Minggu, 11 Oktober 2009

Buaya

Oleh Putu Setia

Saya hampir bertepuk tangan ketika menyaksikan di televisi, polisi Detasemen Khusus 88 Antiteror berhasil menembak mati dua gembong teroris, Syaifudin dan Syahrir, di Ciputat, Jumat lalu. Hal yang sama hampir saya lakukan, dulu, saat Kepala Polri memberi penjelasan kepada wartawan tentang tewasnya Noor Din M. Top. Saya ulangi: hampir bertepuk tangan

Kenapa cuma hampir? Belakangan ini, selalu ada ganjalan dalam otak saya untuk memuji polisi. Otak enggan memerintahkan tangan bertepuk-tepuk. Ganjalan itu adalah kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian, yang dalam hal ini diwakili Kepala Bareskrim Susno Duadji. Apalagi muncul istilah buaya dan cicak, yang diciptakan Pak Susno. Saya amat tidak tega polisi diumpamakan sebagai buaya.

Sebelumnya, saya kira Pak Susno hanya "keseleo lidah". Kenyataannya, polisi benar memposisikan dirinya sebagai buaya dalam perseteruan ini. Kuat, perkasa, tak peduli apa kata "binatang" lain. Dua cicak--ah, maksudnya dua pimpinan Komisi--dijadikan tersangka, diminta wajib lapor. Keduanya juga memposisikan dirinya sebagai cicak yang lemah, tak bisa berkutik.

Seandainya yang berseteru bukan buaya dengan cicak, melainkan buaya dengan buaya atau cicak dengan cicak (atau kadal dengan kadal), itu baru adil. Katakanlah Bareskrim itu buaya sungai, Komisi buaya rawa, perseteruan lebih imbang. Pada saat buaya rawa diperiksa dan dijadikan tersangka oleh buaya sungai, buaya sungai pun harus diperiksa dan dijadikan tersangka oleh buaya rawa. Pak Susno membantah (akan) menerima komisi dari pencairan uang di Bank Century dan beliau menyebut tindakannya itu "kontra-intelijen". Mestinya Komisi berpendapat: "Itu kan kata dia, makanya kita periksa." Seperti dua pemimpin Komisi, yang juga membantah tudingan menerima suap dari Anggoro, toh tetap diperiksa polisi.

Jika mau lebih adil sedikit, seharusnya Pak Susno dinonaktifkan. Bagaimana mungkin dia menjadi komandan tim pemeriksa untuk lawan tarungnya? Bahwa dia sudah diperiksa secara internal, anak kecil pun bisa menduga hasilnya, masak polisi pangkat lebih rendah menyalahkan polisi pangkat lebih tinggi, rikuhlah.

Demi kehormatan polisi, demi datangnya pujian atas keberhasilan polisi dalam berbagai langkahnya, penting sekali menonaktifkan Pak Susno sebelum kasus dua pemimpin Komisi tersebut tuntas. Tuntas itu bisa dua, kasusnya P18 atau P21--pembaca koran ini pasti sudah paham, ini bukan kode bus patas di Jakarta. Jika P18, polisi bisa mengeluarkan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) dan dua pemimpin Komisi direhabilitasi. Disertai maaf atau tidak, jangan dipermasalahkan, tugas polisi kan tidak semuanya harus sesuai dengan target. Kalau P21, artinya, kasus dilimpahkan ke pengadilan, dan tugas polisi beralih ke jaksa. Polisi bisa tenang. Dua pemimpin Komisi itu dihukum atau tidak, ya, urusan hakim dan jaksalah.

Maaf, meski saya mengusulkan Pak Susno nonaktif, tak berarti saya memihak. Saya membela keadilan (mohon doa restu), kalau kedua pemimpin Komisi itu salah, ya, hukumlah. Kalau tak salah, ya, lepaskan. Begitu juga kalau Pak Susno salah, hukumlah. Kalau tidak, jangan dihukum--tapi untuk tahu salah tidaknya, kan diperiksa dulu? Jika perlu, yang memeriksa instansi yang netral.

Makin cepat kasus ini tuntas makin bagus, dan setelah itu istilah buaya, cicak, kadal, tokek, dilupakan saja. Pakailah perumpamaan yang lebih berbudaya. Apalagi kita sudah sepakat mendirikan NKRI, bukan mendirikan NKBRI (Negara Kebun Binatang Republik Indonesia).

(Dari Koran Tempo Minggu 11 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar