Sabtu, 04 Juli 2020

Marah

Putu Setia | @mpujayaprema

 Marah adalah sifat dasar manusia. Tapi mengumbar marah sangat bergantung pada situasi dan posisi seseorang. Konon seorang pendeta yang pemarah adalah jauh dari etika kependetaan seperti welas asih dan mengayomi. Begitu pula seorang pemimpin, menurut ajaran etika leluhur Nusantara, apakah itu dari Kekawin Ramayana, Sutasoma, dan banyak lagi yang teksnya masih berbahasa Jawa Kuno.

 Orang yang suka marah apalagi dilontarkan di depan umum tidak layak menjadi pemimpin. Tapi situasi membuat banyak pemimpin di masa lalu menyalahi etika kepemimpinan itu. Raja-raja pemarah dan bahkan lebih sadis lagi, membunuh lawannya hanya untuk melanggengkan kekuasannya.

 Mana ada pemimpin yang tidak pernah marah? Namun karakter seseorang membedakan kadar marah itu. Soeharto, presiden yang paling lama berkuasa di negeri ini, beda cara menumpahkan marah. Kata “gebug” dia ucapkan di atas pesawat dengan wajah senyum sebagai pelampiasan amarah kepada lawan-lawan politiknya.

 

https://youtu.be/gIrZw26gKU8

Susilo Bambang Yudhoyono yang tutur katanya amat tertata, juga berkali-kali marah. Dia pernah menghardik seseorang yang nampak tidur tatkala SBY berpidato. Menurut mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, SBY sering memarahi para menteri, tetapi tak pernah dibocorkan keluar karena masalah etika.

Prabowo Subianto, calon presiden yang kini berhasil menduduki jabatan pembantu presiden, menggebrak meja podium karena tak terkendali menahan marah. Kalau presiden dan calon presiden saja begitu, apalagi gubernur dan walikota. Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok biasa memarahi staf dan warga Jakarta setiap saat. Kata-katanya pun nyaris menyakitkan.

Apalagi seorang walikota, sebut saja Tri Rismaharini. Jika sedang marah, Wali Kota Surabaya ini sudah sulit disebut seorang pemimpin, jika kita mengacu kepada sastra lama tentang etika kepemimpinan. Dia bisa memarahi stafnya dengan kata-kata yang keras nyaris kasar, meski Risma tahu ada yang merekam kemarahannya itu. Risma tak peduli, sama tidak pedulinya ketika dia menangis dan sujud meminta maaf kepada para dokter di Surabaya, baru-baru ini.

Karena itu, kenapa kita harus repot membahas kemarahan Presiden Jokowi kepala para menterinya, yang tidak memiliki naluri krisis dalam menangani wabah Covid-19 ini? Apakah selama ini kita masih terpesona oleh kesan bahwa Jokowi presiden yang pendiam? Presiden yang merakyat, masuk ke gorong-gorong dan naik motor tril, membagikan sertifikat tanah yang di masa Soeharto tugas semacam itu dikerjakan oleh para lurah. Apalagi Jokowi memarahi para menterinya di sebuah acara intern, rapat kabinet.

Masalahnya adalah kemarahan Jokowi itu jadi tanda tanya besar karena mendompleng kemajuan teknologi. Marah yang disiarkan tertunda. Sudah 10 hari marah, baru dibocorkan ke publik. Ada apa gerangan? Ini menjadi isu liar seperti halnya apa yang dipikirkan Jokowi saat marah: “Saya berpikirnya ke mana-mana...”

Apakah marah yang delay ini untuk mengalihkan isu tertentu? Ekonomi makin terpuruk dan lonjakan jumlah kasus positif corona makin tinggi, rakyat perlu melupakan sejenak masalah itu. Atau, boleh jadi Jokowi heran, setelah dia marah kok menteri yang dimarahi tidak melakukan reaksi, misalnya, mbok sadar lalu mundur. Karena tak ada reaksi apa pun, maka Jokowi berpikir: “Sudahlah siarkan saja kemarahan itu, biar rakyat yang menilai.”

Lantas rakyat pun menilai dengan gegap. Ganti menteri. Bubarkan lembaga yang tak perlu. Jika reaksi rakyat seperti itu, dan Jokowi ternyata tak juga melakukan apa-apa, artinya ini kemarahan pencitraan. Yuk, lupakan.

 (Koran Tempo 4 Juli 2020)

 

 

 

 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar