Putu Setia | @mpujayaprema
Kalau ada kesempatan untuk melakukan
korupsi, berapa nilai yang cukup aman jika sampai dtangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi?
Seorang teman mengajukan pertanyaan itu.
Saya tak paham ke arah mana pertanyaannya sehingga tak menjawab. Untung dia
memperjelas. Kalau korupsi 10 milyar rupiah, lalu dihukum empat tahun, mungkin
agak pas. Katakanlah biaya persidangan sampai membayar pengacara satu milyar, lalu
selama empat tahun biaya di penjara setengah milyar ditambah fasilitas penjara
setengah milyar lagi. Biaya kunjungan keluarga anggap satu milyar juga. Ganti
rugi sesuai vonis jangan lebih dari dua milyar, karena itu tak perlu beli aset
yang mudah disita. Keluar dari penjara masih sisa lima milyar. Lumayan kan?
Saya masih belum jelas mau apa teman
saya ini. Tiba-tiba dia menyinggung
vonis Setya Novanto 15 tahun penjara dan harus mengganti kerugian negara sampai
Rp 66 milyar. Kalau korupsinya sampai ratusan milyar tentu masih ada sisa
selepas penjara. Begitu pula Anas Urbaningrum yang hukumannya dinaikkan
Mahkamah Agung menjadi 14 tahun, pasti tak begitu miskin keluar penjara karena
korupsinya puluhan milyar. Jero Wacik divonis 8 tahun penjara, didenda Rp 300
juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 5 milyar tapi bisa dibayar
hukuman 2 tahun. Korupsinya juga puluhan milyar, masih ada sisa uangnya, apalagi
kalau uang pengganti dibayar dengan hukuman. Jangan-jangan koruptor itu sudah
berhitung berapa besar harus korupsi.
“Anda mau bicara apa sih?” tanya saya
tak sabar dengan ocehannya. Teman saya tertawa. “Itu lo, Romahurmuziy, terima
suap cuma Rp 300 juta, padahal dia ketua umum partai, receh amat,” katanya.
Saya jadi ikut tertawa. “Apa arti uang sebesar
itu? Beli mobil bekas saja tak cukup. Lagi pula dia ketua umum partai, biaya
memilih dia saja habis lebih dari itu saat kongres. Kini kehormatannya hancur,
bukan cuma dirinya tetapi juga keluarganya. Partai pasti kena getah kehacuran.
Kok besaran korupsinya kelas lurah,” teman saya geleng-geleng kepala.
Saya memberi komentar, mungkin Romi awalnya
tak menduga pemerasan itu sebagai hal yang serius. Ah, kecil saja, masak urusan
teri begini diintai KPK. Dia tidak sadar kalau dalam perebutan jabatan sekarang
ini pihak yang kalah apalagi merasa dikhianati bisa membuat laporan ke KPK. Dan
itu hal yang bagus. KPK pun harus didukung untuk melanjutkan penangkapan
koruptor kelah receh ini. Bukan soal berapa besar uang yang dikorupsi tetapi
untuk menegaskan kepada semua pejabat bahwa mental korup itu sangat berbahaya
untuk bangsa. Kepala Kanwil Kementerian Agama seharusnya berat mengeluarkan
uang Rp 250 juta karena gajinya tak sebesar anggota DPR. Apalagi Kepala Kantor
Agama Kabupaten Gresik harus menyuap Rp 50 juta. Untuk balik modal, keduanya
pasti akan mengutak-atik dana yang dikelolanya. Artinya, korupsi terus
berlanjut tak ada ujungnya. Pejabat yang suka menyuap untuk meraih dan
mempertahankan jabatan pastilah setiap kebijakannya akan berujung pada
“seberapa besar saya dapat imbalan”.
Anak muda seperti Romi, juga Anas
Urbaningrum, sangat disayangkan tergelincir pada hal-hal yang memalukan seperti
ini. Kita jadi kehilangan harapan munculnya pemimpin baru. Namun pelajaran
terbaik dari pengungkapan suap kelas receh ini adalah partisipasi masyarakat
dalam melaporkan adanya korupsi, betapa pun kecilnya. Ini tak bisa dianggap
receh. Yang menyakitkan tentulah suap begini ada di kementrian agama, tempat di
mana moral – termasuk sorga dan neraka -- dibahas sehari-hari.
(Dari Koran Tempo 23 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar