Sabtu, 29 September 2018

Karma Phala Bukan Produk Budaya

Oleh Mpu Jaya Prema


BANYAK orang yang dengan gampangnya menyebutkan istilah karma. Dan itu pun disebut dengan sebuah kata saja, tanpa ada embel-embel apa pun. Misalnya, ketika seorang pejabat penting tiba-tiba kena operasi tangkap tangan oleh KPK maka orang segera menghujat: karma tak akan bisa dihindari. Atau seseorang melakukan fitnah dan kebohongan maka orang akan memberikan komentar: awas karma.

Tentu saja kata karma yang berdiri sendiri itu kurang memberi arti apa yang dimaksudkannya. Karma itu artinya perbuatan. Ada perbuatan baik, ada perbuatan buruk. Ketika perbuatan buruk atau baik itu dilakukan akan ada hasilnya atau pahalanya. Jadi kata karma harus dilengkapi dengan kata pahala (atau phala dalam Sansekerta) sebagai suatu kesatuan untuk menyebutkan bahwa perbuatan baik dan buruk akan berdampak pada hasilnya. Karena hal ini menjadi sesuatu yang mutlak maka sering pula istilah diganti menjadi hukum karma. Istilah ini menjadi umum seolah-olah hukum karma adalah suatu suatu produk budaya.

Apakah hukum karma produk budaya? Bagi umat Hindu, karma phala itu sebuah ajaran agama, bahkan ajaran pokok yang harus diyakini sepenuhnya. Karma phala adalah satu dari lima dasar ajaran Hindu yang disebut Panca Srada. Yakni, (1) Percaya adanya Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), (2) Percaya adanya Atman (jiwa/roh), (3) Percaya adanya karma phala (hasil dari perbuatan), (4)  Percaya adanya phunarbawa (reinkarni atau kelahiran berulang-ulang), (5) Percaya adanya moksa (bersatunya Brahman dan Atman atau kedamaian yang abadi).

Kelima dasar (panca srada) ini tak berdiri sendiri. Kelimanya menjadi satu kesatuan. Jika berbicara soal karma phala, bagaimana mungkin seseorang akan meyakini hal itu, jika dia tidak yakin adanya phunarbawa? Kelima dasar ajaran itu tak bisa dipisahkan. Hukum karma berkaitan dengan reinkarnasi, karena karma itu melekat pada jiwa atau roh seseorang yang selalu dibawa dalam kehidupannya yang berulang.

Apa itu karma? Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau di luar kesadaran, kesemuanya disebut karma. Kata karma berasal dari kata "kr" (bahasa sansekerta), yang  artinya bergerak atau berbuat. Segala sebab pasti akan membuat akibat.



Di dalam kitab Slokantara 68 disebutkan: "Karma phala ika palaing gawe hala ayu", artinya karma phala adalah akibat dari baik buruk suatu perbuatan atau karma. Hukum karma ini sangat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jika orang berbuat baik, pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan.

Memang, phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan.  Ada yang dirasakan seketika, ada yang di kemudian hari, ada yang baru dirasakan dalam kehidupan yang akan datang. Jadi harus percaya adanya reinkarnasi.

Sancita Karma Phala adalah hasil perbuatan orang dalam kehidupan terdahulu yang belum habis pahalanya dinikmati dan masih merupakan sisa yang menentukan kehidupan sekarang. Contoh, di kehidupan yang lalu, mungkin orang itu korupsi milyaran rupiah, namun karena sedang berkuasa atau pinter berkelit, pahalanya belum sempat dinikmati. Sekaranglah orang itu mendapatkan buahnya, misalnya, hidup jadi sengsara.

Prarabda Karma Phala
, hasil perbuatan pada kehidupan sekarang yang pahalanya diterima habis dalam kehidupan sekarang juga. Sekarang korupsi, kemudian tertangkap, diadili dan dihukum bertahun-tahun. Lunas dalam satu kehidupan.

Kriyamana Karma Phala
, hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Misalnya, dalam kehidupan sekarang seseorang korupsi, tapi entah bagaimana tak berhasil dibuktikan karena kelicikan orang itu, lalu dia meninggal dunia. Dalam kehidupan yang akan datang pahalanya baru diterima. Orang itu lahir sengsara. Sebaliknya, dalam kehidupan sekarang seseorang berbuat baik, santun, suka menolong, namun saat meninggal dunia orang itu tetap dalam kesederhanaan. Dalam kehidupan yang akan datang, dia dilahirkan menjadi orang yang bahagia, di mana tak ada penderitaan yang dialami.
Jadi, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena sudah merupakan hukum perbuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar