Sabtu, 14 Maret 2020

Rahasia Corona

Putu Setia | @mpujayaprema

Juventus, klub bola kaya di Italia, mengumumkan salah satu pemainnya, Daniele Rugani, positif terkena virus corona. Aktor  Tom Hanks dan istrinya menyatakan secara terbuka bahwa mereka positif corona di Australia. Wakil Presiden Iran, Masoumeh Ebtaker,  juga didiagnosis positif terinfeksi virus corona. 


Ini bukan aib. Keterbukaan itu membuat masyarakat lebih waspada. Penggemar bola, pengagum Hanks, para pejabat di Iran, harus menjaga jarak dengan mereka yang terinsfeksi.
Di Indonesia semuanya dirahasiakan. Pasien tak boleh disiarkan namanya, bahkan alamat rumahnya, termasuk di mana dirawat. Konon itu adalah etika kedokteran. Maka untuk menyebut identitas mereka dibuatlah kode berdasar nomor urut pasien yang positif corona. Disebut pasien Kasus 1, Kasus 2 dan seterusnya. 

Bahwa pasien Kasus 1 dan Kasus 2 diketahui berasal dari Depok, itu termasuk “kecelakaan komunikasi”.  Pemerintah Kota Depok mengumumkannya dengan niat baik supaya orang waspada ke tempat itu, siapa tahu virus masih gentayangan di sana. Begitu pula keberadaan di rumah sakit. Pada saat sampai Kasus 17, RSPI Sulianti Saroso mengumumkan ada 9 pasien positif yang dirawat di sana. Kemudian RS Persahabatan menyebut ada menampung 2 pasien. Lalu sisanya di mana? Masyarakat bertanya-tanya.

Ketika pasien sampai hitungan Kasus 29, juru bicara khusus pemerintah soal virus corona, Achmad Yurianto, mengumumkan pasien Kasus 25 meninggal dunia. Dia warganegara asing asal Inggris. Meninggal di mana? Tidak disebutkan awalnya. Sampai suatu saat Sekda Pemda Bali Dewa Made Indra selaku Ketua Satuan Tugas Penanggulangan COVID-19 Provinsi Bali, memberi keterangan pers bahwa ada WNA asal Inggris berusia 53 tahun meninggal di RSUP Sanglah dalam status “pengawasan” dari virus corona. Apakah WNA yang meninggal ini sama dengan pasien Kasus 25? Ternyata itulah yang dimaksud. Sejumlah orang kaget ternyata ada pasien corona di rumah sakit di Bali. Yang lebih mengagetkan, Pemda Bali baru tahu kalau WNA yang meninggal itu positif virus corona. Karena itu jenazah diperlakukan khusus dan langsung dikremasi siang harinya. Ini korban pertama di Indonesia.


Kerahasiaan menangani pasien corona berakibat serius. Meski diumumkan kematian perempuan itu karena penyakit lain, namun virus corona positif di tubuhnya. Lalu kenapa saat masuk ke Bali, sepuluh hari sebelum kematian, tidak terdeteksi di Bandara Ngurah Rai? Lantas ke mana saja dia gentayangan sebelum masuk rumah sakit? Pertanyaan besarnya, siapa saja yang kontak dekat dengan perempuan itu? Dinas Kesehatan Bali berhasil melacak ada 21 orang yang kontak dengan perempuan itu. Mereka sebatas petugas di bandara, karyawan hotel tempat menginap, perawat di rumah sakit. Mereka kemudian diisolasi di rumahnya masing-masing. Mungkin masih ada kontak-kontak yang lain, tetapi bagaimana mencari informasi karena perempuan itu sudah dikremasi? Tak mungkin pula masyarakat disuruh melapor kalau pernah kontak dengan perempuan itu. Banyak sekali ada turis cewek yang keluyuran di Bali, bagaimana masyarakat mengingat satu persatu.

Kita berharap sangat – termasuk lewat doa– virus corona ini segera berakhir. Yang lebih penting kita memperbaiki cara berkomunikasi. Kalau etika kedokteran menyebutkan pasien harus dilindungi identitasnya, apa semua hal harus dirahasiakan? Apakah antar pejabat juga saling merahasiakan? Apa gubernur tak boleh tahu ada pasien corona positif dirawat di daerahnya? Jika komunikasi baik, tak selalu keterbukaan membuat orang panik.

(Koran Tempo 14 Maret 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar