Sabtu, 12 Oktober 2019

Presiden

Putu Setia | @mpujayaprema

Keluar dari ruang praktek dokter spesialis jantung, saya langsung membuang air mineral dalam botol yang belum separuhnya diminum. Saya dilarang minum banyak karena kaki saya agak bengkak. Tadi mengira penyebabnya asam urat. “Ini soal jantung. Jangan banyak minum air putih, demi kesehatan,” kata dokter setelah menekan bagian kaki yang bengkak.
 
Belum seminggu saya ke dokter internis, konsultasi soal ginjal. “Banyak-banyak minum air putih agar racun keluar, demi kesehatan tubuh,” nasehat dokter. Di mobil saya menggerutu, seperti biasa dengan senyum, “Tuhan, nasehat mana yang harus saya ikuti?” Kedua dokter menyebut “demi kesehatan” tapi caranya bertentangan.

Saya membayangkan Tuhan juga tersenyum (padahal Tuhan tak mungkin dibayangkan) dan berkata (bahasa apa ya kira-kira dipakai Tuhan). “Kamu ini lebih untung dibandingkan Jokowi. Presiden juga bingung, apa yang harus dilakukan dalam hal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.”


Maha benar Tuhan. Pak Jokowi mendapatkan dua desakan. Partai pendukungnya meminta untuk tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) soal KPK. Revisi UU KPK merupakan langkah memperkuat KPK, begitu alasannya. Adapun para tokoh bangsa yang diundang Jokowi ke Istana, menyarankan presiden segera mengeluarkan Perpu membatalkan revisi UU KPK itu. Juga aksi demo mahasiswa (dan pelajar STM) di berbagai daerah minta revisi UU KPK dibatalkan karena melemahkan KPK. Ini diperkuat survey LSI yang menghasilkan 70,9 persen responden menilai revisi UU KPK dapat melemahkan lembaga antirasuah itu.

Bagaimana Jokowi tidak bingung? Kedua pihak menyebut “demi memperkuat KPK” namun caranya berlawanan. Itu sulitnya jadi presiden. Syarat utama presiden harus didukung partai politik sejak pencalonannya. Setelah terpilih logikanya tak bisa melawan keputusan partai. Bisa dicabut dukungannya. Bisa berujung mosi tak percaya dan pemakzulan di forum MPR.

Namun, ada sudut pandang lain. Benar presiden dicalonkan partai politik, tetapi yang memilihnya adalah rakyat. Kalau rakyat berkehendak lahirnya Perpu dan tak percaya kepada partai yang selama ini dianggap sarangnya koruptor, kenapa presiden tak berpihak ke rakyat?
Tidak ada alternatif lain. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi  yang selalu disebut sebagai jalan terhormat oleh DPR diragukan menyelesaikan masalah. MK hanya menguji undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Pasal mengenai pegawai KPK yang menjadi ASN, adanya dewan pengawas dan izin penyadapan, bisa jadi tak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi pasal itu melemahkan KPK karena hilangnya independensi. Pasal-pasal teknis tak semua bisa diuji dengan konstitusi.

Jokowi harusnya berani berpihak kepada rakyat mengingat DPR dan partai politik kadang punya kepentingan lain sebagai strategi interen organisasi. Susilo Bambang Yudhoyono pernah melakukan itu. DPR mengesahkan UU tentang Pilkada di mana Gubernur dan Bupati dipilih kembali oleh DPRD. SBY melahirkan Perpu yang membatalkan UU itu, Perpu Nomor 1 Tahun 2014, begitu UU disahkan.

Kenapa Jokowi takut jika rakyat berada di belakangnya? Partai bisa digertak, bukan oleh Jokowi tetapi digertak rakyat sebagai konstituennya. Cuma masalahnya berilah Jokowi waktu, jangan terlalu didesak-desak. Biarkan kabinet baru terbentuk dan menteri hukum yang baru memikirkan langkah terbaik, apakah Perpu itu adalah membatalkan revisi UU KPK atau langsung mengubah pasal-pasal yang bermasalah. Kalau SBY bisa dan berani, kenapa Jokowi tidak?

(Cari Angin Koran Tempo 12 Oktober 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar