Sabtu, 03 Oktober 2020

MUSIM

Putu Setia | @mpujayaprema

Negeri kita hanya punya dua musim, kemarau dan hujan. Tidak seperti negeri lain yang punya empat musim. Namun, jika musim yang tak berkaitan iklim, kita punya banyak. Ada musim durian, rambutan, mangga dan lainnya.

Di luar itu, ada musim yang tak berkaitan dengan alam dan pohon. Bukankah dalam kamus bahasa Indonesia ada arti musim yang lain, yakni kegiatan atau sesuatu yang hampir berulang terjadi? Misalnya, musim layang-layang, musim haji, musim kawin.

Di bulan September sampai awal Oktober ini, ada musim “mengenang komunisme”. Ini berkaitan dengan tanggal 30 September, yang dijadikan peringatan oleh warga bangsa ini bahwa pernah terjadi pertumpahan darah dengan sebutan Gerakan 30 September. Pada tanggal itu di tahun 1965, Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan dengan membantai tujuh jenderal.

Sudah 55 tahun kejadian itu berlangsung. Setiap tahun kita peringati sebagai Hari Berkabung dengan menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang. Tapi, seperti halnya musim layang-layang, setiap tahun ada dinamika cara merayakannya. Suatu masa dengan cara menonton bareng film yang dibuat untuk itu, Penghianatan G-30-S PKI. Televisi Republik Indonesia, sebagai stasiun tunggal televisi waktu itu, menyiarkannya secara utuh. Tak ada pilihan lain: menonton atau tidur.

Lalu, di masa lain, ketika terjadi perubahan pimpinan nasional, tontonan itu dihentikan. Alasannya, kisah yang diceritakan dalam film tidak sesuai kenyataannya. Terutama kekejamannya. Bagaimana kenyataan yang benar? Tak ada titik temu. Maka tidak ada lagi kewajiban nonton bareng, apalagi televisi swasta bermunculan. Banyak ada tontonan lain.


https://youtu.be/nRnBO_-wkss

Tiba-tiba Jenderal Gatot Nurmantyo, menjelang habis masa jabatannya sebagai Panglima TNI, meminta kembali prajuritnya untuk menonton bareng film G30S/PKI itu. Agar prajurit TNI tahu bagaimana kejamnya PKI yang – diprediksi oleh sang jenderal – mencoba bangkit kembali. Pro dan kontra pun muncul, sampai-sampai dikaitkan dengan digantinya Jenderal Gatot sebagai panglima.

Pernak-pernik “musim komunisme” bukan saja soal pro kontra film yang dibuat almarhum Arifin C. Noor (almarhum) itu, tetapi bertambah dengan isu bangkitnya PKI. Padahal tak jelas bagaimana PKI bisa bangkit kalau sudah diibaratkan berada di liang kubur. Atau rohnya (bisa dibaca: ideologinya) yang bangkit? Sulit juga dijelaskan karena, di tanah asalnya, ideologi itu sendiri sudah tak laku. Namun, karena pengaruh “musim”, cerita pun bak pentas wayang yang penuh dengan carangan. Ada upaya nonton bareng yang digugat, ada tabur bunga di makam pahlawan yang coba dihalangi. Jenderal Gatot, tokoh utama dalam “musim komunisme” ini, jadi repot – tapi bisa pula senang karena tambah populer. Sampai-sampai, saat deklarasi KAMI di berbagai daerah pun, Jenderal Gatot dibuntuti pro-kontra.

Kenapa tidak “biarkan musim berlalu” seperti lagunya Chrisye? Mau nonton bareng kek, mau deklarasi KAMI atau KAMU kek, biarkan saja. Kalau dibubarkan, cari alasan lain, misalnya, karena berkerumun disaat pandemi corona. Tapi yang kontra kelompok Sang Jenderal juga dibubarkan dengan alasan yang sama. Jangan-jangan tak ada heboh.

Seperti halnya musim durian, “musim komunisme” ini pasti berlalu. Bulan depan akan berganti dengan “musim pahlawan”. Pro kontra lagi, kenapa Soeharto dan Gus Dur belum jadi pahlawan nasional, kenapa suku bangsa itu tak ada pahlawannya. Lalu bulan depannya ada “musim ucapan Natal haram”.

Bangsa kita tak pernah selesai dengan urusan begini, padahal slogannya: Indonesia Maju. Memang maju ke mana?

(Koran Tempo 3 Oktober 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar