Jumat, 02 Oktober 2020

Memuja Sang Guru Suci

Mpu Prema Jaya

Sekarang ini banyak sekali ada postingan di media sosial orang-orang yang mencela bahkan menghujat suatu kelompok yang memajang patung atau cuma foto orang suci yang menyebarkan dharma keagamaan. Mereka dihujat bahkan dianggap aliran sesat karena seolah-olah menduakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka dituduh tidak memuja Tuhan, tetapi memuja guru spiritual yang adalah manusia biasa. Lalu buntutnya disela sebagai kelompok sampradaya Hindu yang aliran yang merusak adat dan tradisi Hindu. Kemudian bahkan disambung ungkapan kebablasan: bubarkan...

Mari kita tenang, jangan grasa-grusu. Seolah-olah agama Hindu itu cuma milik kita. Ini agama milik dunia dengan segala perbedaan budaya, tetapi inti ajarannya bersumber dari kitab yang sama, Kitab Suci Weda.

Ada tiga pemujaan dalam ajaran Hindu. Yang pertama memuja Tuhan di Bali disebut Hyang Widhi Wasa. Di budaya lain beda lagi sebutannya. Dalam Kitab Weda disebut dengan Brahman.



Yang kedua memuja Istadewata, yaitu para dewa-dewa. Dewa-dewi ini adalah sinar-sinar suci Tuhan. Kenapa kita memuja Istadewata tertentu karena kita ingin fokus. Misalnya, ketika kita memohon tuntunan ilmu pengetahuan kita memuja Dewi Saraswati. Ketika kita memohon kebijakan dalam bersikap dan berprilaku, kita memuja Dewa Ganesha. Ketika kita mensyukuri telah diberi kesejahtraan, kita memuja Dewi Laksmi yang di Bali disebut dengan nama Bethari Rambut Sedana. Dan seterusnya. Jadi intinya ya memuja Tuhan juga lewat sinar beliau.

Yang ketiga memuja leluhur kita yang sudah lama tiada. Ini dulunya adalah manusia biasa, seperti kita ini. Kita harus tetap sujud kepada leluhur itu dengan mengenang jasa beliau. Karena leluhur kita amor ing Achintya, artinya menyatu di alam Tuhan, maka tentu saja kita memuja semua yang berada di alam Tuhan itu, termasuk Tuhan itu sendiri. Karena itu dalam Panca Sembah selalu ada pemujaan kepada leluhur yang dilanjutkan dengan pemujaan kepada Tuhan.\


https://youtu.be/fjuyya-nJSs

Nah, leluhur itu ada 2 hal dilihat dari posisi mereka di alam Tuhan. Yang pertama leluhur yang sudah moksha, artinya mendapatkan kedamaian abadi di alam Tuhan. Dalam kepercayaan Hindu, leluhur yang bisa moksha ini adalah mereka yang sudah suci. Bagaimana mengukur kesucian orang itu? Tentu ini sulit karena masalah kesucian hanya Tuhan yang tahu. Tetapi menjadi mudah jika kita sudah menetapkan aturan secara duniawi. Apa itu? Dalam tradisi beragama Hindu, terutama di masyarakat Bali, kesucian itu diukur dari status seseorang, apakah mereka sudah dwijati atau belum. Dwijati adalah kelahiran kedua, dalam hal ini biasa disebut sudah menjadi pandita atau sulinggih dalam bahasa Bali. Mereka inilah yang disebut moksha ketika sudah meninggal duna. Moksha itu adalah kepercayaan tertinggi dalam Panca Srada yang menjadi dasar dari ajaran Hindu.

Lalu leluhur kita yang meninggal dunia tidak dalam status suci atau bukan dwijati atau bukan sulinggih, dalam keyakinan Panca Srada termasuk akan melakukan Punarbhawa atau reinkarnasi. Mereka setelah menjalani penebusan karma di alam Tuhan sesuai dengan prilakunya semasa hidup, akan reinkarnasi kembali menjadi manusia. Karena itu dalam tradisi di Bali, jika ada anak yang baru lahir, keluarganya biasa menanyakan kepada balian dasaran (orang yang berprofesi menurunkan roh), siapa yang reinkarnasi kepada anak yang baru lahir itu. Istilah di pedesaan, sire sane turun ngidih nasi... Umumnya jawabannya adalah: oh kakek itu... atau nini itu... Ini terserah percaya atau tidak, tetapi masih banyak yang melakukannya. Tapi banyak pula yang tak melakukan. Ini kan bukan wajib tergantung keluarga bersangkutan.

Nah, orang-orang suci yang dianggap sudah moksha tak akan reinkarnasi. Leluhur jenis inilah yang dibuatkan pura tempat pemujaan. Misalnya, Mpu Gni Jaya dibuatkan pura di Lempuyang Madya, Mpu Kuturan di Pura Silayukti, Mpu Semeru di Besakih, Mpu Gana di Punduk Dawa dan seterusnya. Dnaghyang Nirartha malah dipuja di banyak pura tempat-tempat di mana beliau dulu pernah menetap.

Leluhur yang saya sebutkan itu adalah para pandita suci di masa lalu yang jasanya demikian besar. Sedangkan para pendeta generasi baru, katakanlah setelah kemerdekaan, cukup distanakan atau dipuja di merajan keluarganya dengan mendirikan meru. Nah, akan halnya leluhur kita yang bukan orang suci atau bukan berstatus pendeta, kita puja di sebuah sanggah atau pelinggih yang disebut Rong Tiga. Jadi secara sederhana bisa dikatakan, yang dipuja di meru itu adalah leluhur yang moksha dan yang dipuja di Rong Tiga itu leluhur yang bisa punarbhawa. Moksha dan Punarbhawa ini semuanya harus kita percayai sebagai bagian dari Panca Srada.



Sekarang kalau ada kelompok atau aliran atau bisa disebut sampradaya yang membawa patung guru sucinya dan dipuja dalam konsep pemujaan leluhur, ya, apa yang salah? Tidak ada yang salah. Karena guru suci itu masih pada abad ke 20 ini tentu fotonya masih ada untuk dibuatkan patungnya. Gurusuci saya pun saya puja di kamar suci ini dan saya pajang fotonya. Mereka ini orang-orang suci karena statusnya pendeta, tak mungkin reinkarnasi dalam keyakinan Hindu. Sama seperti guru suci masa lalu seperti Mpu Gni Jaya, Mpu Kuturan dan sebagainya, tak mungkin reinkarnasi.

Kenapa pendeta Mpu di masa lalu itu tidak dibuatkani patungnya? Karena tidak ada yang tahu wajah beliau seperti apa, beliau sudah tiada berabad-abad yang lalu. Sekarang paling dibuatkan simbulnya saja yang disebut pratima. Dan pratima itu yang diusung-usung kalau ada ritual.

Nah, seperti itulah yang dilakukan oleh kelompok yang membawa-bawa patung guru sucinya, semua itu bentuk penghormatan dan memang wajib dipuja sesuai dengan konsep memuja Tuhan, Istadewata dan Leluhur. Jadi janganlah mereka dianggap sesat seolah-olah kita yang benar semua. Jangan-jangan kita yang sesat tidak menghormati guru suci.



Jangan pula dituduh mereka bukan Hindu, seolah-olah kita yang berhak memberi label Hindu pada orang lain, sementara Hindu adalah milik dunia, bukan milik orang Bali yang cuma empat atau lima juta ini.

Sebaliknya, kelompok yang nyata-nyata bukan berkeyakinan Hindu, jangan pula mencampur adukkan ritual Hindu dengan ritual agama atau keyakinan lain. Tetaplah dengan agama kalian, jangan merecoki Hindu.

Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku. Dalam hal keyakinan janganlah kita mencampuri urusan orang lain, itu hak asasi setiap orang.

Semoga semuanya dalam suasana damai.

 

1 komentar:

  1. Belajar disekolah saja ada guru, apalagi hal spiritual mestinya hal ini hrs sgt harus dipahami. Semoga orang orang bisa dituntun ke jalan yg benar. Suksma.

    BalasHapus