dimonopoli dan kebenaran berkaitan dengan siapa pemberi informasi yang dianggap benar itu. Apakah kalangan perbankan dan pengusaha didengar oleh Pansus untuk menentukan kebenaran itu?

Ada pula partai yang menjadi Partai Konsisten Selalu, tak henti-hentinya berteriak konsisten dalam menyikapi hasil angket dengan menyebut berbagai penyimpangan, ada bukti kuat atau tidak, bukan masalah. Partai ini sejatinya hanya konsisten menempatkan menterinya di pemerintahan dan tak mau menariknya, sementara juga konsisten menyerang kebijaksanaan pemerintah padahal ia berkoalisi. Jadi bis a pula disebut Partai Koalisi Semu atau Partai Koalisi Semau gue.

Kalau begitu, kerja Pansus ini ibarat apa? “Membuat lawar capung,” kata mereka. Wah, ini kiasan khas Bali tulen, lawar itu masakan yang bumbunya banyak sekali, padahal bahan pokoknya hanya capung, serangga kecil. Masalah kecil yang bumbu riuhnya terlalu banyak, pakai nyanyi-nyanyi segala tatkala puluhan buruh teh di Jawa Barat tertimbun lumpur. Amit-amit.

27 Februari 2010


Jumat, 19 Februari 2010

Ogoh-Ogoh

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Hari Raya Nyepi sudah datang. Hari yang ditunggu-tunggu. Tapi kebanyakan orang Bali, apalagi kaum mudanya, bukannya menunggu saat melangsungkan brata penyepian – amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelangunan – tetapi menunggu pawai ogoh-ogoh. Pesta ogoh-ogoh ini lebih penting ketimbang Nyepi itu sendiri. Jadi, yang ditunggu-tunggu sebenarnya bukan Nyepi tetapi pengerupukan alias sehari sebelum Nyepi. Itulah hari yang sering disebut sebagai Tawur Kesanga.


Tawur Kesanga ini adalah ritual untuk bhuta yadnya, kalau tingkatan rendah disebut caru, kalau tingkatan paling tinggi disebut tawur. Untuk gampang dihayati, inilah saatnya para bhuta diubah wujudnya menjadi dewa agar tidak mengganggu bumi sebelum umat Hindu melaksanakan brata penyepian. Mengubah wujud bhuta menjadi dewa ini dalam istilah agamanya: somya.

Agaknya istilah itu tak berarti bagi kaum remaja Hindu. Yang jelas, kawula muda di Bali merasakan hari ini hari yang tak bisa dilewatkan. Itu saatnya mereka menumpahkan kreasinya dalam acara mengarak ogoh-ogoh. Nyepi tanpa ogoh-ogoh sama dengan makan tanpa kerupuk, tak ada renyahnya meski kerupuk tidak membuat kenyang.

Namun di Bali, banyak yang salah kaprah memanfaatkan fungsi ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh dijadikan barang seni dan diarak sebagai sebuah bentuk kesenian dan menjadi dunia tontonan. Di luar Bali, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar, anak-anak muda membuat ogoh-ogoh untuk kepentingan ritual. Ogoh-ogoh tak diarak, hanya untuk natab caru saja. Ketika tawur kesanga sudah selesai, bhuta sudah somya menjadi dewa, kenapa simbol bhuta diusung-usung lagi? Kenapa harus diarak ke jalanan? Ini kan sama saja dengan menghidupkan bhuta kembali, bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian. Karena itu umat Hindu di luar Bali sering mengejek umat Hindu di Bali dengan menyebutkan: “Pantas saja selama ini bayak umat Hindu di Bali yang Nyepi sambil meceki dan main domino, karena bhuta masih gentayangan.”

Para remaja Hindu di luar Bali mengikuti upacara tawur dengan khikmad. Ketika Sulinggih muput tawur, mereka membunyikan musik keras dengan berbagai kreasi. Bisa gamelan baleganjur, bisa musik kentongan dari bambu (mirip tektekan di Tabanan) atau berbagai variasi lainnya. Saat itulah ogoh-ogoh sebagai symbol bhuta disuruh “makan caru”, selanjutnya dianggap sudah somya menjadi dewa. Jadi, ogoh-ogoh sudah dianggap tak ada lagi, lalu dipreteli di tempat.

Fenomena belakangan ini berkembang lagi ogoh-ogoh yang semakin jauh dari dunia ritual. Yakni, ogoh-ogoh kemasukan dunia bisnis dan membawa pesan sponsor. Kalau pun tidak ikut dimasuki virus bisnis, ogoh-ogoh jadi symbol untuk mengungkapkan perasaan. Bisa perasaan perorangan, bisa pula perasaan kelompok, maklum ogoh-ogoh dibuat oleh kelompok.

Misalnya, ada ogoh-ogoh yang menggambarkan perempuan berbadan sintal lagi merangkak dengan rok mini. Apa kaitannya dengan bhuta yadnya? Tapi, kalau kita tanya kaitannya, tentu saja ada jawabannya. Misalnya disebutkan, dunia ini sudah dikuasai oleh wanita-wanita binal yang merusak moral masyarakat khususnya anak-anak muda. Ini adalah bentuk bhuta yang baru, yang harus pula dibasmi atau disomya.

Ada ogoh-ogoh yang melambangkan pemuda bertubuh kurus sedang memegang botol minuman. Mudah ditebak, apa yang mau disampaikan oleh ogoh-ogoh itu. Yakni, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap dampak minuman keras yang menyebabkan mabuk. Jadi, pemuda kurus pemabuk itu pun menjadi bhuta versi baru. Ada pula ogoh-ogoh \Anoman yang menunggang sepeda motor, ini jelas ada iklan sponsornya. Tapi orang bisa berdalih: sepeda motor yang terus bertambah di Bali dan memacetkan jalan adalah juga bentuk bhuta versi baru. Pertanyaannya adalah, apakah pesan “bhuta versi modern” itu sampai dicerna dan tak tenggelam dalam bentuk phisiknya?

Salahkah jika masyarakat Bali mengarak ogoh-ogoh dengan berbagai simbol untuk mengungkapkan perasaan atau fenomena yang ada dalam masyarakat? Ada yang salah dan ada yang tidak. Tidak salah karena uneg-uneg masyarakat bisa dicetuskan bersama dalam suasana pesta. Itu yang menjelaskan kenapa membuat ogoh-ogoh dengan biaya mahal mudah mendapatkan dana.

Yang salah adalah simbul bhuta dalam ogoh-ogoh itu harus jelas sesuai dengan sastra Hindu. Parisada pernah memberikan rincian tentang ini, apa saja ciri-ciri symbol bhuta. Salah satunya adalah symbol yang mempunyai sifat keraksasaan. Kalau ogoh-ogoh berbentuk Arjuna atau Krisna atau Anoman tentu tak dianjurkan, karena jauh dari sifat keraksasaan.

Kesalahan utama tentu saja karena ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam pecaruan atau tawur. Semestinya, ogoh-ogoh yang melambangkan bhutakala ini bagian inti dari ritual karena fungsinya untuk natab caru. Yang kita lihat di Bali, ogoh-ogohnya di arak di tempat lain, pelaksanaan tawur di tempat lain lagi. Jika pun berdekatan, ogoh-ogoh tidak diusung ke tempat banten tawur digelar.

Apa yang bisa dipetik dari kesalahan dalam menyikapi ogoh-ogoh Nyepi ini? Perlu dikembangkan adanya ogoh-ogoh nonritual atau ogoh-ogoh profan sebagai bentuk kesenian yang seratus persen tontonan. Hal ini sudah pernah dirintis oleh pemerintah kota Denpasar dengan menyelenggarakan pesta ogoh-ogoh non-ritual. Pesta ini diselenggarakan untuk menyambut HUT Kota Denpasar. Namun, pesta yang berlangsung di bulan Februari itu tetap saja tak mengurangi salah kaprah ogoh-ogoh ritual di saat Nyepi. Mungkin perlu waktu untuk “mengajarkan” umat Hindu di Bali, yang mana sakral yang mana profan.

Ide Walikota Denpasar untuk membuat karnaval ogoh-ogoh nonritual pada HUT Kota Denpasar sebenarnya patut disambut gembira. Banyak kota di dunia yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali, dan pada akhirnya masyarakat yang membuat ogoh-ogoh mendapatkan subsidi.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, beban masyarakat bertambah. Apalagi kalau ogoh-ogoh ritual tetap tak bisa dikontrol, maka penduduk Denpasar akan dua kali membuat ogoh-ogoh dalam setahun. Bayangkan, berapa juta uang yang habis untuk hura-hura seperti ini, padahal umat Hindu, menurut sensus BPS, adalah umat yang paling terbelakang dalam SDM. Bukankah lebih baik membangun sekolah, pasraman, atau membeli buku agama dibandingkan membuat ogoh-ogoh?


Minggu, 07 Februari 2010

Gerakan Perubahan

Putu Setia

(Ini adalah Cari Angin versi panjang -- sebelum diperpendek untuk konsumsi Koran Tempo Minggu)

Saya bergegas menemui Romo Imam, guru spiritual saya, yang kebetulan sedang berada di padepokannya di lereng Gunung Lawu, di atas bukit teh Desa Kemoning. Saya mau minta restu – bukan minta izin – karena ingin bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Sudah terang benderang saya jelaskan organisasi yang dideklarasikan oleh Surya Paloh dan Sultan HB X itu, namun Romo masih juga termangu.

“Tak ada tokoh lain yang diikuti, yang lebih segar, misalnya? Ini masih stock lama,” komentar Romo, biasalah, sedikit sinis tetapi sebenarnya beliau orang yang tulus.
“Belum muncul tokoh baru Romo, semua masih stock lama. Ada sih calon-calonnya, tapi masih belajar di Taman Kanak-Kanak Senayan, masih cengengesan dan genit. Entah kalau tamat dari sana mereka mau berubah,” jawab saya. “Pak Surya dan Pak Sultan kan jaminan Romo.”

“Tapi nama ormasnya kok ya pakai demokrat, seperti sengaja mau membingungkan masyarakat. Kalau berani kenapa tak sekalian saja memakai nama Golkar Perjuangan atau Golkar Sejahtra atau Golkar Pembaruan. Kedua tokoh itu kan lantaran tersingkir dari Golkar, ini dampak sistemik dari kongres partai kan?”

“Ah, Romo jangan sinis dong,” saya menyela. “Romo kan pernah bilang, semua organisasi politik yang menyempal dari induknya pasti tak laku, karena pendirinya hanya punya target kekuasaan, bukan target pengabdian. Mungkin Tuhan tak meridhoi. Kalau banteng perjuangan itu lain, dia bukan menyempal, tetapi induknya yang menyempal ke penguasa saat itu. Please Romo, beri restu saya, siapa tahu niat Pak Surya kali ini bagus.”

Romo kelihatan mulai lunak dengan sikap saya yang memelas. “Apa yang kau suka dari ormas itu, namanya atau tokohnya?”

“Bukan keduanya. Yang saya suka adalah slogan yang diusungnya: gerakan perubahan. Ini penting sekali Romo, negeri ini membutuhkan perubahan yang mendasar, perubahan yang fundamental sebelum menjadi negeri yang amburadul. Boleh saya sedikit merinci apa perubahan yang dilakukan?” Karena Romo mengangguk, saya pun bersemangat.

Dasar negara saja sudah diselewengkan. Sila pertama Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekarang yang dijalankan “kekuasaan yang maha esa” kemudian “keuangan yang maha kuasa”. Orientasi tokoh hanya satu, merebut kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan dipakailah uang. Apa pun bisa dibeli. Mau demontran dua puluh ribu, bisa dibayar. Mau mendatangkan kerbau, bisa. Mereka tak sabar mengikuti konstitusi, karena memang jika pakai aturan konstitusi, tokoh-tokoh itu sudah nyata kalah. Mereka mengembangkan opini lewat klim-mengklim, seolah-olah gerakan yang sepuluh dua puluh ribu itu mewakili ratusan juta masyarakat. Padahal, harga kursi untuk wakil rakyat yang paling rendah saja di kabupaten sampai tiga puluh ribu. Harus ada gerakan untuk mengubah jalan pikiran orang-orang ini.

Sila kedua Pancasila diselewengkan menjadi “Kemanusiaan yang batil dan biadab”. Kekerasan yang terorganisir menjadi mode di berbagai kota. Mahasiswa membakar dan merusak fasilitas umum hanya atas nama menyalurkan ide. Kalau mahasiswa sudah begini, bagaimana mau menyalahkan bonek Persebaya yang merampas pedagang kecil, karena mereka sekolah menengah pun tak tamat. Anak sekolah dasar di Makasar tawuran di jalan, jelas mereka meniru kakaknya yang mahasiswa.

Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia diselewengkan menjadi “perseteruan Indonesia”. Dimana-mana diajarkan perseteruan. Debat yang ada bukan perdebatan ide, tetapi perdebatan otot dan caci maki. Anggota DPR saling caci maki dengan kata-kata kotor – tapi ruang kerjanya semakin sejuk dan ditambah komputer baru yang harganya perlu diaudit . Ini ditonton jutaan orang, bagaimana orang desa mau menghormati politikusnya?

Siapa yang mengingatkan hal ini? Tak ada. Padahal harus ada yang mengatakan bahwa kebiadaban ini segera diubah menjadi lebih beradab. Itu pentingnya gerakan perubahan yang menyeluruh dari elemen bangsa. Sekarang jangankan ada yang mengatakan itu biadab, yang melarang dan memberi sanksi saja tak ada, padahal jika pelaku anarkis itu mahasiswa kan ada dosen dan aparat kampus. Jika itu bonek, kan ada kordinatornya atau wakil klub sepakbolanya. Sekarang yang ada “gerakan pembiaran” padahal ini sudah nyata-nyata merusak akhlak bangsa. Aneh, pemuka agama juga diam.

“Romo, waktu saya habis, nanti saya lanjutkan. Kalau sampai di sini, apakah restu Romo bisa saya dapatkan agar saya ikut dalam gerakan perubahan itu?”

Romo berpikir sejenak: “Saya belum dapat diyakinkan. Ada yang sudah membuat Pondok Perubahan di kawasan Jakarta Selatan dan banyak sekali slogan perubahan lainnya. Tapi target mereka tetap hanya menggulingkan kekuasaan, siapa pun yang sedang berkuasa. Hanya sesempit itu yang dia maksudkan perubahan, bukan perubahan sikap, mental, perilaku, budaya ….”

“Jadi, bagaimana Romo?” saya tak sabar.

Romo menjawab sambil berjalan: “Tunggu beberapa saat, apa Pak Surya dan Kanjeng Sultan betul-betul berubah atau tidak. Jangan-jangan keduanya mengulang lagu lama tokoh lain, maklum mereka dalam satu generasi.”

(Cari Angin versi pendek dimuat Koran Tempo Minggu 7 Februari 2010)


Jumat, 08 Januari 2010

"Pis Bolong"

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi sudah lama di Jawa menjadi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen, asli Jawa. Keduanya sama-sama membawa teman, namun teman-temannya tak banyak berkomentar.

“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.


Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.

“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.

“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”

Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”

Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah pis bolong, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.

Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada pis bolong atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.

Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?

Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.

Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.

Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.

Sekarang, sudah ada umat kita di Klungkung yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.

Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai pis bolong. Demikian sebaliknya, kalau untuk sarana kuangen, jangan pakai uang kertas karena kertas tak ada unsur logamnya, apalagi yang komplit sebagai unsur panca datu. ***

(Ini versi yang sedikit diperbarui dari artikel sebelumnya: "Uang Kepeng....")

Lilin Gus Dur

Oleh Putu Setia

(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Januari 2010)

Ada lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk mendoakan kepulangan Gus Dur – sapaan akrab Abdurrahman Wahid – ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: “Kamu beragama apa ya?”

Di pemakaman keluarga di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang-orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur, karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.

Di wihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sementara umat Hindu di Bali – untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen -- menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.

Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di “dunia maya kiasan” alias internet. Ajaib karena ia tak takut untuk melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dus –baik yang bersaksi di televisi maupun tidak – tetapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.

Bapak pluralisme telah tiada. “Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya,” kata Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. “Raja Yogya” ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tetapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan..Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Budha, Khong Hu Cu, Hindu dan entah siapa lagi, akan merasa was-was sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhineka Tunggal Ika ini.

Saya tahu banyak sekali tokoh – ulama, pengusaha, pejabat, budayawan – yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku dan sebagainya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele jumbo di pesantrennya, saya pun sempat “berkenalan” dengan Islam beberapa hari di sana.

Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur – saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk Majalah Tempo – secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.

Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan “Bapak Pluralis”? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil – maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya, tapi “label agamanya kurang” lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar dan sebagainya.

Atau biarkan predikat “bapak pluralis” itu hanya melekat pada Gus Dur – karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meski pun tanpa “bapak”.


Damai

Oleh Putu Setia

(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Desember 2009)

Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap – entah ada pelurunya atau hampa—berdiri tegak dengan wajah garang.


Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal – entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio.

Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang budayawan, yang – agak relevan disebut –seorang Muslim.

Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana.
Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.

Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah “dicegah oleh Tuhan”.

Saya setuju persembahyangan jangan dijaga polisi, apalagi sampai memakai alat dedektor logam di pintu masuk pura. Kalau pun ada polisi yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu: kalau itu sampai terjadi – sembahyang dijaga polisi – akan menjadi trauma berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom apa tidak ya?

Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi siap menjaga gereja. Pecalang – aparat keamanan milik adat di Bali – juga diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai “menebar ketakutan”, seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal ingin mengacaukan misa Natal.

Pada akhirnya, perlu tidaknya penjagaan – tidak bisakah menjaga keamanan dengan diam-diam -- tentu umat Kristiani yang paling tahu jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja pernah dirusak -- menjelang atau sesudah Natal-- tapi apa itu sepanjang tahun?

Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin Indonesia yang damai -- seperti dulu.