Sabtu, 26 Oktober 2019

Menteri

Putu Setia | @mpujayaprema

Menarik sekali menonton audisi calon menteri kabinet Joko Widodo jilid II yang digelar di Istana Negara. Saya tak beranjak dari televisi hanya untuk memuaskan hasrat bermain tebak-tebakan. Ketika Mahfud MD keluar dari ruang audisi dan menceritakan hasilnya, saya menebaknya ia bakal menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ini adegan pembuka. Semua calon menteri dilarang mengumumkan penunjukan ia ditugaskan di mana. Inilah kelebihan Presiden Jokowi yang membuat penonton tetap penasaran.

Belakangan muncul Yasonna Laoly dan tebakan saya soal Mahfud pun harus direvisi. Yasonna pasti kembali ke habitatnya sebagai Menhukham. Kini tebakan saya menjadikan Mahfud sebagai Menteri Agama. Alasannya, Menteri Agama lazim dari NU. Apalagi diperkuat dengan munculnya Muhajir Effendy, yang saya tebak pasti tetap sebagai Mendikbud. Sudah jadi rahasia umum, jatah NU ada di Kemenag dan jatah Muhamadiyah di Kemendikbud.

Audisi bak sinetron terus berputar. Jenderal (purnawirawan) Fachrul Razi muncul di layar. Tebakan saya, sang jenderal menjadi Menkopolhukam. Siapa lagi yang bisa dijadikan atasan Prabowo Subianto yang sudah diplot sebagai Menteri Pertahanan? Tak mungkin anak muda semacam Nadiem Makarim, pikir saya.

Esoknya, setelah semuanya jelas siapa menjadi apa, ternyata tebakan saya semua meleset. Saya salah menggunakan pakem tradisional, karena itu, tebakan meleset. Saya menduga Fachrul Razi enggan menjadi atasan Prabowo karena pernah “ada kontak” di masa lalu. Lalu Fachrul dijadikan Menteri Agama, tukaran sama Mahfud. Karena jatah NU hilang di Kemenag, supaya adil, jatah Muhammadiyah di Kemendikbud juga harus hilang. Maka Muhajir dijadikan Menko. Lalu siapa menjadi Mendikbud? Calon milenial Nadiem Makarim ditaruh di sana.

Kalau begitu, kabinet ini bukanlah soal siapa yang tepat menjadi apa, tetapi kumpulkan nama dulu, lalu dicarikan tempatnya. Begitu dugaan saya. Apakah anak muda 35 tahun seperti Nadiem bisa mengatasi problem pendidikan dan kebudayaan dan tidakkah dia rikuh mengumpulkan ratusan rektor yang profesor sepuh sambil memberi pengarahan soal radikalisme? Itu akan diuji kemudian. Apakah NU protes Menteri Agama dari tentara, itu soal nanti. Kalau pun ada protes, biarlah kiai meredakannya.

Imajinasi liar saya pun terus muncul. Pada saat-saat terakhir audisi, saya membayangkan Jokowi capek, lalu ada yang membrondong pertanyaan: Kenapa menteri perempuan sedikit? Kenapa menteri dari Bali belum ada? Kenapa jatah PDIP baru empat, kan Mbak Mega emoh? Lalu Jokowi menjawab: “Oh, lupa. Ya sudah, carikan calon menteri perempuan dari Bali yang mewakili PDIP. Tapi harus ada di Jakarta saat ini, tidak bisa menunggu”. Orang di sekeliling Jokowi pun sibuk mencari. Sulit dalam waktu kepepet. Yang ada cuma istri mantan Menteri Koperasi. Maka jadilah Gusti Ayu Bintang Puspayoga sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tanpa audisi.

Saya tertawa dengan imajinasi liar ini. Begitu gampangkah mencari calon menteri? Tentu tidak. Jokowi dan Ma’ruf Amin sangat serius mencari pembantunya. Nadiem sudah dipersiapkan matang. Fachrul Razi memang sejak awal diminta menangkal radikalisme yang menyusup ke ranah agama. Namun jika hasilnya mengecewakan orang, berbagai dugaan muncul. Padahal, harap dimaklumi, pertimbangan mengangkat menteri itu banyak. Ada balas jasa politik, memperluas dukungan, represensi kultural dan etnis, lalu tekanan dari partai pendukung. Belum lagi pencitraan bahwa kabinet harus diisi kaum milenial. Jadi mari kita terima apa adanya.

(Cari Angin 26 Oktober 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar