Mpu Jaya Prema
LIPUTAN media, terutama televisi dan media online
tentang Nyepi tahun saka 1941 atau 2019 Masehi ini tergolong positif. Jika
selama ini liputan selalu tentang Bali yang seolah-olah hanya umat Hindu di
Bali saja merayakan Nyepi, maka kini liputan menyebar bahkan lebih banyak di
luar Bali.
Tentu ada banyak sebab. Nyepi di Bali tak bisa
diliput karena reporternya tak bisa bergerak ke jalanan hanya memotret dari
hotel saja. Sedang liputan di luar Bali bisa lebih bebas, setidaknya reporter
bisa mendekati obyek. Sebab lain, mungkin saja mereka jenuh dengan liputan di
Bali yang hanya itu-itu saja dari tahun ke tahun. Paling gambar pecalang yang menjaga
kawasan jalan yang sepi, sembari mereka bertanya apa pecalangnya tidak ikut
melaksanakan tapa brata Nyepi.
Liputan bervariasi di luar Bali. Di Tengger liputan
tergolong lengkap. Umat Hindu khyusuk merayakan Nyepi, obyek wisata Gunung
Bromo ditutup total dan batas desa dijaga oleh umat muslim bersama polisi dan
juga dibantu tentara. Bahkan ada komentar positif dari tokoh muslim bagaimana
mereka mewujudkan toleransi beragama. Sungguh mengharukan.
Begitu pula liputan di Cirebon, Jawa Barat dan di Kediri, Jawa Timur. Umat Hindu merayakan
Nyepi di pura setempat dengan khyusuk. Bahkan jalan pedesaan di depan pura
lenggang karena umat muslim yang mayoritas di sana tidak banyak berlalu lalang.
Mereka ingin menciptakan suasana yang tenang pada saat Nyepi berlangsung.
Di Klaten, Jawa Tengah, bahkan liputat Nyepi sampai
pada acara Ngembak Geni yang memperlihatkan bagaimana umat Hindu yang
kebanyakan etnis Jawa melakukan dharma santhi dengan bersembahyang bersama mengakhiri
puasa Nyepi. Mereka lalu makan prasadam yang telah dihaturkan di pura sambil
saling bersalaman memaaf-maafkan. Ada pula ceramah agama dari salah satu tokoh
di sana yang memakai bahasa Jawa.
Lpiutan ini selain positif karena menyebarkan
informasi dari berbagai wilayah juga memperkuat keberagaman kita sebagai bangsa
yang menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama ini ada kesan
bahwa Nyepi itu mengganggu umat beragama lain karena dibatasi geraknya,
terutama di Bali. Ternyata tidak ada yang terganggu bahkan dalam kasus di Bali
pembatasan gerak penduduk Bali, apa pun agamanya, adalah hasil keputusan bersama
majelis-majelis agama, termasuk majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha
dan Konghucu. Jadi bukan hanya berdasarkan keputusan majelis agama Hindu saja.
Ini mengharukan. Coba kita perhatikan, mana ada ritual agama selain Hindu di mana
majelis agama lain ikut terlibat membuat surat edaran. Parisada Hindu Indonesia
sebagai majelis umat Hindu tak pernah repot mengurusi umat Islam pada saat
bulan Ramadhan misalnya, tetapi Majelis Ulama Indonesia ikut membuat edaran
bersama dalam perayaan Nyepi. Kita harus berterimakasih kepada majelis umat
beragama lainnya.
Suksesnya perayaan Nyepi membuat banyak orang
tertarik kalau hikmah dari Nyepi ini dibawa ke ranah politik. Bukan dalam
kaitan mempolitikkan agama, tetapi bagaimana inti ajaran Nyepi dipakai pula
untuk meredam gejolak politik. Seperti
kita ketahui saat ini, gejolak politik itu sangat memanas menjelang pemilihan
umum serentak yang memilih presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD. Masyarakat
seperti terbelah ke dalam dua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Masing-masing kubu punya pengikut fanatik dan saling menjelekkan lawannya.
Ujaran kebencian, berita bohong alias hoax, saling caci dan saling sindir,
terus menerus diproduksi. Bagaimana kalau sehari saja ada “nyepi politik” di
mana semua itu dihentikan sama sekali. Kalau Nyepi bisa membersihkan udara dari
polusi, tentu “nyepi politik” bisa pula membersihkan ulah kita untuk saling
memaki.
Tentu pula tidak sekedar menghentikan perseteruan
yang panas ini. Tetapi bagaimana mengajak orang melakukan perenungan dan
instrospeksi sebagai mana layaknya ritual Nyepi menurut Hindu. Dalam keheningan
Nyepi, kita bertanya pada hati nurani, jangan-jangan kita telah melakukan
perbuatan yang salah sehingga perlu kita koreksi. Dalam perenungan dan
instrospeksi ini kita barangkali lebih banyak menyalahkan diri sendiri
ketimbang melempar kesalahan kepada orang lain. Lalu yang muncul adalah
kedamaian karena kita menyadari kekeliruan kita dalam pergaulan bangsa yang
majemuk. Pilihan politik bisa berbeda tetapi kita tetap satu bangsa sebagai
hasil dari perenungan dan instrospeksi selama “nyepi politik”.
Itulah hakekat dan makna dari perayaan Nyepi, bukan
saja kebebasan gerak kita dibatasi dengan percuma, tetapi dalam keterbatasan
gerak itu kita melakukan perenungan dan instroskpeksi dalam segala aspek
kehidupan, termasuk kehidupan dalam dunia politik. Mungkin dari hasil
perenungan ini kita melihat banyak hal yang perlu diperbaiki, sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden, misalnya. Pemilu serentak yang hasilnya belum
diketahui pada saat memilih presiden dan wakil presiden, bagaimana partai bisa
mencalonkan presiden dengan baik kalau partai itu sendiri belum tentu punya
suara yang signifikan? Juga soal-soal administrasi seperti daftar calon pemilih
yang amburadul, kampanye yang terlalu panjang, debat calon presiden dan wakil
presiden yang sangat kaku.
Tentu banyak hal yang bisa kita renungkan lagi untuk
masa depan bangsa. Situasi saat ini sudah panas membara. Apakah perseteruan dua
kubu yang semakin meruncing – dan banyak hal tak bernalar – bisa dingin usai
pencoblosan? Tentu itu yang diharapkan meski banyak yang khawatir kegerahan ini
akan lama berakhir. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sudah menjadi contoh, yang
kalah seperti tak rela punya gubernur yang baru. Bagaimana kalau usai pemilu
serentak, kubu calon presiden yang kalah tak juga mau menerima kekalahannya?
Akan panjang dampak perseteruan itu kalau demikian adanya. Maka ayo mari kita
jeda sejenak untuk merenungkan di mana salahnya perjalanan demokrasi ini dengan
cara “nyepi politik” sesaat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar