Putu Setia | @mpujayaprema
Kabinet Jokowi jilid 2 bernama Kabinet Indonesia Maju. Namun yang terjadi
sebaliknya, bangsa ini seperti melangkah mundur. Meski langkah mundur itu baru
wacana, perbincangan menyita energi bangsa, membuat orang bertanya-tanya.
Diawali ide mengamandemen UUD 1945 untuk yang kelima kalinya. Ada partai
yang nafsu banget ingin memasukkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
ke konstitusi. Ini disebut sebagai amandemen terbatas Majelis Permusyawaratan
Rakyat, tanpa mengutak-atik pasal lain.
GBHN dianggap perlu seperti era Orde Baru. Ada haluan negara yang
menggambarkan tahap-tahap pembangunan, sehingga jelas perjalanan bangsa ini. Kapan
landasannya dibuat, kapan pesawatnya di landasan, dan kapan tinggal landas.
Haluan negara dibuat untuk lima tahun sesuai dengan masa jabatan presiden yang
akan menjalankannya. Lima tahun berikutnya kembali diperbarui. Karena haluan
ini harus menyambung dengan haluan sebelumnya, presiden yang menjalankan haluan
tak perlu diperbarui. Begitulah Soeharto memimpin bangsa ini berulang kali.
Membuat haluan itulah yang mau ditiru MPR periode 2019-2024. Jika sudah
masuk konstitusi, tentu MPR periode setelahnya kembali membuat GBHN. Maka, demi
“pembangunan berkesinambungan” Jokowi bisa menjadi presiden tiga periode,
bahkan lebih. Ini bukan wacana di angan-angan, tapi sudah disuarakan. Adalah
Suhendra Hadikuntono, seorang pengamat intelijen, yang menyebutkan MPR dapat mengamandemen
Pasal 7 UUD 1945 supaya Presiden Joko Widodo bisa menjabat tiga periode. Suhendra menyebutkan, tanpa kesinambungan kepemimpinan
Presiden Jokowi lima tahun lagi setelah 2024, mereka khawatir berbagai proyek
strategis nasional tidak akan berjalan sesuai rencana. "Jadi, kita usulkan
MPR mempertimbangkan untuk mengamandemen UUD 1945, agar Presiden Jokowi bisa
menjabat tiga periode," kata Suhendra.
Jika ini terjadi, amandemen konstitusi bisa
tidak terbatas. Tentu tak bisa disebut gagasan liar, sepanjang agendanya ada
dan disuarakan dalam sidang, semuanya sah saja. Namun, apakah rakyat tega
melihat wakil-wakilnya melakukan langkah mundur di jalan demokrasi ini? Tuduhan
itu juga tak mudah, siapa yang bisa mengatasnamakan rakyat?
Sayang sekali, dalam hal amandemen
konstitusi, Jokowi memilih diam. Seharusnya dia bicara seperti saat menolak
pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD. Bukankah Jokowi dengan
gamblang menyebutkan bahwa dalam pemerintahannya hanya ada visi dan misi
presiden? Tak ada visi dan misi dari orang lain, termasuk para menterinya.
Kenapa pula MPR harus membuatkan visi dan misi dalam bentuk haluan negara? Bagaimana
kalau haluan itu tak sesuai dengan visi dan misi presiden? Ke mana kapal itu
akan berlayar? Presiden saat ini tak lagi menjalankan mandat MPR, tapi
menjalankan mandat rakyat yang memilihnya secara langsung.
Kalau keran amandemen dibuka, banyak
rembesan akan muncul. Satu kelompok tak bisa mengklaim gagasannya yang benar, sementara
gagasan lain liar. Kalau amandemen untuk langkah maju ke depan, tentu tak
masalah. Misalnya, menguatkan kembali sistem pencalonan presiden yang dilakukan
partai peserta pemilu, bukan memakai ambang batas hasil pemilu sebelumnya, yang
suaranya sudah usang. Atau pemilihan presiden dilangsungkan setelah pemilu
legislatif sehingga jelas komposisi dukungannya.
Sulitnya, apakah ini langkah maju atau mundur
tergantung cara pandangnya. Yang sudah pasti, jika presiden tak dibatasi masa
jabatannya dan pemilihannya oleh MPR, itu secara nyata sudah langkah mundur.
Apa kita mau ke sana?
(Cari Angin Koran Tempo 23 November 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar