Minggu, 07 Februari 2021

Naskah Teks: Urun Rembug Reformasi PHDI

(Catatan: Ini teks lengkap versi video di Channel YouTube)

Om Swastyastu. Salam sehat sahabat semuanya. Urun rembug ini saya mulai dengan masalah yang ramai belakangan ini dibicarakan di media sosial. Menyangkut urusan agama, tapi bisa juga dikaitkan dengan masalah sosial atau malah budaya. Yaitu menjelang Mahasabha PHDI, organisasi umat Hindu yang paling kontroversial belakangan ini. Mahasabhanya masih jauh, di bulan Oktober nanti, akan digelar di Jakarta. Itu pun mungkin secara virtual pula, apakah covid-19 sudah reda bulan itu, kita tak tahu.

Mahasabha ini disoroti sejumlah kalangan karena PHDI sendiri dalam sorotan. Bahkan sorotan ke PHDI sudah sampai kepada hujatan kalau tak bisa dikatakan sebagai caci maki. Persoalannya apalagi kalau bukan soal HK, di mana PHDI melakukan kesalahan yang luar biasa memberi pengayoman kepada HK sebagai sampradaya. Tapi okelah, soal itu kita singgung sambil lalu nantinya. Yang penting mau saya katakan saat ini adalah Mahasabha akan digelar tahun ini dan banyak orang mengharapkan agar Parisada direformasi. Begitu banyak kelemahan yang dilihat orang saat ini. Desakan agar PHDI mencabut pengayoman kepada HK yang sudah disetujui oleh beberapa pengurus PHDI daerah tidak direspon oleh PHDI Pusat yang punya wewenang untuk itu. Singkatnya elemen Hindu yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat dalam bentuk perkumpulan sepakat untuk berjuang membersihkan PHDI dari unsur sampradaya – begitulah bahasa versi mereka yang menghendaki perubahan itu.

Persoalannya adalah apakah bisa elemen Hindu yang banyak bersuara lewat media sosial itu mau mengubah PHDI lewat Mahasabha? Memangnya siapa mereka dan bagaimana hubungan mereka dengan Parisada? Apakah mereka bisa ikut Mahasabha? Lewat apa kalau ikut? Terus kalau tidak ikut siapa yang membawa suara mereka ke Mahasabha?

Karena itu saya mau mengawali urun rembug ini dengan membedah bagaimana status PHDI sekarang ini. PHDI saat ini adalah ormas dalam bentuk perkumpulan. Ini bukan saya mengarang, tetapi nyata ada di dalam anggaran dasarnya. Pasal 3 AD PHDI menyebutnya soal itu: Ayo kita baca sama-sana.

 


Saya termasuk mempermasalahkan hal ini. Oya, saya cerita dulu soal keaktifan saya di PHDI. Saya sudah terlibat di PHDI Pusat sejak 1996 saat Mahasabha di Solo. Namun saat itu saya belum bersedia menjadi pengurus. Pada Mahasabha 2001 di Hotel Radison Sanur – ini Mahasabha yang paling heboh – saya bertarung berebut jabatan Sekretaris Umum PHDI. Belum pernah dalam sejarah Mahasabha ada rebutan jabatan dengan voting, saya ingin memelopori sekaligus ingin mengajarkan berorganisasi yang baik. Yealah…

Ternyata dalam pemungutan suara saya dikalahkan oleh Pak Adi Soeripto, tokoh Hindu Jawa yang sangat popular di Jakarta. Kini beliau sudah almarhum. Waktu itu Ketua Umum terpilih Bapak I N Suwandha, mantan wakil Jaksa Agung, yang kini juga sudah almarhum. Dalam Mahasabha di Radison ini saya tak ikut menjadi pengurus harian, maklum kalau sudah jadi pecundang jangan ikut jabatan – begitu etikanya. Tapi beberapa bulan kemudian, Pak Suwandha menunjuk saya menjadi Ketua Badan Penyiaran Hindu. Saya bersedia karena saya punya teman banyak di stasiun televisi swasta. Jadi mudah bikin siaran Hindu.

Mahasabha selanjutnya, tahun 2006 di Jakarta saya masuk sebagai anggota Sabha Walaka, lalu ditunjuk sebagai Wakil Ketua Sabha Walaka. Ketuanya waktu itu Pak Ketut Wiana. Ketua Umum PHDI saat itu terpilih Pak Errata, orang pajak. Tapi tahun 2009 karena saya sudah melinggih dan didiksa sebagai pandita Mpu, saya mengundurkan diri. Tidak boleh Pandita menjadi Sabha Walaka, itu dua lembaga yang berbeda. Nah pada Mahasabha tahun 2011 di Bali Beach Sanur dalam posisi sebagai sulinggih saya terpilih sebagai anggota Sabha Pandita. Ketua Sabha Pandita atau Dharma Adhyaksa adalah Pedanda Sebali Tianyar, malah ini jabatannya yang ketiga kalinya.

Lalu kapan ada upaya menjadikan PHDI sebagai ormas? Rupanya dimulai pada periode ini saat Ketua Umum PHDI dipegang Pak Suwisma. Entah kapan persisnya, saya baru tahu ketika ada Pesamuhan Agung di Palangkaraya pada tahun 2015. Saat itu saya Bersama beberapa orang lain sudah protes, tak bisa PHDI dijadikan ormas, harus tetap majelis umat. Tapi pengurus tetap ngotot harus berbentuk ormas karena memudahkan untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah. Sebagai pandita tentu saya mengalah, toh keputusan Paruman Agung itu hanyalah masukan untuk Mahasabha. Biarlah nanti Mahasabha yang memutuskan.

Tibalah saatnya Mahasabha di Surabaya tahun 2016. PHDI sebagai ormas dimasukkan resmi dalam AD, meski pun pada pasal 3, sementara di pasal 2 masih ada sebutan majelis umat. Coba kita baca lagi pasal 2 lalu pasal 3.



Saya katakan kita tak bisa mendua, di satu sisi PHDI majelis umat di satu sisi ormas perkumpulan. Saya usulkan, ormas itu adalah urusan kita untuk mendaftar ke Menhumkam, karena memang untuk mendaftar ke Menhunkam harus ada badan hukum: ormas, Yayasan, PT, CV, koperasi. Jadi, kita bisa saja berbentuk ormas ketika pendaftaran di Menhumkam, tetapi dalam prakteknya kita harus tetap majelis umat. Jadi yang masuk dalam pasal2 AD/ART adalah majelis, ormasnya urusan interen kita menghadapi pendaftaran di Menhumkam. Saya kalah karena orang lebih ngotot harus jelas PHDI ormas perkumpulan. Lalu di Mahasabha Surabaya 2016 itu saya mengndurkan diri atau lebih tepat disebut sebagai tak mau lagi duduk di Sabha Pandita. Tak ikut lagi dalam rapat sampai Mahasabha selesai. Demikian ceritanya.



Nah apa resiko dari keormasan PHDI itu? Seluruh AD/ART jadinya bernuansa ormas. Namanya saja ormas perkumpulan, yang berkumpul itu adalah pemilik dari ormas itu sendiri. Yang tak ikut berkumpul di sana, ya, bukan memiliki Parisada. Artinya, PHDI itu ada pengurus pusat, pengurus daerah tingkat I, pengurus tingkat II, pengurus kecamatan, pengurus desa/kelurahan. Sama dengan partai atau ormas lainnuya. Pengurus daerah tunduk pada pengurus pusat dan seterusnya. Coba baca seluruh AD/ART.

Jadi, kalau ada Mahasabha, seperti bulan Oktober nanti, siapa yang bisa hadir di sana? Ya pengurus daerah, pengurus kabupaten, atau bisa yang bukan pengurus tetapi harus mendapat rekomendasi dari PHDI Kabupaten dan Provinsi. Artinya, Mahasabha itu hanya dihadiri oleh orang2 itu saja, wong mereka anggotanya kok. Yang koar-koar sekarang di medsos, apakah itu yang bernama Taksu Bali, Puskor,

Kearifan Hindu dan entah apa lagi, kalau bukan pengurus PHDI ya tak bisa ikut. Yuk kita baca bunyi ART soal siapa yang boleh ikut Mahasabha.



Jadi yang koar-koar mau mereformasi PHDI paling banter hanya bisa menjadi peninjau Mahasabha. Itu pun kalau diundang.

Bagaimana mau mereformasi PHDI? Ketika Mahasabha di Surabaya saja, bahkan saat itu belum resmi jadi ormas dalam AD/ART, sekitar 30 sulinggih dari Bali tak bisa masuk ke ruang Mahasabha karena bukan anggota. Padahal mereka sudah sampai di Surabaya.

Karena itu sangat tidak masuk akal kalau ada yang mau mereformasi PHDI lewat Mahasabha semasih yang bisa hadir di Mahasabha adalah sistem yang diterapkan dalam ormas ini. Ke depan ini yang harus dibenahi. Kembalikan PHDI menjadi  majelis umat, bukan saja dimasukkan dalam AD/ART tetapi praktek menjalankan majelis itu tercermin di sana. PHDI milik umat, bukan milik perkumpulan orang-orang sebagaimana bunyi AD-nya. Karena PHDI milik umat maka Mahasabha haruslah tercermin bagaimana wakil-wakil umat ada di sana, bukan cuma pengurus daerah saja. Ini yang harus dipikirkan. Bagaimana mekanismenya? Ayo kita cari jalan keluarnya, kembali ke Piagam Campuhan sebagai cikal bakalnya PHDI.

Dalam bayangan saya, maaf ini pemikiran awal saja yang bisa dikembangkan, peserta Mahasabha itu sebanyak-banyaknya wakil umat. Siapa yang menunjuk? Kita harus lihat tatanan masyarakat Bali saat ini. Ada desa dinas, ada desa adat. Mereka itu yang harusnya mewakili umat Hindu. Desa dinas hulunya di pemerintahan, siapa organ pemerintah yang mengurusi agama Hindu? Ada kantor agama atau mungkin dinas kebudayaan atau ya pemda kabupaten dalam hal ini bupati. Lalu desa adat hulunya MDA atau dinas pemajuan adat yang sudah terbentuk. Nah, kedua lembaga ini berembug dengan pengurus PHDI untuk menentukan siapa peserta Mahasabha. Jika perlu atau mungkin harus dilibatkan adalah bupati dan walikota sebagai penentu akhir. Nah, mereka inilah yang berangkat ke Mahasabha untuk menentukan jalannya majelis umat PHDI ini beserta memilih pengurusnya.

Sekali lagi ini pemikiran awal, bisa dicari alternatif lain atau dikembangkan. Yang jelas bukan pengurus PHDI saja yang ikut Mahasabha, nantinya akan dapat pengurus yang itu itu saja bertahun-tahun.

 

Banyak yang Perlu Dibenahi

Memang banyak yang perlu dibenahi di PHDI, terutama tentu saja di mulai dari AD ARTnya, karena di sini arah dari perjalanan organisasi. Coba saya uraikan beberapa hal yang perlu diperbaiki. Mulai dari yang paling ramai saat ini, soal pengayoman kepada sampradaya HK. Kalau PHDI sudah di awal AD mencantumkan diri sebagai majelis umat, otomatis pengayoman itu melekat kepada umat Hindu. Lha, apa gunanya majelis kalau tidak mengayomi, majelis itu otomatis mengayomi. Jika perlu pasal 2 tentang majelis itu ditambahkan kata mengayomi sehingga bunyinya begini:

PHDI adalah majelis tertinggi umat Hindu di Indonesia yang mengayomi seluruh umat Hindu Nusantara yang independen.

Tak usah ada kata bersifat keagamaan, memangnya ini majelis tukang pancing, kan jelas majelis agama.

Nah, kalau di pasal awal sudah jelas begitu apalagi pasal 3 soal ormas perkumpulan itu dicabut, maka tak perlu lagi ada pasal soal pengayoman, seperti AD sekarang ini. Coba baca pasal 41 AD saat ini soal pengayoman.



Pasal ini tidak perlu, hapus pasal ini. Setiap umat Hindu dan siapa pun yang mengaku Hindu, tinggal di Indonesia, otomatis diayomi oleh majelis PHDI. Tak peduli mereka dari Bali, Jawa, Sulawesi dan seterusnya. Apakah warga pasek, pande, bujangga, dalem dan seterusnya. Semua diayomi karena PHDI majelis. Dengan begitu tak berlaku lagi apa yang disebut surat pengayoman ke HK. Artinya surat pengayoman, kepada siapa pun tak perlu ada. Memangnya PHDI harus membuat jutaan surat pengayoman, kan tidak.

Lagi pula, pengayoman PHDI ke HK itu bukan pengayoman lembaga. Itu pengayoman Ketua Umum PHDI sendirian, hanya memakai kop surat PHDI dan stemple. Tak ada tanda tangan sekretaris Umum PHDI, tak pernah ada dibahas di rapat-rapat, minimal tak pernah dilaporkan ke paruman Sabha Pandita. Di PHDI itu Sabha Pandita kedudukan tertinggi, pengurus harian hanya pelaksana. Saya katakan ini surat pengayoman abal-abal karena pada saat surat itu dikeluarkan saya masih pengurus di Sabha Pandita. Tak pernah mendengar ada pengayoman itu. Lagi pula aneh, kalau HK dapat surat pengayoman, apa yang lain juga dapat? Tak ada, jadi di mana keadilan? Ini kalau kita bicara formal dan menganggap surat itu penting. Jadi lupakan surat pengayoman itu, otomatis tidak berlaku kalau pasal pengayoman ini dicabut dalam AD. Ya boleh saja resminya dicabut meski pun aneh juga, surat tanpa pernah dibahas oleh majelis tiba-tiba dicabut oleh majelis.

Soal desakan HK dikeluarkan dari PHDI karena mengembangkan budaya asing di Hindu Nusantara, ada benarnya juga. PHDI itu jelas ada kata I artinya Indonesia. Artinya lagi ini Hindu berbudaya Indonesia, berbudaya Nusantara. MDA menyebutnya Hindu dresta Bali, meski pun saya tak merasa cocok disebut dresta. Dresta itu beda dengan budaya, tapi sudahlah… ini panjang kalau diuraikan. Dalam AD PHDI jelas disebutkan PHDI mengembangkan Hindu dengan kearifan lokal. Coba baca pasal 9 AD.

Banyak yang menyimpang sekarang ini. Masa jabatan pengurus dan rangkap jabatan, misalnya. Ada yang sudah tiga kali menjabat, jadi kesannya kok dia dia terus. Padahal ART PHDI ada pembatasan pengurus. Coba baca pasal 6 ART.

 



Coba baca pasal 27 AD

 


 Nah jelas sekali, rangkap jabatan itu dilarang AD. Tapi apa kenyataannya? Putu Wirata, menjadi pengurus di Sabha Walaka Pusat merangkap menjadi Sekretaris di PHDI Bali. Gde Rudia juga di Sabha Walaka Pusat merangkap sebagai Ketua PHDI Kabupaten Badung. Masalahnya, apakah mereka kemaruk jabatan? Belum tentu juga, karena tidak ada yang lain. Kenapa tak ada yang lain? Lagi-lagi karena ini ormas perkumpulan, mungkin yang mau berkumpul di PHDI itu tidak banyak tokohnya. Jadi bolak balik begitu saja.

Banyak yang perlu diluruskan. Misalnya soal domisili pengurus. Pasal 4 ART.

 

Baca bagian huruh h. Ketua Umum, Sekretaris Umum, dan Bendahara Umum berdomisili di Jabodetabek. Kenapa harus dipersempit begini? Banyak tokoh-tokoh di daerah yang pintar dan mau mengabdikan dirinya, tak bisa menjadi ketua umum PHDI, sekretaris umum pun tidak. Dalam dunia modern sekarang ini komunikasi dan transportasi tidak ada masalah. Ormas Islam Muhammadiyah tetap berkantor pusat di Yogyakarta, di Jakarta hanya cabangnya saja. Kalau menurut saya lebih baik kantor pusat PHDI itu di Bali dan di mana Ketua Umumnya tinggal tak masalah.

Mumpung menyinggung soal Bali, coba lihat AD ART soal PHDI daerah. Baca pasal 19 AD.

 


Pasal 19 AD huruf b dan c tentang Paruman Pandita dan Paruman Walaka ada keterangan dalam kurung: bila dipandang perlu. Bukan harus ada. Nah sekarang PHDI Bali punya apa tidak Paruman Pandita? Tidak jelas, kalau ada siapa orangnya, berapa jumlahnya. Mungkin ada, tapi saya tidak tahu dan tak pernah mendengarnya. Setiap ada surat edaran dari PHDI, baik sendiri maupun edaran Bersama MDA, yang tanda tangan cuma Ketua PHDI. Kesannya bagaimana ya, kok urusan nyejer daksina yang mengimbau walaka, bukan pandita. Nah mungkin paruman Pandita tidak dipandang perlu. Menurut saya sih sangat perlu, Bali itu mayoritas umat Hindu kok urusan kepanditaan tergantung PHDI Pusat yang jauh di Jakarta.

Demikianlah urun rembug saya kali ini, mungkin agak panjang, dan kalau semua dibicarakan bisa lebih panjang lagi. Bukan bermaksud untuk memperpanjang keruwetan, tapi mencoba menawarkan jalan keluar dari keramaian yang sesungguhnya tak perlu ada. Banyak yang perlu dibenahi lagi untuk perbaikan lewat Mahasabha yang akan datang. Masalahnya adalah, siapa yang bisa ikut Mahasabha, ini persoalan penting lagi. Lain kali saya urun rembugkan lagi.

Rahayu. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar