Sabtu, 13 Juni 2020

BANDEL

Putu Setia | @mpujayaprema

Euforia new normal terjadi di seluruh pelosok negeri. Pusat-pusat perdagangan, dari mal sampai pasar tradisional, mulai dibuka. Pengelola tempat wisata juga berancang-ancang untuk membuka usahanya. Termasuk di daerah dengan kasus positif Covid-19 masih tinggi.

Sejumlah orang gembira ekonomi segera menggeliat. Tapi sejumlah lain cemas. Angka penambahan positif Covid-19 justru semakin naik. Euforia yang muncul tidak disertai dengan protokol kesehatan. Orang mulai keluar rumah untuk sesuatu yang tak perlu amat. Tidak pula memakai masker. Banyak kerumunan yang mengabaikan jaga jarak. Mereka pantas diberi predikat dengan satu kata: bandel.

Pernahkah kita bertanya kenapa mereka bandel? Barangkali mereka mendapatkan informasi yang salah, yang kemudian dianggap benar karena kesalahan itu lama tak direvisi. Atau menafsirkan istilah dengan cara mereka sendiri, dengan wawasan khas masyarakat pedesaan yang sederhana. Misal, istilah berdamai atau hidup berdampingan dengan corona. Untuk apa ketat dengan protokol kesehatan kalau virus sudah bisa diajak berdampingan?

Penggunaan masker, misalnya. Di awal-awal pandemi corona, ada pejabat yang menyebutkan masker hanya digunakan oleh orang yang sakit. Atau oleh petugas medis. Orang sehat tak perlu pakai masker. Pesan itu tertanam di benak masyarakat, meski kemudian direvisi, semua orang harus memakai masker. Bahkan ada denda jika tak memakai masker di luar rumah.


Awalnya dianjurkan pakai sarung tangan agar terlindung dari sentuhan yang diduga sudah dipenuhi virus karena disentuh banyak orang. Belakangan diminta jangan pakai sarung tangan. Justru di sarung tangan itu virus berkumpul dan kemudian menularkan sang pemakai dan orang yang kontak dengan pemakai sarung tangan. Sarung tangan hanya dipakai petugas medis dan itu pun sekali pakai langsung dibuang.

Yang lebih serius, ada pernyataan seorang dokter yang dikutip dan disiarkan selebritas – karena itu jadi viral – bahwa virus corona tak akan menular lewat jenazah. Alasannya, virus hanya bisa hidup jika manusia sebagai inangnya juga hidup. Kalau inangnya mati, virus itu ya mati. Tanpa ada penjelasan seberapa lama tenggang waktu virus itu mati jika inangnya mati, mayarakat langsung menangkap pesan bahwa jenazah tak akan menularkan virus. Maka, orang pun minta agar jenazah Covid-19 dimakamkan secara wajar, sebagaimana jenazah orang yang meninggal karena sakit lainnya. Heboh terjadi ketika ada pemaksaan mengambil jenazah korban Covid-19. Mereka yang bandel memaksa mengambil jenazah itu, sampai diproses pidana oleh polisi.

Cobalah kita memposisikan diri sebagai masyarakat kelas bawah. Menolak rapid test itu ada alasannya. Ini bukan urusan bandel. Kalau hasilnya positif karantina menanti. Padahal, banyak berita yang beredar – dan ini dibenarkan pemerintah – rapid test sering tak akurat. Ada sebuah kampung di Bali yang penduduknya semua dikarantina karena setelah di-rapid test hasilnya positif. Hebohnya bukan main. Dua hari kemudian datang kabar, ternyata alat rapid test-nya error. Setelah diganti alat baru hasilnya semua negatif. Kabar ini menyebar tapi minim penjelasan dari pemerintah kenapa alat penting itu ternyata bisa tak akurat.

Sistem komunikasi harus diperbaiki. Hindari penjelasan simpang siur, apalagi kebijakan yang saling bertentangan. Imbauan jaga jarak terus dikumandangkan tapi pembatasan penumpang angkutan umum dicabut. Ini kan aneh bin ajaib. Disiplin masyarakat perlu ditertibkan, tapi pemerintah juga jangan bandel,  kordinasi harus baik.

(Koran Tempo Akhir Pekan 13 Juni 2020)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar