Sabtu, 11 Januari 2020

Polisi

Putu Setia | @mpujayaprema

Hari Bhayangkara masih jauh. Tapi menyoroti kerja polisi tetap menarik. Ada banyak sisi positif, tapi juga banyak sisi negatif. Barangkali karena banyak yang berharap agar polisi menjadi bhayangkara negara yang profesional dan disegani.

Sisi humanis polisi sering muncul jika ada bencana. Di tengah-tengah banjir, misalnya, mereka menyelamatkan para korban tanpa kenal lelah. Ada polisi yang menggendong ibu hamil tua karena terjebak arus air yang terus meninggi. Tanpa bermaksud membandingkan dengan personel Tentara Nasional Indonesia yang juga sangat gesit tatkala ada bencana, polisi memang lebih terlihat karena keberadaan sehari-harinya di tengah masyarakat.

Namun sisi negatif terus saja menggerogoti polisi ideal. Harus diakui, polisi yang melakukan pungutan liar di jalanan sudah tak semarak dahulu, tapi sisi lemah yang disorot belakangan ini adalah polisi tidak mampu melindungi kaum minoritas dari perlakuan buruk kelompok intoleran dalam soal keyakinan menjalankan ibadah agama. Polisi tunduk pada kelompok intoleran itu.
Diobrak-abriknya sesajen ritual sedekah laut adalah contoh bagaimana polisi tak bisa melindungi kelompok minoritas yang ingin menjaga keluhuran budaya bangsa. Juga pelarangan ritual penganut Hindu yang terjadi di Kabupaten Bantul, beberapa bulan lalu, dengan alasan ritual dilangsungkan di sebuah rumah yang bukan tempat ibadah. Polisi cenderung berpihak ke kelompok intoleran. Padahal setiap rumah, apa pun agama pemilik rumah itu, pastilah pernah melakukan ritual di rumahnya.

Kasus yang paling anyar adalah dijadikannya Sudarto, aktifis Pusat Studi Antar-Komunitas Padang, sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian dan dijerat dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Memang sempat disebutkan bahwa Sudarto ditahan, tapi dibantah oleh Kabid Humas Polda Sumatera Barat Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto.

Cobalah ditelusuri, apa salah Sudarto? Dia menulis di Facebook tentang “kesepakatan” adanya larangan perayaan Natal di wilayah Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Unggahan pada 14 Desember 2019 itu membuat heboh, hingga Menteri Dalam Negeri pun bersurat ke Provinsi Sumatra Barat. Karena reaksi yang begitu besar, akhirnya perayaan Natal diperbolehkan.
 Sudarto telah berjasa memperjuangkan hak-hak yang paling hakiki dalam konstitusi kita. Namun, Harry Permana selaku Ketua Pemuda Jorong Kampung Baru, melaporkan Sudarto pada 29 Desember 2019, dengan tuduhan “ujaran kebencian” mengunggah larangan perayaan Natal. Di lihat dari urutan waktu, di mana letak “ujaran kebencian” yang diunggah Sudarto sehingga dia menjadi tersangka?

Begitulah plus minus kinerja polisi yang terang benderang di masyarakat dalam contoh-contoh yang bisa diperpanjang, baik contoh yang membuat kita berdecak kagum maupun contoh yang membuat kita geleng-geleng kepala.

Apakah kita putus harapan untuk melihat polisi yang ideal di negeri ini? Jangan putus asa. Kita bantu polisi untuk mencapai cita-cita polisi ideal itu. Contoh kecil adalah langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini dipimpin Komjen Firli Bahuri. Jenderal polisi bintang tiga ini diragukan langkahnya memimpin KPK, apalagi dengan UU KPK yang sudah direvisi.

Ternyata belum sebulan dilantik, KPK sudah menggelar dua operasi tangkap tangan, untuk Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Kalau langkah ini berlanjut bukan saja pelemahan KPK tidak terbukti, tapi kepercayaan kepada polisi pun bisa membaik. Kita apresiasi polisi berbenah.

(Koran Tempo 11 Januari 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar