Senin, 25 Oktober 2010

Pahlawan

Putu Setia/Mpu Jaya Prema Ananda

Awalnya adalah saya hanya bercanda di hadapan Romo Imam. Saya meminta komentar Romo, apakah saya – kalau nanti telah tiada – layak disebut pahlawan. Ternyata Romo Imam menjawab dengan serius. “Kamu pahlawan, karena salah satu yang medobrak tradisi masyarakat Bali masa lalu yang masih berkutat dengan kasta dengan mengembalikan pada ajaran Hindu. Satu contoh saja, sudah ada ratusan pendeta Hindu yang di masa lalu tak mungkin jadi pendeta karena dianggap berkasta Sudra. Gerakanmu lewat tulisan, buku dan ceramah pantas diganjar pahlawan, pahlawan back to Weda, sebagaimana yang banyak dikatakan orang….”

“Stop… jangan teruskan,” saya mengharap sampai –sampai memeluk Romo. “Ini masalah pribadi, sangat lokal, Romo. Saya malu. Lagi pula banyak yang anti dengan gerakan saya itu.”

Romo melepaskan pelukan saya. “Sekarang ini gelar pahlawan itu sangat lokal. Paro dan kontra pun tak terhindarkan. Gelar yang sudah dilembagakan pemerintah saat ini sudah salah kaprah. Apalagi yang mengusulkan seseorang mendapat gelar pahlawan itu bermula dari daerah. Akibatnya, pemerintah daerah mencari-cari orang yang harus dipahlawankan, kalau tidak ada gengsinya berkurang. Bagi Romo, gelar pahlawan itu seharusnya sudah ditutup setelah kemerdekaan. Jadi, pahlawan itu adalah mereka yang gugur di medan juang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”

Kami duduk, tapi Romo masih bersemangat. “Awal-awalnya sudah benar, kriteria pahlawan seperti itu, berjuang atas nama kemerdekaan, lalu dicari sebuah hari yang bisa diperingati, ketemu tanggal 10 November, pertempuran di Surabaya. Setelah itu orang-orang yang berjasa di republik ini yang dianggap setara dengan pahlawan diberi julukan pahlawan dengan embel-embel, misalnya, pahlawan proklamasi yang diterima oleh Soekarno dan Hatta, dan pahlawan revolusi yang diterima oleh para jenderal yang terbunuh saat Gerakan 30 September 1965. Tiba-tiba kemudian, dua marinir, dulu disebut KKO, mati digantung di Malaysia, dan kita mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Mungkin sulit menyebut pahlawan apa, atau emosi kita waktu itu menggebu bahwa keduanya harus jadi pahlawan, ya, hanya disebut pahlawan saja, tanpa embel-embel.

“Nah,” Romo melanjutkan, “ketika lembaga yang memberi gelar tanda jasa diformalkan di negeri ini di masa orde baru, setiap tahun lalu muncul pahlawan baru. Di sinilah terjadi kerancuan, pahlawan apa? Ya, disebut pahlawan saja. Bermunculan pahlawan di daerah. Uniknya, kalau itu tokoh lokal, justru tak ada perdebatan, karena plus minus tokoh itu tak diketahui, ya, orang cuek. Tetapi begitu tokohnya dikenal di daerah lain dan merupakan tokoh nasional, polemic justru ramai. Ya, tentu saja, karena penilaian itu sebenarnya sangat subyektif.”

Romo bertanya pada saya: “Soeharto apa layak jadi pahlawan? Gus Dur dan Ali Sadikin, apa layak?” Saya menjawab: “Karena saya berprinsip mikul dhuwur mendhem jero semuanya layak. Apalagi pahlawan itu orangnya harus mati dulu, membicarakan kejelekan orang mati pantang bagi saya. Hanya kebaikan yang harus saya umbar, kejelekannya saya kenang sebagai pelajaran.”

“Bagus,” kata Romo. “Tapi, karena gelar ini dikukuhkan secara nasional dan pahlawan dianggap orang yang layak jadi panutan, pro kontra muncul. Soeharto berjasa membangun, ribuan sekolah dan puskesmas dibangun di desa, luar biasa pembangunan itu sampai diberi julukan Bapak Pembangunan. Tapi orang bertanya, apa pantas Pak Harto yang gampang menangkap orang, yang membredel pers, jadi pahlawan? Ali Sadikin berjasa membangun Jakarta. Orang bertanya, apakah orang yang setuju judi, yang nyata-nyata melanggar agama dan haram, layak jadi pahlawan? Gus Dur pemikirannya luar biasa, pejuang pluralisme. Orang bertanya, menjadi presiden saja harus diberhentikan di tengah jalan, apakah itu teladan yang baik?”

Romo berhenti dan saya merenung. Saya pikir ada baiknya kepahlawanan seseorang itu tidak diformalkan oleh negara setelah kemerdekaan dicapai. Apalagi, tokoh-tokoh yang berjasa itu sebenarnya “tak sudi” dimakamkan di Taman Pahlawan, mereka memilih makam pribadi. Biarlah sebutan pahlawan itu bersifat local atau hanya sekedar predikat untuk menunjukkan orang itu berjasa tanpa harus ada pengakuan negara. Seperti kaum guru menyebut diri “pahlawan tanpa tanda jasa”, TKI disebut “pahlawan devisa”, Rudy Hartono pahlawan bulutangkis.

“Sebenarnya sudah cukup orang berjasa pada negara ini diberi bintang saja, lagi pula bintang jasa itu tingkatannya sudah begitu banyak. Atau gelar pahlawan dihapuskan diganti dengan piagam-piagam, misalnya Piagam Kalpataru untuk pahlawan lingkungan,” kata Romo sambil masuk ke kamarnya. Saya setuju dan saya mengajak semua orang untuk menjadi pahlawan, minimal, “pahlawan keluarga”.

(Materi tulisan ini dimut Koran Tempo Minggu 24 Oktober 2010, namun yang ini versi panjangnya, sebelum disesuaikan dengan ruangan di Koran).

1 komentar:

  1. Semua kita pahlawan, minimal pahlawan terhadap diri sendiri. saya terkagum akan tulisan Mpu. membuka pandangan yang samar akan polemik yang terjadi.

    salam

    azwar khalid

    BalasHapus