Sabtu, 20 Juni 2020

Kritik

Putu Setia | @mpujayaprema

Bagi sebagian rakyat, ada dua kewaspadaan yang bersifat nasional yang harus diperhitungkan hari-hari ini. Yang pertama tentu Covid-19, virus yang tak kelihatan wujudnya. Yang kedua, penyampaian kritik. Ini juga tak jelas apa kriterianya sehingga berurusan dengan polisi.

Coba ikuti kisah Ismail Ahmad. Warga Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, ini tak pernah menyangka bakal dipanggil polisi. Gara-garanya dia mengunggah guyonan Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid. "Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng," itu guyonan Gus Dur yang sangat populer dan dikutip Ismail di akun Facebook-nya. Akibatnya Ismail dipanggil ke kantor polisi, diperiksa, dan diberkas. Ujungnya dia harus meminta maaf di sebuah konferensi pers setelah mengakui “tak sengaja” menemukan kutipan Gus Dur itu.

Lalu ini kisah Bintang Emon. Komika muda usia berwajah polos ini mengunggah video sindiran terhadap tuntutan jaksa yang cuma setahun untuk penyiram air keras ke wajah Novel Baswedan. Emon memparodikan alasan jaksa memberi tuntutan rendah. Penyiram air keras itu “tak sengaja” menjadikan wajah Novel sebagai sasaran.

https://youtu.be/JIJVMRy_lsU

Emon diserang para buzzer. Bahkan kader Partai Solidaritas Indonesia, Charlie Wijaya, berniat melaporkan Emon ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Syukurlah pengaduan tak berlanjut, apalagi laporan ke kantor polisi. Bahkan Charlie meminta maaf setelah Ketua PSI Tsamara menyebut tak mengenal Charlie. Toh, Emon harus direpotkan dengan berbagai serangan, antara lain, menggunakan narkoba.

Kenapa polisi merasa tersindir? Pangkal masalahnya memang berkaitan dengan polisi. Novel Baswedan, penyidik senior KPK itu adalah mantan polisi. Kedua penyiram air keras, kalau benar mereka, anggota kepolisian aktif. Pembela tersangka, juga polisi. Dan polisi bertahun-tahun direpotkan oleh kasus ini yang berujung tuntutan setahun dari jaksa.

Padahal pernah ada kasus penyiraman air keras di Mojokerto dengan korban pemandu lagu. Pelaku dihukum 12 tahun penjara. Itu jadi pembanding kenapa kasus Novel rada aneh. Tapi kenapa Ismail dan Emon yang jadi sasaran? Banyak orang, termasuk pakar pidana, yang mengkritik tajam tuntutan jaksa itu. Bahkan dalam kasus Ismail, banyak yang mengutip guyonan Gus Dur. Putri-putri Gus Dur, sampai heran: “Kalau saya mengunggah itu, diperiksa pula enggak ya?”

Kritik di hari-hari ini serba tak jelas, sejauh mana pantas dilaporkan ke polisi. Dan siapa pula yang pantas melaporkannya. Farid Gaban, wartawan senior, mengkritik Menteri Koperasi Teten Masduki yang mengadakan kerjasama dengan toko online Blibli. "Rakyat bantu rakyat; penguasa bantu pengusaha. Gimana nih Kang Teten Masduki? How long can you go?" tulis Farid di akun Twitternya. Lalu politikus Partai Solidaritas Indonesia, Muannas Alaidid, melaporkan Farid ke Polda Metro Jaya. Farid dianggap menghina Menteri Koperasi sementara Teten sendiri diam saja.

Adian Napitupulu mengkritik keras kebijakan Menteri BUMN. Sempat muncul isu Menteri Erick Thohir melaporkan Adian Naiputulu. Ternyata ini hoax yang langsung dibantah Kepala Bagian Humas dan Protokol Kementerian BUMN. Apa yang benar? Adian, kader PDI Perjuangan itu, cuma dipanggil Presiden Jokowi.

Mewaspadai ”virus kritik” ini jadi sulit. Tergantung siapa yang mengkritik dan ke mana sasaran kritik. Seberapa lama “pandemi kritik” ini? Entah. Mungkin perlu cuci tangan setelah menulis di media sosial. Lalu jaga jarak. Bukan saja jaga jarak dengan media sosial, tapi juga dengan penguasa.

(Dari Koran Tempo 20 Juni 2020)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar