Putu Setia | @mpujayaprema
APA yang terjadi di
Jakarta 22 Mei alias 225 nanti? Kalau tidak ada sesuatu yang gawat dari alam,
di gedung Komisi Pemilihan Umum akan banyak orang berkumpul. Ribuan polisi berjaga-jaga
dan lebih banyak lagi orang berseliweran di sana. Hari itu, KPU mengumumkan
hasil pemilu, terutama yang ditunggu adalah siapa yang memenangi pemilihan
presiden.
Meski saya bisa menduga
siapa pemenangnya, karena saya bukan peramal, tidak baik mendahului titah
Tuhan. Perlu berandai-andai. Lalu, andai pemenangnya pasangan Prabowo-Sandiaga,
maka banyak orang akan bersujud syukur. Pendukung Jokowi-Ma’ruf besar
kemungkinan akan menggugat keputusan ini ke Mahkamah Konstitusi. Ini jalur
hukum yang sah sesuai Pasal 475 UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
Namun, andai yang
menang pasangan Jokowi-Ma’ruf maka pasti pendukung Prabowo-Sandiaga akan kecewa
banget. Mereka sudah mimpi menang 62 persen (kebetulan sama dengan kode telepon
negeri ini) meski kemudian direvisi menjadi 54 persen. Ketika diumumkan kalah
tentu kecewa.
Tapi saya sedikit
gembira. Bukankah Prabowo sudah menyatakan bahwa ia tak akan mengajukan gugatan
ke Mahkamah Konstitusi. Begitu pula Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi
menyatakan hal yang sama. Saya berpikir positif bahwa “tokoh bangsa” ini akan
setia pada ucapannya. Jadi tak ada sengketa pilpres dan ada kepastian hukum yang
lebih cepat siapa presiden dan wakil presiden terpilih. Bukankah itu bagus?
Bagaimana dengan
ancaman kubu 02 jika mereka kalah akan tidak mengakui hasil pemilu? Saya anggap
ini “sebuah dinamika” atau “pernak-pernik demokrasi”, meniru omongan klise para
pengamat. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak, memilih presiden dan wakilnya
yang disebut pilpres disertai memilih DPR, DPRD dan DPD yang disebut pileg.
Bagaimana mungkin cuma menolak pilpres sementara pilegnya diterima, apalagi
Fadli Zon sudah siap-siap kembali menduduki kursi Wakil Ketua DPR sebagai
pengumpul suara terbanyak di Partai Gerindra.
Alasan Prabowo bersama
kubunya menolak pemilu karena ada kecurangan yang terstruktur. Ah, ini sudah
diucapkan jauh sebelum pencoblosan, tetap saja ikut mencoblos. Bagi saya ini
pun hal yang biasa dalam dunia pertarungan, apa pun pertarungan itu. Sebagai
penggemar sabungan ayam di masa remaja, saya sering menyaksikan pendukung ayam
yang kalah mencari dalih adanya kecurangan. Tetapi dalih kecurangan itu
semata-mata pelampiasan kekecewaan yang tak berumur panjang. Pada adu ayam
selanjutnya, mereka tetap saja semangat.
Kubu Prabowo tak
percaya kepada Mahkamah Konstitusi. Juga tak percaya KPU mau pun Bawaslu. Lo,
siapa yang memilih mereka? Bukankah DPR yang pimpinannya semua dari kubu
Prabowo – sebelum Golkar hengkang ke kubu Jokowi jelang Pemilu 2019 ini? Ketidak-percayaan
itu tak elok untuk disampaikan. Akan halnya kecurangan, mari dibuktikan dengan
adu data.
Jika mau menolak hasil
pemilu minus hasil pileg, lalu mau apa? Mau people
power? Bukankah people power itu
sudah dilakukan pada 17 April pada saat pemungutan suara? Berbondong-bondong
rakyat menuju tempat pemungutan suara, berhari-hari petugas pemilu menghitung
suara sampai lima ratus lebih meninggal dunia, mari hargai jasa mereka itu.
Kalau kubu 02 mau mengajak orang berbondong-bondong ke Jakarta untuk melakukan
“tekanan politik”, bagaimana kalau kubu 01 juga melakukan? Lagi pula untuk apa
menuju Jakarta padahal orang Jakarta berbondong-bondong mau ke daerah merayakan
lebaran.
Santai saja yuk, kalah
menang soal biasa. Kalau takut kalah lima tahun lagi jangan ikutan pemilu.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 18 Mei 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar