Putu Setia | @mpujayaprema
Keluar dari ruang praktek dokter
spesialis jantung, saya langsung membuang air mineral dalam botol yang belum
separuhnya diminum. Saya dilarang minum banyak karena kaki saya agak bengkak.
Tadi mengira penyebabnya asam urat. “Ini soal jantung. Jangan banyak minum air
putih, demi kesehatan,” kata dokter setelah menekan bagian kaki yang bengkak.
Belum seminggu saya ke dokter internis,
konsultasi soal ginjal. “Banyak-banyak minum air putih agar racun keluar, demi
kesehatan tubuh,” nasehat dokter. Di mobil saya menggerutu, seperti biasa
dengan senyum, “Tuhan, nasehat mana yang harus saya ikuti?” Kedua dokter
menyebut “demi kesehatan” tapi caranya bertentangan.
Saya membayangkan Tuhan juga tersenyum
(padahal Tuhan tak mungkin dibayangkan) dan berkata (bahasa apa ya kira-kira
dipakai Tuhan). “Kamu ini lebih untung dibandingkan Jokowi. Presiden juga
bingung, apa yang harus dilakukan dalam hal revisi Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi.”
Maha benar Tuhan. Pak Jokowi mendapatkan
dua desakan. Partai pendukungnya meminta untuk tidak mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) soal KPK. Revisi UU KPK merupakan langkah
memperkuat KPK, begitu alasannya. Adapun para tokoh bangsa yang diundang Jokowi
ke Istana, menyarankan presiden segera mengeluarkan Perpu membatalkan revisi UU
KPK itu. Juga aksi demo mahasiswa (dan pelajar STM) di berbagai daerah minta
revisi UU KPK dibatalkan karena melemahkan KPK. Ini diperkuat survey LSI yang
menghasilkan 70,9 persen responden menilai revisi UU KPK dapat melemahkan
lembaga antirasuah itu.
Bagaimana Jokowi tidak bingung? Kedua
pihak menyebut “demi memperkuat KPK” namun caranya berlawanan. Itu sulitnya
jadi presiden. Syarat utama presiden harus didukung partai politik sejak
pencalonannya. Setelah terpilih logikanya tak bisa melawan keputusan partai.
Bisa dicabut dukungannya. Bisa berujung mosi tak percaya dan pemakzulan di
forum MPR.
Namun, ada sudut pandang lain. Benar presiden
dicalonkan partai politik, tetapi yang memilihnya adalah rakyat. Kalau rakyat berkehendak
lahirnya Perpu dan tak percaya kepada partai yang selama ini dianggap sarangnya
koruptor, kenapa presiden tak berpihak ke rakyat?
Tidak ada alternatif lain. Uji materi ke
Mahkamah Konstitusi yang selalu disebut
sebagai jalan terhormat oleh DPR diragukan menyelesaikan masalah. MK hanya
menguji undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Pasal mengenai
pegawai KPK yang menjadi ASN, adanya dewan pengawas dan izin penyadapan, bisa
jadi tak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi pasal itu melemahkan KPK karena
hilangnya independensi. Pasal-pasal teknis tak semua bisa diuji dengan
konstitusi.
Jokowi
harusnya berani berpihak kepada rakyat mengingat DPR dan partai politik kadang punya
kepentingan lain sebagai strategi interen organisasi. Susilo Bambang Yudhoyono
pernah melakukan itu. DPR mengesahkan UU tentang Pilkada di mana Gubernur dan
Bupati dipilih kembali oleh DPRD. SBY melahirkan Perpu yang membatalkan UU itu,
Perpu Nomor 1
Tahun 2014, begitu UU disahkan.
Kenapa Jokowi takut jika rakyat berada di
belakangnya? Partai bisa digertak, bukan oleh Jokowi tetapi digertak rakyat
sebagai konstituennya. Cuma masalahnya berilah Jokowi waktu, jangan terlalu
didesak-desak. Biarkan kabinet baru terbentuk dan menteri hukum yang baru memikirkan
langkah terbaik, apakah Perpu itu adalah membatalkan revisi UU KPK atau langsung
mengubah pasal-pasal yang bermasalah. Kalau SBY bisa dan berani, kenapa Jokowi
tidak?
(Cari Angin Koran Tempo 12 Oktober 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar