Mpu Jaya
Prema
RATUSAN jenazah menumpuk
di Rumah Sakit Mangusada Kabupaten Badung. Berita ini viral di media massa.
Pihak rumah sakit sampai membuat tenda untuk menampung jenazah yang dititipkan
pihak keluarga itu. Berbagai komentar pun berseliweran, kenapa hal itu bisa
terjadi? Banyak hal yang kemudian dijadikan sorotan, apakah hal itu tak
berdampak buruk bagi kesehatan. Dari sudut agama apakah hal itu tidak justru
membuat bumi ini leteh karena banyak jenazah yang dibiarkan berhari-hari tidak
dikuburkan atau dikremasi.
Rupanya terjadi
kesalah-pahaman dalam menyikapi surat edaran Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) Bali berkaitan dengan upacara besar di Pura Besakih sepuluh tahun
sekali, yakni Panca Wali Krama. PHDI Bali lewat paruman madya memutuskan untuk melarang upacara atiwa-tiwa atau ngaben dalam rentang
waktu 20 Januari s/d 4 April 2019. Larangan ini untuk “menyucikan alam Bali”.
Karena
adanya larangan ngaben maka PHDI Bali memberikan solusi yakni jenazah cukup
dikuburkan di setra dengan status “mekingsan di pertiwi”. Sesuai dengan arti
kata itu jenazah cukup “dtitipkan di bumi” dalam arti dikuburkan tetapi tidak
disertai dengan tirta pengentas. Bahasa
sederhananya, belum ada upacara “mengirim roh” ke alam sunia. Penguburan itu
pun dilakukan pada sore hari. Istilah ini disebut berbeda di beberapa desa, ada
yang menyebut “nyulubin” ada yang menyebut “ngemaling”. Yang jelas tidak ada
bunyi kentongan sebagai pertanda warga adat ikut ke kuburan.
Ini hal
yang sudah biasa terjadi di pedesaan terutama yang tidak membolehkan jenazah
dibakar. Ada pun di desa yang sudah biasa membakar jenazah (kremasi), solusi
yang diberikan PHDI adalah “mekingsan di geni” (artinya dititipkan di api).
Yang penting jenazah sebagai wujud badan kasar tidak ada lagi secara faktual.
Khusus bagi sulinggih dan pemangku ketentuan ini tak
berlaku. Sulinggih tidak boleh jenazahnya dikubur. Jenazah sulinggih harus
dibakar. Bahkan sulinggih yang tinggal di desa-desa yang tak boleh membakar
jenazah, meminjam kuburan desa tetangga atau di era sekarang ini dibawa ke
krematorium untuk dikremasi. Lagi pula ada ketentuan bahwa sulinggih tidak
terkena cuntaka dalam hal kematian.
Dalam hal pemangku memang ada tradisi setempat. Ada desa
yang memperlakukan pemangku seperti sulinggih dalam ritual kematiannya. Kalau
seperti itu tentu tak masalah. Tetapi ada desa di mana memperlakukan pemangku
sama dengan walaka (orang kebanyakan)
dalam hal ritual kematian, bahkan diikutkan dalam program ngaben massal. Jika
ini yang diikuti tentu berlaku pula pantangan seperti masyarakat kebanyakan.
Jadi, sesungguhnya sangat jelas, yang tidak boleh
dilakukan oleh masyarakat selama runtutan Panca Wali Krama itu adalah ngaben.
Jalan keluarnya adalah menitipkan jenazah lewat ritual “mekingsan di pertiwi”
atau memilih “mekingsan di geni”. Lalu kenapa di masyarakat justru
penerimaannya bisa berbeda, yang terjadi adalah menitipkan jenazah di rumah
sakit menunggu diperbolehkannya ada ngaben. Ini sungguh salah paham dalam
menyikapi surat edaran dari PHDI Bali itu. Kalau jenazah dititipkan di rumah
sakit, apa bedanya dengan jenazah di bawa ke rumah sendiri, dari sudut
keyakinan bahwa itu membuat leteh? Tetap saja membuat leteh atau cuntaka. Rumah
sakit itu bukan kuburan, rumah sakit menampung orang yang sakit, bukan
menampung orang yang sudah meninggal dunia dalam waktu lama. Artinya rumah
sakit bukan tempat memparisudha roh. Kalau yang terjadi sekarang ini ratusan
jenazah belum dikubur atau dikremasi, maka inilah leteh yang paling besar. Jadi
percuma adanya larangan ngaben untuk membuat Panca Wali Krama menjadi lebih
suci, malah bertambah kotor karena ratusan jenazah dibiarkan di Bali.
Badan kasar kita itu adalah tempat di mana atma itu “menetap sementara”.
Sama seperti pakaian yang kita pakai, hanya sementara. Begitu pakaian kita
kotor harus dilepas dan diganti. Begitulah badan kita. Begitu badan tak lagi
“bisa dipakai” maka atma akan meninggalkannya, maka badan kasar itu harus
segera dibuang agar tidak membuat kotor atau membuat leteh. Jadi harus
secepatnya badan kasar itu dikembalikan kepada asalnya. Apa itu? Kembalikan ke
Panca Maha Butha dengan cara membakar atau dikuburkan bagi desa adat yang tak
boleh ada kremasi.
Lalu, kenapa sekarang jenazah menumpuk di rumah sakit? Penitipan jenazah di rumah sakit ini disebabkan beberapa pertimbangan. Ada keluarga yang tak mau repot jika “mekingsan di geni”, seolah-olah dua kali membuat yadnya. Sekali dengan cara kremasi dengan upacara seadanya, lalu setelah Panca Wali Krama lagi membuat yadnya ngaben. Padahal itu hanya kerepotan kecil karena yadnya yang sesungguhnya tetap pada saat ngaben. Kemudian ada anggapan seolah-olah dengan menitip di rumah sakit leteh itu tidak ada dan di rumah sakit ada mesin pendingin yang membuat jenazah tidak bau. Kalau urusan teknologi di mana jenazah disimpan di mesin pendingin tentu ada benarnya, namun menitipkan di rumah sakit tidak dianggap leteh itu tentu saja salah. Sekali lagi rumah sakit bukanlah kuburan yang ada “pelinggih penunggun setra” dan berdampingan dengan Pura Prajapati.
Sebenarnya
dalam tradisi di Bali, tidak selalu orang yang meninggal dunia itu segera
diaben. Di banyak desa jenazah cukup dikuburkan saja sambil menunggu adanya
ngaben massal yang bisa jadwalnya 3 sampai 5 tahun tergantung awig-awig desa. Sejatinya ini hampir
sama dengan “mekingsan di pertiwi” cuma saja sistem penguburannya tidak
“nyulubin” atau “ngemaling” namun melibatkan krama adat. Yang penting adalah
jenazah itu sebagai badan kasar segera dikembalikan ke unsur Panca Maha Bhuta.
Apakah hal
ini tak membuat leteh? Ya, sama saja, selama belum ada ngaben tetap leteh,
meski kadarnya tidak besar. Karena itu dalam surat edaran PHDI Bali disebutkan kalau ada jenazah yang belum diaben,
agar krama desa setempat minta “tirta pemarisudha” di Pura Dalem Puri Besakih.
Tirta itulah dipercikkan ke kuburan atau di atas makam orang yang dikuburkan.
Hal ini sudah berlaku sejak dulu, begitu Panca Wali Krama berlangsung ada
“pemarisudha” di kuburan desa adat. Dan sekarang pun sudah dilaksanakan dengan
baik.
Entah kenapa kejadian menitipkan ratusan jenazah di rumah
sakit baru terjadi pada saat ini. Mungkin sosialiasi yang kurang atau karena
kita disibukkan dengan urusan lain, misalnya menjelang pemilu, atau karena
pengawasan dari PHDI tidak ada sehingga begitu mengedarkan surat tidak boleh
ada atiwa-tiwa atau ngaben urusan
dianggap selesai. Padahal masyarakat perlu pencerahan lebih lanjut. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar