Putu Setia | @mpujayaprema
Setelah umat Hindu melaksanakan ritual nyepi dua
hari yang lalu, tiba-tiba ada usulan rada aneh. Perlu ada “nyepi politik”. Sulit
untuk disebut usulan ini serius, namun tak layak diremehkan. Alasannya sudah
terjadi kebisingan yang akut menjelang pemilihan umum serentak, utamanya
pemilihan presiden. Situasi memanas, “polusi politik” ini perlu dibersihkan dengan nyepi.
Bukankah “nyepi politik” itu sudah disiapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum menjelang pencoblosan, bahkan lebih dari sehari? Itu
disebut minggu tenang, meski pun hitungannya tidak tujuh hari atau seminggu. Saat
itu segala bentuk kampanye dilarang, hoax berkurang, dan seharusnya saling
menjelekkan lawan sudah tak ada.
Minggu tenang hanya menghentikan kegiatan kampanye.
Tidak mengajak orang melakukan perenungan dan instrospeksi sebagai mana
layaknya ritual nyepi. Dalam keheningan nyepi, kita bertanya pada hati nurani, jangan-jangan
kita telah melakukan perbuatan yang salah sehingga perlu kita koreksi. Dalam
perenungan dan instrospeksi ini kita barangkali lebih banyak menyalahkan diri
sendiri ketimbang melempar kesalahan kepada orang lain.
Misalnya, sejumlah politisi termasuk yang duduk di
parlemen, mengecam keras adanya warga negara asing yang memperoleh kartu tanda
penduduk elektronik atau e-KTP. Apalagi dengan kartu itu mereka masuk ke dalam
daftar pemilih tetap pada pemilu nanti. Cara-cara ini dianggap salah satu dari
sekian banyak upaya untuk membuat pemilu berlangsung curang.
Komisi Pemilihan Umum dari pusat sampai ke daerah
perlu juga instrospeksi. Kalau tahu warga negara asing boleh punya e-KTP
harusnya jelas membuat aturan bahwa pemegang e-KTP tetap boleh mencoblos
asalkan warga negara Indonesia, meski tak terdaftar. Yang warga negara asing
tidak boleh apalagi masuk daftar pemilih tetap. Peraturan Komisi Pemilihan Umum
tak merinci hal itu. Pada pemilihan kepala daerah tahun lalu, ada warga negara
asing pemegang e-KTP yang datang mencoblos. Dikhawatirkan pada pemilu serentak 17
April nanti, warganegara asing yang punya e-KTP datang ke tempat pemungutan
suara dan berhasil mencoblos karena petugas tak teliti – mungkin juga tak paham.
Bahwa calon mana yang diuntungkan tentu saja sulit diketahui.
Siapa tahu saat perenungan di hari “nyepi politik”
ini kita mempertanyakan kembali, kenapa warga negara asing boleh mendapat e-KTP
yang sama blankonya, hanya kewarganegaraan dan masa berlaku yang berbeda. Lalu
apa makna kata “penduduk” itu, apakah itu tidak mengacu kepada kewarganegaraan
di mana kartu identitasnya diterbitkan?
Ini hanya salah satu topik instrospeksi dalam “nyepi
politik”. Tentu banyak hal yang bisa kita renungkan lagi untuk masa depan
bangsa. Situasi ini sudah panas membara. Apakah perseteruan dua kubu yang
semakin meruncing – dan banyak hal tak bernalar – bisa dingin usai pencoblosan?
Tentu itu yang diharapkan meski banyak yang khawatir kegerahan ini akan lama
berakhir.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 9 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar