Putu Setia | @mpujayaprema
Ikut trenyuh menyaksikan emak-emak yang meminta anaknya
pulang dan tidak ikut-ikutan demo. Mungkin anak itu simbolis saja, siapa tahu
emak-emak itu tidak punya anak yang masih bersekolah. Dengan penjagaan yang
ketat, kuat dugaan adegan ini direkayasa. Mungkin saat ini suara emak-emak
lebih didengar dibanding suara pejabat, apakah itu menteri atau presiden.
Pulanglah nak, pulang. Tugasmu
belajar, bukan demonstrasi.
Nadanya memohon dengan bahasa kasih sayang. Bukan menghardik
sebagaimana tayangan lain, misalnya, video orang yang mengintrograsi seorang
pelajar. “Kamu tahu maksud demo ini? Kamu tahu undang-undang yang diprotes?”
Aduh, pelajar itu dipermalukan oleh sang introgrator – saya tak tahu apa dia
polisi, tentara, atau siapa. Wajahnya tak diperlihatkan. Introgrator penakut.
Para pelajar yang disebut masih bersekolah di STM itu terus
saja melakukan aksi demo. Ada tagar #STMmelawan menyertai #MahasiswaBergerak
yang akhirnya menjadi #stmmahasiswabersatu.
Rusuh terjadi. Pelajar STM menjadi
korban kekerasan polisi, sesuatu yang memang sudah resiko seorang pendemo di
negeri ini. Saya tak begitu kaget meski selalu prihatin dan berdoa tak ada
korban. Yang sangat membuat kaget, ada video hoax yang menyudutkan pendemo
muda, seolah-olah para pelajar ini sudah menyiapkan dari awal kerusuhan dengan
cara mengumpulkan batu di mobil ambulance. Banyak orang percaya lalu
menyalahkan supir ambulance beserta dokter dan perawat di dalamnya. Juga Pemda
DKI Jakarta karena satu dari empat ambulance itu milik Pemda, lainnya milik
PMI. Dokter, perawat dan supir diperiksa polisi. Syukur kemudian polisi meralat
hoax ini dan menghapus postingannya di Twitter. Yang terjadi pendemo berlindung
di mobil ambulance sambil membawa kardus yang berisi batu. Saya tak tahu apakah
polisi sudah minta maaf menyebar hoax.
Kembali ke anak-anak STM. (Oh ya, jangan-jangan sebutan STM
lebih bagus dibanding SMK yang kini sudah jadi merek mobil). Perlukah kita
menghujat anak-anak ini? Ada sisi positifnya, mereka tak sekadar belajar
teknik, juga belajar tentang apa yang terjadi di negerinya. Menjelang pemilu
bahkan pimpinan partai politik memberikan bekal kepada mereka bagaimana memilih
pemimpin. Meski komisi perlindungan anak masih menganggap mereka belum dewasa,
namun pelajar di kelas 2 dan 3 sudah banyak yang punya hak suara. Kalau hak
suaranya diambil, kenapa mereka tak boleh menyuarakan keprihatinan terhadap
bangsanya? Mereka melawan karena pemimpin yang dipilihnya dianggap ngawur
membuat undang-undang. Apa yang salah? Soal batu dan kerusuhan itu bisa jadi
karena tindakan aparat yang berlebihan.
Pelajar berpolitik bukan barang baru. Pada masa Orla,
organisasi pelajar yang menjadi onderbauw partai, tumbuh subur. Ada IPNU
(Ikatan Pelajar NU) binaan Partai NU, ada GSNI (Gerakan Siswa Nasional
Indonesia) anaknya PNI, ada IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) asuhan PKI.
Ini sekadar contoh saja. Di masa Orba, sekolah dan kampus dijauhkan dari
politik karena dianggap tidak normal sehingga muncul program Normalisasi
Kehidupan Kampus.
Di Inggris, ada Youth Parliament. Pelajar usia 11 sampai 18
tahun belajar politik di sini. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir belajar
politik sejak muda. Apakah pelajar STM itu tak boleh urun rembug soal korupsi,
tak boleh memprotes undang-undang yang mendenda perempuan pulang malam? Bahwa
ada kejengkelan sehingga mereka melempar aparat dengan batu, itu semacam air
yang tumpah deras tetapi salurannya macet. Dan mereka pun melawan.
(Cari Angin Koran Tempo 28 September 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar