Ida Pandita Mpu Jaya Prema
Ananda
HARI Sabtu Pon wuku Dungulan
hari ini, jika dikaitkan dengan rangkaian Hari Raya Galungan disebut sebagai
Pemaridan Guru. Pemaridan kata dasarnya adalah marid, ini sudah diserap ke dalam bahasa Bali. Marid berarti selesainya sebuah yadnya dan kita ngelungsur waranugraha. Bisa dalam
bentuk non-phisik seperti keselamatan, kerahayuan, kesehatan, ketenangan dan
hal-hal yang bersifat positif dari para leluhur yang sudah menyatu (amor) dengan Hyang Widhi. Namun waranugraha itu bisa saja secara phisik,
misalnya, mengumpulkan makanan dan jajajan yang tadinya dipakai bahan
persembahan.
Jika ngelungsur waranugraha secara phisik maka itu artinya kita
mendapatkan prasadam atau dalam bahasa Bali disebut paridan. Apa yang dihaturkan itu yang menjadi prasadamnya. Dalam
bahasa Bali, paridan itu bisa pula
disebut sebagai lungsuran. Jadi kalau
kita mempersembahkan buah apel pada saat Galungan maka buah apel itu yang
dijadikan prasadam. Jika minuman kaleng yang dipersembahkan maka minuman kaleng
pula yang jadi lungsuran.
Kenapa hari itu kita baru
mendapatkan waranugraha? Karena para
leluhur kita yang dipuja sejak Hari Raya Galungan balik kembali ke alam sunia,
alam yang penuh ketenangan dan kedamaian. Mereka tak bisa berlama-lama di bumi
yang fana itu. Saatnya mereka untuk balik dan kita menjadikan hari balik itu
sebagai Hari Pemaridan Guru. Guru yang dimaksudkan ini semasa hidupnya bisa
Guru Rupaka yaitu bapak dan ibu kita sendiri, bisa pula Guru Swadaya, leluhur
yang sudah menjadi Hyang Guru. Artinya sudah ada upacara pitra yadnya dan
beliau secara rohani sudah ada di Rong Tiga menyatu dengan Guru Sejati yakni
Tuhan Yang Maha Esa. Karena kepada semuanya kita punya utang, maka wajibnya
kita mengantar Hyang Pitara itu kembali ke alamnya, alam sunia.
Kita tak bisa hidup tanpa
guru. Guru adalah pembimbing kita agar kehidupan kita tak salah arah, baik
secara sekala mau pun niskala. Untuk Guru Sejati yaitu Hyang Widhi sebagai Sang
Hyang Pramesti Guru, memang kita tak bisa berguru langsung. Kita tak bisa
dibimbingnya secara langsung. Namun di kalangan spiritual, Guru Sejati itu bisa
membimbing setiap manusia dalam kehidupannya lewat berbagai pantangan yang ada
dalam ajaran agama. Melakukan yoga tapa brata adalah salah satu sarana yang
bisa dianggap membimbing seseorang dalam kehidupannya di dunia ini.
Terlepas dari apakah kita
pernah dibimbing secara langsung atau tidak, wajib hukumnya kita sujud bhakti
kepada Sang Pramesti Guru dan di hari Pemaridan Guru inilah kita memohon
anugrahnya sebelum Beliau kembali ke alam yang penuh kedamaian. Kapan ritual
itu dilangsungkan ini berkaitan erat dengan kebiasaan setempat atau desa, kala, patra. Ada yang mengantarkan
Hyang Pramesti Guru itu pada tengah malam atau bahkan dini hari menjelang hari
Minggu, ada yang sebelumnya ketika menjelang malam hari Sabtu, tak akan
mengurangi makna Hari Pemaridan Guru. Karena dalam tradisi ritual keagamaan di
Bali, hari berganti ketika matahari terbit dini hari. Jadi, siang atau malam
atau dini hari sebelum matahari terbit tetap saja hari itu termasuk hari Sabtu
dan bukan hari Minggu.
Di desa-desa tua pegunungan,
umumnya Hyang Pramesti Guru “diantar ke alam sunia” selepas tengah malam atau
dini hari. Umat menyediakan makanan khusus dengan dua versi, makanan matah lebeng. Artinya ada makanan yang
sudah matang dan ada makanan yang baru berupa bahan. Di antara makanan yang
sudah matang ada yang disebut entil,
yakni semacam ketupat tetapi dibungkus dengan daun khusus. Bukan daun janur
atau daun pisang. Tetapi apa pun suguhannya secara tradisi yang diharapkan
adalah tetap sebagai perwujudan dari meminta berkah berupa lungsuran atau prasadam itu nantinya.
Tradisi semacam ini memang
harus dilestarikan. Namun, jauh lebih penting dari melestarikan tradisi adalah
pengertian dari filsafat Hari Pemaridan Guru itu haruslah diketahui oleh umat.
Kita sudah merayakan Galungan dengan kemenangan dharma yang didahului oleh
melawan nafsu-nafsu buruk lewat simbol Sang Bhuta Tiga Galungan. Kita sudah
melakukan puji syukur pada Hari Galungan yang kemudian disambung dengan mesilakrama (saling berkunjung) ke sanak
keluarga di Hari Manis Galungan. Saatnya lantas kita menerima waranugraha dari para leluhur yang sudah
menyatu di alam Tuhan (amor ring Achintya)
pada Pemaridan Guru. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar