Putu Setia |
@mpujayaprema
Tanpa menunggu
keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang siapa calon presiden yang memenangi
pemilihan yang lalu, Joko Widodo langsung terbang ke Kalimantan Timur. Calon
presiden petahana ini tak sabar untuk melihat calon lokasi ibu kota negara yang
baru.
Jokowi langsung menuju
Bukit Suharto di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sore itu pula rombongan terbang
ke Kalimantan Tengah, menginap semalam di Palangkaraya, esoknya menuju Gunung
Mas. Ibu kota negara membutuhkan 40 ribu hektar lahan dan di kedua calon yang dikunjungi
itu luas lahannya masing-masing 80 ribu hektar. Lebih dari cukup.
Jokowi serius
memindahkan ibu kota dari Jakarta. “Sejak tiga tahun yang lalu sebetulnya ini
telah kita bahas internal. Kemudian 1,5 tahun yang lalu kami minta Bappenas
untuk melakukan kajian yang lebih detail baik dari sisi ekonomi, sosial
politik, dan juga dari sisi lingkungan," ujar Presiden. Ini seolah menepis
tudingan bahwa isu pemindahan ibu kota hanya gara-gara Jakarta sedang banjir.
Jakarta kebanjiran
memang jadi salah satu alasan untuk memindahkan ibu kota. Alasan lain daya
dukungnya yang sudah tak memadai lagi. Itu terlihat dari kemacetan yang semakin
parah. Kenapa tak dipindah dekat-dekat saja? Kalau masih di Pulau Jawa, Jokowi
nampaknya enggan. Penduduk di Jawa, kata Jokowi, 57 persen dari total penduduk
Indonesia.
Membangun ibu kota tentu tak mudah. Bukan sekadar membangun
istana tempat presiden berkantor dan menetap, tetapi harus membangun
kantor-kantor kementrian. Tentu aneh kalau menteri masih di Jakarta, lalu rapat
kabinet harus menunggu menterinya yang ketinggalan pesawat. Menteri harus ada
di ibu kota yang baru, termasuk staf dan tentu semua karyawan. Juga bersama
keluarga mereka. Bayangkan berapa kantor kementrian harus dibangun, berapa
rumah harus disiapkan, sekolah, tempat ibadah, tentu pula mall yang ada bioskop
moderennya. Kalau ibu kota dengan suasana hutan mana betah mereka.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan, semua lembaga eksekutif, yudikatif, dan
legislatif harus pindah. DPR dan Mahkamah Agung juga harus pindah. “Lembaga itu
selalu dikatakan letaknya di ibu kota negara," kata Wapres.
Kalla memprediksi ada
1,5 juta lebih orang masuk ke ibu kota di Kalimantan itu, entah Kalimantan
sebelah mana karena belum diputuskan. Ratusan ribu rumah untuk aparat sipil
negara harus disediakan dan ini bukan sekadar rumah sederhana 36 meter persegi.
Perumahan untuk wakil-wakil rakyat, baik parlemen mau pun senator, bersama staf
ahlinya, sudah jelas lebih dari seribu unit. Karena itu Jusuf Kalla memprediksi
ibu kota ini baru berfungsi 10 atau 20 tahun lagi sejak diputuskan untuk
dibangun. Jokowi jelas tidak menikmati istana baru di ibu kota negara sebagai
presiden. Butuh dua presiden setelah Jokowi untuk melanjutkan ibu kota baru ini.
Pertanyaan besarnya, bagaimana kalau presiden pengganti Jokowi berubah
pendapat, urung memindahkan ibu kota ke Kalimantan? Kita punya banyak
pengalaman bagaimana pemimpin pengganti tidak melanjutkan proyek pemimpin
sebelumnya. Sebut saja pembangunan pusat olahraga terpadu di Hambalang,
mangkrak sampai sekarang.
Karena itu Jokowi perlu
diingatkan, jangan grasa-grusu
memindahkan ibu kota. Undang pakar berbagai keahlian untuk diminta masukannya.
Jangan sampai setelah peletakan batu pertama dan bangunan sudah setengah
rampung, ada revisi kebijakan dari presiden pengganti Jokowi dengan alasan
“dulu kajiannya kurang benar, terlalu dipaksakan.” Kalau itu terjadi sia-sia
energi yang ada.
(Dari Koran Tempo 11 Mei 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar