Sabtu, 01 Februari 2020

Bohong

Putu Setia | @mpujayaprema

Siapakah yang berbohong dalam kasus keberadaan Harun Masiku, tersangka penyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan? Politikus PDI Perjuangan ini sempat ke Singapura pada 6 Januari tetapi baliknya ke Indonesia menjadi “gosip politik” karena ada berbagai kebohongan.
Penyidik KPK berusaha menangkap Harun yang diduga berada di komplek Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian pada 8 Januari, setelah sebelumnya menciduk Wahyu Setiawan. Sayangnya penyidik KPK justru “ditangkap” polisi di sana, sampai-sampai dites urin. Informasi yang diterima KPK bahwa Harun ada di PTIK, jadi tak jelas. Bisa bohong, bisa juga tidak.

Di mana Harun ngumpet? Pada 13 Januari, Direktorat Jenderal Imigrasi menginformasikan Harun masih ada di Singapura. Tiga hari setelah itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mempertegas lagi, Harun Masiku masih di Singapura.

Tempo memperoleh informasi Harun sudah balik ke Indonesia pada 7 Januari, disertai video kedatangannya di Bandara Sukarno Hatta. Artinya, andai saja penyidik KPK leluasa bergerak di PTIK pada malam drama tes urin itu, cerita bisa beda. Setidaknya ada kejelasan di mana Harun.
Mari lupakan cerita itu. Yang jadi pertanyaan, kenapa Menkumham Yasonna ngotot menyebutkan Harun masih berada di luar negeri? Perlu waktu 15 hari untuk mencari dalih bahwa terjadi kesalahan data keimigrasian di bandara Soekarno Hatta sehingga kepulangan Harun “terlambat untuk diketahui”. Apakah ini kebohongan juga?

Yasonna sekarang membentuk tim independen untuk mengusut kenapa kepulangan Harun “delay data” – begitu istilah yang dipakai. Artinya Yasonna tak mau mengakui telah berbohong, karena apa yang dia sampaikan berdasarkan info bawahannya. Tapi dia memecat -- belakangan istilahnya menjadi mutasi-- Dirjen Imigrasi Ronny F. Sompie. Ronny bisa jadi juga dapat info bohong dari stafnya. Cuma dia tak sempat cuci tangan seperti Yasonna karena pencopotannya mendadak. Kalau memakai budaya Jepang, Yasonna tentu ikut bunuh diri, eh, maksudnya, mengundurkan diri.

Kini, pada saat Kementrian Hukum dan HAM (pura-pura) sibuk mengusut siapa yang berbohong sampai membentuk tim independen, Harun Masiku bisa lebih tenang dalam persembunyiannya. KPK tak segalak dulu, ketika mengejar Nazaruddin sampai ke Kolombia dan tertangkap di kota wisata Cartagena. Polisi pun masih asyik dengan meringkus dan menahan para pembohong yang mengaku-aku raja. Setelah menahan Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat di Jawa Tengah, polisi menangkap tiga pentolan Kekaisaran Sunda. Mungkin masih ada raja-raja palsu yang akan dikejar polisi, meski kebohongan yang dilakukan para raja itu belum berdampak besar bagi kerugian masyarakat. Ada pun Harun Masiku jelas tokoh kunci, baik untuk mengungkap kasus suap kepada komisioner KPU mau pun mengungkap praktek buruk dalam pergantian antar waktu di parlemen.

Menangkap Harun Masiku sepertinya tak sulit-sulit amat asalkan ada keseriusan polisi mau pun KPK. Juga PDI Perjuangan yang harusnya ikhlas kadernya ditangkap. Jika polisi yang menangkap itu berdampak baik bagi kepercayaan masyarakat, yang terlanjur menduga polisi melindungi Harun karena kasus di PTIK itu. Jika penyidik KPK yang menangkap, itu lebih bagus lagi untuk membantah KPK sudah loyo. Akan halnya jika PDI Perjuangan menyerahkan kadernya langsung ke KPK sebagai partai yang taat pada hukum, kesan yang selama ini ada bahwa PDIP melindungi Harun menjadi batal. Namun, kita memang sulit berharap, ketika kita masih dipamerkan kebohongan dengan nyata. 

(Dari Koran Tempo 1 Februari 2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar