Terobosan baru dari Kementrian Dalam Negeri di era pandemi Covid-19. Menyelenggarakan berbagai lomba. Baru saja selesai lomba video inovasi menghadapi new normal. Akan menyusul lomba melandaikan kurva penyebaran virus. Entah berapa milyar pula disediakan hadiah, belum diumumkan.
Lomba video inovasi atau lengkapnya “Lomba Inovasi Daerah dalam Penyiapan Tatanan Normal Baru Produktif dan Aman Covid-19” membuat geger. Sebab, informasinya tidak jelas. Banyak orang hanya tercengang melihat ada dana Rp 186 milyar untuk hadiah lomba video yang hanya berdurai 1,5 menit itu. Hadiah pertama Rp 3 milyar, hadiah kedua Rp 2 milyar dan hadiah ketiga Rp 1 milyar untuk setiap sektor yang dilombakan. Katagorinya pun banyak dan Rp 186 milyar habis untuk hadiah. Peserta lomba atas nama provinsi, kota, kabupaten, dan kabupaten tertinggal. Peserta terakhir ini tak jelas juntrungannya.
Kenapa uang itu tidak dipakai untuk membiayai rapid test agar lebih cepat diketahui penyebaran virus corona? Kenapa tidak dipakai untuk membantu tenaga medis membeli alat perlindungan diri? Kenapa tidak dipakai untuk tambahan dana riset agar vaksin corona cepat ditemukan? Dan banyak lagi “kenapa-kenapa” yang muncul.
https://youtu.be/AmlhnsJf5gASetelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan di forum Dewan Perwakilan Rakyat, ada sedikit penjelasan. Ternyata, ini bisa disebut “lomba akal-akalan”, taktik menyalurkan bantuan dana ke daerah. Sumber uangnya dari Dana Insentif Daerah yang anggarannya sudah tersedia di Kementrian Keuangan. Agar daerah terangsang membuat video yang menjelaskan kesiapan new normal, maka lomba itu dipakai iming-iming menyalurkan insentif. Daerah diminta membuat formulasi bagaimana memberlakukan protokol kesehatan. Menurut Tito, lomba itu sebagai bentuk stimulasi dari pemerintah untuk prakondisi sebelum pemberlakuan new normal.
Penjelasan yang sedikit ternyata semakin tak jelas, kenapa menyalurkan insentif lewat lomba video? Yang dinilai itu mutu video dan pesan yang disampaikan lewat video atau kebutuhan daerah akan dana insentif untuk “bersama melawan corona’? Bagaimana juri menentukan pemenangnya karena ada 2.517 video dari 460 daerah, sementara juri hanya bekerja tiga hari? Apa semua video dipelototi?
Jika dikaitkan dengan dana insentif yang memang harus dikucurkan ke daerah, lomba ini jadi tak adil. Suatu daerah yang kasus positif coronanya rendah bisa mendapat juara pertama dengan hadiah Rp 3 milyar, sementara daerah yang kasus positif tinggi hanya mendapat juara ketiga. Atau sama sekali tak mendapat juara. DKI Jakarta, misalnya, dengan 5 kota dan 1 kabupaten, sama sekali tak meraih juara, padahal kasus positif Covid-19 mendapat “juara dua tingkat nasional” setelah Jawa Timur. Sementara itu Provinsi Jambi, juga Sulawesi Tengah, mendapat juara pertama. Jadi yang dinilai videonya atau bagaimana menyuntik daerah itu dengan dana insentif sesuai kebutuhan?
Akan menyusul lomba melandaikan kurva penularan Covid-19. Daerah yang bisa menurunkan kurva penularan itu dalam satu bulan akan mendapat hadiah. Skemanya sama, dana sudah tersedia yang memang merupakan insentif ke daerah. Apakah daerah akan mensiasati hal ini untuk dana milyaran itu? Jangan-jangan ada yang sengaja mengurangi kapasitas pengujian dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Semakin sedikit PCR dilakukan semakin sedikit yang ketahuan positif Covid-19. Jika itu yang terjadi, jangan harap corona bisa minggat dengan akal-akalan. Dana di sekitar Covid-19 agaknya perlu diaudit total.
(Koran Tempo, 27 Juni 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar