Sabtu, 31 Agustus 2019

Mengkhayal Ibu Kota

Putu Setia | @mpujayaprema

Mau menebak siapa menteri yang kira-kira dipertahankan Presiden Jokowi di periode kedua ini? Ada teman yang bilang, pantau saja siapa menteri yang paling banyak berbicara soal pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.

Jangan sepenuhnya percaya. Tapi memang soal pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur sangat menyita tayangan televisi dan cuitan media sosial. Begitu Presiden Joko Widodo meminta izin memindahkan ibu kota dalam pidato kenegaraan, pujian langsung membahana. Saat Kalimantan Timur disebut belakangan, pujian kian mengalir. Lahan yang luas milik negara, kawasan yang minim bencana, hutan yang masih perawan, dan seterusnya. Bahwa kawasan itu pernah dilanda gempa dengan tsunami dasyat tak lagi terdengar beritanya. Apalagi lubang-lubang tambang batubara yang masih menganga dan sebagian lahan dikuasai keluarga Prabowo Subianto, tak lagi digubris orang.

Presiden Jokowi menyebutkan kajian ibu kota baru sudah dilakukan. Cuma tak dijelaskan, siapa pakar yang ikut mengkaji, apa saja yang sudah dikaji dan bagaimana uraiannya. Sudah keburu minta izin kepada DPR. Lalu Ketua DPR siap menanti usulan adanya rancangan undang-undang. Jadi? Landasan hukum saja belum dirancang, ibu kota baru sudah mulai terbayang, betapa megah dan dasyatnya. Kita sibuk berkhayal.

Para menteri gencar memberi pernyataan apa yang dibangun. Menteri Perhubungan, misalnya, siap membangun MRT (Moda Raya Terpadu), LRT (Light Rail Transit), BRT (Bus Rapid Transit). Itu yang canggih-canggih selain infrastruktur dasar. Menteri PU dan Perumahan Rakyat, sesuai nama kementriannya, membangun gedung dan rumah dinas. Betapa banyaknya itu, dari istana sampai gedung lembaga tinggi negara, 34 gedung kementrian, ribuan rumah dinas, rumah sakit, sekolah dan seterusnya. Semua menteri terkait mengaku sudah merancang fasilitas yang diperlukan, seolah-olah (atau mungkin sudah yakin) mereka bakal dipilih lagi oleh Jokowi.

Apa cukup waktu lima tahun membangun ibu kota baru? Masyarakat begitu yakin apa pun yang dibangun Jokowi pasti bisa. Bandung Bondowoso saja bisa membangun Candi Roro Jonggrang dalam waktu semalam, masak Jokowi tak bisa membangun ibu kota dalam lima tahun. Optimisme ini justru membuat sebagian besar pegawai negeri menolak pemindahan ibukota. Mereka khawatir fasilitas buat keluarganya masih terkendala.

Menteri Penertiban Aparatur Negara meredam kegelisahan itu dengan menyebutkan kepindahan pegawai negeri tentu setelah semua fasilitas tersedia, termasuk perumahan, sekolah dan seterusnya. Menteri mengingatkan agar jangan panik. Barangkali pegawai negeri ini tak menyadari kepindahan itu masih lama, bahkan mungkin baru terwujud setelah mereka pensiun. Bukankah Presiden Jokowi saja tak akan pindah ke ibu kota baru karena sudah pensiun?

Kehebohan memindahkan ibu kota begitu berlebihan. Mestinya pakai tahap-tahapan, adakan kajian yang matang tentang lokasi. Lalu susun rencana yang rapi termasuk biayanya. Buat landasan hukumnya bersama DPR, bukan cuma minta izin. Yang terjadi sekarang lebih banyak ributnya. Habis energi untuk urusan yang masih berstatus khayalan. Padahal masih banyak urusan lain yang lebih mendesak.

Papua bergolak serius, BPJS bermasalah, intoleransi terus terjadi justru di tempat-tempat umat beribadah, hoax masih menyebar, ancaman kekeringan menunggu. Apakah negara atau ada menteri yang fokus memperhatikan urusan ini? Atau karena urusan ini rada berat diselesaikan, lantas dicari isu untuk menutupi, yakni pindah ibu kota? 

(Cari Angin Koran Tempo 31 Agustus 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar