Sabtu, 08 Februari 2020

Pusing

Putu Setia | @mpujayaprema

Berita penting berseliweran di awal bulan ini. Saling berebut perhatian. Virus corona yang semakin dekat ke negeri ini membuat banyak orang khawatir. Selain cemas soal virusnya, dampak ekonominya membuat pusing ibu-ibu rumah tangga. Bawang putih naik terus harganya. Maklum bumbu masak itu diimpor dari Cina, juga banyak barang lainnya, termasuk peniti.

Ada yang cemas terhadap langkah Komisi Pemberantasan Korupsi. Terduga penyuap Harun Masiku belum juga tertangkap, sementara pimpinan KPK malah mau mengembalikan penyidik Komisaris Rossa Purbo Bekti ke instansi kepolisian. Rossa adalah penyidik Harun Masiku.

Ada lagi berita yang membuat kita cemas sembari bertanya-tanya. Wacana pemulangan sekitar 600 warga negara Indonesia yang terpapar ISIS. Istilah yang dipakai salah kaprah, WNI eks ISIS. Padahal seharusnya ISIS eks WNI. Bukankah mereka sudah meninggalkan kewarganegaraan Indonesia? Baik secara hukum karena bergabung menjadi tentara asing, mau pun secara fakta karena membakar pasfor Indonesia.


https://youtu.be/zR9pULS5vPc

Pernyataan pemimpin kita dari Presiden Jokowi, Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri Agama Fachrul Razi dan lainnya, juga mengundang tanya. Jokowi dan Mahfud MD secara pribadi menyebut menolak pemulangan ke 600 orang itu. Ini senada dengan apa yang disuarakan masyarakat. Kalau sudah menolak secara pribadi, apakah bisa berubah jika mengatasnamakan jabatan? Apa yang membedakan Presiden RI dengan Joko Widodo, dan Menkopolhukam dengan Mahfud MD? Menteri Agama lebih jelas, meski tak konsisten. Paginya bilang ke 600 WNI eks ISIS itu akan dipulangkan, siangnya diralat menjadi “masih perlu dibahas”.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin ikut nimbrung dan membandingkan kerumitan memulangkan WNI eks ISIS dengan virus corona. Rumitnya, kalau mereka dipulangkan bagaimana menyelenggarakan karantina agar virus ISIS-nya tidak menyebar ke masyarakat.
Semua pejabat sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan jika WNI eks ISIS itu pulang. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Suhardi Alius tentu paling sibuk karena ditugaskan mengkaji opsi kebijakan yang akan diambil, memulangkan atau tidak.
Seharusnya kita tak perlu bertanya-tanya jika mengikuti alur pendapat Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. "Secara teori eks WNI ini berstatus stateless. Namun, kondisi stateless ini tidak berada di Indonesia, sehingga pemerintah tidak perlu pusing untuk mewarganegarakan mereka," kata Hikmahanto.
Urusan pun melebar ke masalah yang mengusik emosi. Alasan kemanusiaan, belas kasihan, jangan dendam dan seterusnya. Apalagi ada faktanya, dari 600 orang bermasalah itu, kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Mereka rindu hidup normal di tanah kelahirannya. Nah, kalau sudah sampai di sini maka perdebatan kita tak akan ada ujungnya.
Kenapa mereka ikut-ikut ke medan laga atas nama ISIS? Apa mereka benar bertobat? Kalau atas nama kasihan, bebaskan saja semua narapidana teroris di dalam negeri, juga narapidana pembunuh, koruptor dan seterusnya. Mereka juga dirindukan anak-anaknya di rumah. Alasan kemanusiaan? Bisakah dibayangkan bagaimana perasaan korban aksi teror yang terjadi di sini – meski tak ada kaitannya dengan ISIS? Hati mereka terluka dalam. Korban bom Bali, misalnya, masih marah jika manyebut nama Amrozi padahal teroris ini sudah dihukum mati. Mendengar kata Lamongan (asal Amrozi) saja, mereka trauma meski pun membicarakan soto atau bola.
Kalau pemulangan ini dibahas pasti yang tersisa adalah keriuhan. Maka Prof Hikmahanto ada benarnya: kenapa kita pusing?
(Dari Koran Tempo 8 Februari 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar