Sabtu, 28 Maret 2020

Dokter

Putu Setia | @mpujayaprema

Dia hanya dokter umum. Satu-satunya dokter yang praktek di kampung saya, dusun kecil di lereng Batukaru, 46 kilometer dari kota kabupaten. Saya mendatangi prakteknya di sore hari itu dengan sedikit terpaksa.

Pagi sebelumnya, saya menelepon ke rumah sakit swasta di kota. Dokter langganan saya adalah spesialis penyakit dalam. Saya pesan nomor antrean. Ketika ditanya saya sebutkan keluhannya batuk-batuk. “Batuk? Kenapa tidak ke dokter paru-paru? Kebetulan di sini tak ada poliklinik paru, nanti saya berikan informasi,” kata petugas pendaftaran pasien. Saya menjawab, sudah sering ke sini dengan keluhan batuk. “Mohon maaf Bapak, sekarang pasien batuk ada yang menangani khusus. Kalau Bapak ikut BPJS sebaiknya cari rujukan ke Puskesmas,” kata petugas itu. Saya paham. Saat ini, orang dengan keluhan batuk dan demam, menjadi pesakitan paling sial. 

Fasilitas kesehatan (faskes) pertama saya bukan di Puskesmas. Ketika mendaftar BPJS, saya memilih dokter sebagai faskes pertama karena Puskesmas terdekat 13 kilometer jauhnya. Maklum Kartu Tanda Penduduk saya di desa, kalau mencari faskes di kota di mana saya lebih sering tinggal, harus pindah domisili.

Pintu kamar praktek terbuka. Dokter menyambut dengan senyum di belakang meja prakteknya, jarak sekitar 2 meter. “Ada keluhan apa?” tanyanya setelah basai-basi sejenak. “Batuk-batuk, dok.”
Dia kaget. Lalu menggeser kursinya agak menjauh. “Batuk? Saya sudah memberi tulisan di ruang tunggu, yang batuk dan demam supaya langsung ke Puskesmas. Supaya ditangani lebih baik,” katanya.

Dokter bertanya selama ini apa yang saya lakukan. Saya katakan sudah seminggu lebih diam di rumah. Tapi anak saya tetap bekerja di hotel. Dia sehat-sehat saja. Apa dia membawa virus corona ke rumah? Soal batuk, bukan sekali ini. Sudah lama paru-paru saya bermasalah. Setiap pulang ke kampung, mungkin karena ada pergantian udara, batuk kambuh. Minum obat langsung reda.
Dokter memberi saran. “Kita sama-sama waspada. Bapak kan sangat welcome informasi. Minum obat batuk yang biasa digunakan. Semoga cepat sembuh.

https://youtu.be/peic-5flDTA

Dokter itu tak pernah mendekat ke arah saya. Boro-boro memeriksa dada saya. Sebelum saya pulang dia berkata: “Kalau batuknya tak reda, nanti saya berikan rekomendasi ke rumah sakit, suruh orang lain mengambil ke sini.”

Dokter adalah manusia biasa. Punya rasa takut. Namun tanggungjawabnya yang besar sering mengalahkan rasa takut. Resikonya bisa berakibat fatal. Dokter Hadio Ali Khazatsin yang masih muda, Bambang Sutrisna yang meninggal mengenaskan, Djoko Judodjoko, Laurentius Panggabean, Adi Mirsaputra, Ucok Martin Tambunan dan Toni Daniel Silitonga adalah korban dari memuliakan tanggungjawab profesi. Mereka di garda depan menyelamatkan pasien copid-19 dengan mempertaruhkan nyawanya.

Penduduk kota Wuhan, sumber virus corona ini, berbondong-bondong ke jalan, melambaikan tangan memberi penghormatan ketika para dokter menyelesaikan tugasnya di kota itu. Apa yang kita lakukan kepada dokter di negeri ini?

Selain utang rasa tak terhingga, sejawat mereka yang masih berjuang, seharusnya mendapat perlindungan yang prima. Alat perlindungan diri harus maksimal diberikan kepada mereka. Juga tes kesehatan untuk dokter dan keluarga mereka harus menjadi prioritas utama – dibandingkan, misalnya, anggota DPR.

Kalau dokter sampai ketakutan, dampaknya luar biasa. Semua pasien, termasuk yang tak ada urusan dengan virus corona, menjadi korban. Rumah sakit sudah membatasi pasien dan yang dirawat inap tak bisa ditunggui keluarganya. Menyedihkan.

(Koran Tempo Akhir Pekan 28 Maret 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar