Selasa, 06 Oktober 2020

Sarasamuscaya Sloka 315 - 334 Hati-hati Bergaul dengan Sang Durjana


Kita lanjutkan terus pembahasan mengenai kitab Sarasamuscaya, kitab etika warisan leluhur yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh Bhagawan Wararuci. Kali ini kita sudah menginjak ke sloka 315 dengan tema: orang durjana. Saya tak menyertakan sloka asli dalam bahasa Sansekerta mau pun sloka terjemahan bebasnya dalam bahasa Jawa Kuno di channel ini. Nanti dalam buku, kedua jenis sloka itu akan saya cantumkan dengan lengkap. Saya mulai dengan sloka ke 315.

Hendaknya selalu mempertimbangkan pikiran dan perbuatan kita sehari-hari. Salah atau bernarkah perbuatan kita sehari-hari? Samakah tingkah laku kita dengan hewan? Ataukah tingkah laku kita sudah seperti pendeta? Demikianlah cara kita merenungkan perbuatan kita sehari-hari dan senantiasalah menasehati diri sendiri.

Sloka ini kalau kita memakai wacana moderen saat ini, kita diajarkan untuk senantiasa introspeksi diri. Mulat sarira dalam bahasa Balinya. Segala perbuatan kita harus dianalisa setiap hari kalau ada yang keliru, apakah kita berbuat yang jahat yang dalam sloka ini disebutkan sebagai perilaku hewan, atau kita sudah berbuat baik dan bijak sebagaimana prilaku para pendeta pada umumnya. Dari instrospeksi ini kita diharapkan bisa menasehati diri kita sendiri agar tidak terjerumus ke prilaku kurang baik. Saya lanjut ke sloka 316.

Mereka yang akan menerima pahala dari perbuatan itu adalah mereka yang berbuat, yang menyuruh berbuat, serta mereka yang membenarkan perbuatan itu. Ketiganya sama-sama akan memperoleh pahala dari perbuatan itu, apapun macamnya, apakah buruk ataukah baik.

Nah, di sloka ini disebutkan pahala dari sebuah perbuatan. Siapa yang menerima akibat dari perbuatan itu, baik perbuatan yang benar mau pun perbuatan yang salah. Yang pertama mendapatkan pahala adalah orang yang melakukan perbuatan itu, kemudian orang yang menyuruh berbuat, dan mereka yang membenarkan perbuatan itu. Sloka ini akan menjadi jelas kalau disebutkan contohnya. Misalnya, orang melakukan korupsi, sebuah perbuatan yang jahat. Tentu yang akan berdosa dan menerima pahal buruk adalah orang yang korupsi itu, ini dalam arti jika korupsinya terbongkar. Lalu siapa yang menyuruh dia korupsi? Orang itu akan menerima hukuman pula. Dan jika ada orang yang membenarkan perbuatan korup itu maka orang itu pun akan menerima getah buruk pula. Begitu pula perbuatan yang baik, yang melakukan, yang menyuruh dan yang membenarkan sama-sama berpahala baik. Jadi etika di masa lalu ini masih relevan untuk masa sekarang. Saya lanjut ke sloka 317.

 Oleh karenanya perbuatan baiklah yang harus dilakukan dan terus diusahakan. Meskipun orang berbuat jahat kepada kita, hendaklah dibalas dengan perbuatan bajik. Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan, sebab kita akan terjebak dalam kejahatan dan menjadi sama saja dengan mereka yang jahat. Siapa yang berbuat akan memperoleh karmanya.

Dalam kata-kata bijak tetua kita di Bali, ada ungkapan yang bagus. Kalau kita dilempar dengan tahi, balaslah dengan melempar bunga. Artinya,  kalau orang berbuat buruk kepada diri kita sendiri, janganlah dibalas dengan perbuatan buruk pula, balaslah dengan kebaikan. Kejahatan tak akan berkurang jika dibalas dengan kejahatan. Saya lanjut ke sloka 318.

Tetaplah berhati-hati, jagalah diri baik-baik karena telah dapat menjelma sebagai manusia. Apapun yang menyebabkan penjelmaan itu bertambah baik, lakukanlah karena akan sangat berat meningkatkan penjelmaan itu, akan tetapi untuk menurunkannya sangatlah mudah. Ibarat batu yang dinaikkan ke puncak gunung, ketika ada gangguan maka batu pun bisa jatuh tanpa kesulitan sama sekali.

Sloka ini mengajarkan kepada kita untuk terus-menerus menabung kebaikan setiap saat. Kebaikan itu tentu saja akan meningkatkan kualitas kepribadian kita dan itu harus terus diupayakan dengan susah payah. Jangan berputus ada. Sekali kita lalai dan terjerumus ke arah yang tak baik, maka dengan mudah apa yang kita capai itu akan sia-sia. Bagaikan bongkahan batu besar yang kita naikkan ke gunung dengan sangat sulitnya, namun ketika kita lalai menjaga diri dapat jatuh dengan cara yang sangat mudah. Saya lanjut ke sloka 319.

Perbuatan bajik akan dibicarakan sampai ke alam surga, sementara di muka bumi akan menjadi kirti. Oleh karenanya selalulah berbuat kebajikan, inilah hakekat dan tujuan dari penjelmaan.

Kirti artinya kemasyuran. Perbuatan yang selalu dikenang orang karena bajiknya. Kirti itulah yang harus dikejar oleh semua manusia yang hidup di bumi ini. Sloka ini sudah jelas apa maksudnya. Saya lanjut ke sloka 320.

Kirti itu sama dengan seorang ibu, andaikata dia lina akan dianggap sebagai orang yang masih hidup karena karma baiknya tidak ikut hilang. Akan tetapi orang duryasa, sekalipun dia masih hidup, karena yang dibicarakan orang adalah keburukannya sama saja seperti orang mati.

Lina artinya mati. Jadi orang-orang yang termasyur karena kebaikannya diibaratkan seorang ibu, selalu dibicarakan kebaikannya meski pun telah tiada. Karena sifat bajik itu abadi. Sementara orang duryasa, yaitu orang yang prilakunya sangat buruk, yang berlawanan dengan kirti, akan selalu dibicarakan kejahatannya, orang pun akan mengingatnya sebagai orang hina, ini berkeadaan lebih buruk dari mati. Jelas sekali. Saya teruskan ke sloka 321.

 Jika ingin menjaga nama baik inilah yang hendaknya dilakukan: jangan menghianati sahabat, jangan menghianati kepercayaan yang diberikan, jangan menghianati orang yang membiayai dan menghidupi kita, dan jangan menghianati orang yang memberi perlindungan kepada kita. Mereka yang berbuat nista adalah orang yang tidak berterima kasih dan membalas kebajikan-kebajikan orang dengan kejahatan.

Sloka ini sudah jelas karena hanya mengingatkan saja bagaimana kita harus menjaga nama baik kita. Tidak berkhianat kepada orang yang sudah berjasa dalam meningkatkan hidup kita di dunia ini. Saya lanjut ke sloka 322.

Menghina para brahmana, berprilaku mabuk-mabukan, dan melakukan perbuatan jahat yang menimbulkan dosa, bagaimanapun juga ia masih dapat ditebus dengan penyucian. Akan tetapi dosa yang diakibatkan oleh perbuatan tidak tahu berterimakasih akan kebajikan orang, ia tidak akan dapat ditebus dengan apapun juga.

 Sloka ini mengajarkan pada kita betapa pentingnya berterimakasih kepada orang yang sudah berjasa kepada kita. Kalau kita melakukan perbuatan dosa kepada orang suci, mabuk dan mencuri, itu bisa ditebus dengan berbagai cara, seperti menerima hukuman, penyesalan dengan permintaan maaf dan sebagainya. Tetapi kalau kita tidak berterimakasih kepada orang yang membantu kita itu dianggap kesalahan yang sangat luar biasa. Dalam sloka bahasa Sansekerta digunakan kata kretagana (krtghna) yang artinya tidak tahu berterimakasih atas pertolongan orang lain. Saya lanjut ke sloka 323.

 Orang yang berbudi papa, yang berkehendak berbuat jahat kepada orang yang tidak berniat jahat terhadapnya, dengan pasti dan tanpa ampun orang itu akan masuk ke jurang neraka.

 Sloka pendek ini sudah jelas, akan berdosa besar dan dihukum di kawah neraka jika ada orang yang berbuat jahat kepada orang lain yang tidak pernah berniat jahat kepadanya. Mungkin lantaran terpapar fitnah orang lain atau karena soal iri hati dan sebagainya. Janganlah lakukan hal itu. Saya teruskan ke sloka 324.

 Orang yang melakukan pekerjaan jahat sesungguhnya tidak pernah sayang kepada dirinya sendiri, sebab membiarkan dirinya berbuat jahat, dan kemudian dirinya sendirilah yang akan mengalami siksa dari kejahatan yang diperbuatnya.

 Sloka ini lebih pada memberi nasehat yang terlalu umum. Tidak perlu kita ulas lagi. Saya lanjut ke sloka 325.

 Inilah orang yang tidak pantas dipakai sahabat. Mereka yang selalu berusaha menyakiti orang lain. Mereka yang suka membuat orang lain bersedih hati. Mereka yang tidak memiliki kesopanan, etika dan susila. Mereka yang tidak suka menepati janjinya. Mereka yang suka berkata bohong dan dusta. Mereka yang suka mabuk-mabukan. Keenam sifat buruk orang inilah yang hendaknya dijauhi.

 Sloka ini memerinci siapa saja yang layak dijadikan sahabat. Semuanya sudah jelas, sehingga kita perlu berhati-hati dalam memilih sahabat. Saya lanjut ke sloka 326.

 Jika bergaul dengan orang yang papa karma, niscaya dan tidak mungkin dihindari akan menular juga noda kejahatan mereka itu. Bagaikan pohon kayu yang masih subur, ia akan ikut terbakar jika bercampur dengan kayu-kayuan kering, oleh karenanya jangan berkawan dan bersahabat dengan orang yang jahat perbuatannya.

 Sloka ini memakai istilah papa karma dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam bahasa Sansekerta istilah yang dipakai papakrtamapapan. Artinya kurang lebih orang yang bertabiat jahat. Kalau kita bergaul dengan mereka yang karma atau perilakunya sudah papa atau buruk, maka lambat laun kita bisa ketularan. Ibarat pohon yang masih subur tetapi tumbuh di lingkungan pohon kering, jika ada kebakaran maka ikutlah pohon subur itu terbakar. Jadi hindari orang yang papa karma ini. Saya lanjut ke sloka 327.

 Sebaiknya hindari saja untuk bersahabat dengan orang jahat. Termasuk pula bertengkar dengannya, karena tidak ada orang suka dijilati anjing, apalagi bila sampai digigitnya.

 Ini hanya mempertegas sloka sebelumnya dengan perumpamaan dijilat anjing. Sesuatu yang patut dihindari karena jilatan anjing itu suatu saat akan menjadi gigitan anjing. Saya teruskan ke sloka 328.

 Si durjana itu tak bedanya dengan duri. Ada dua jalan untuk menghadapi si durjana sehingga tidak mencelakakan kita. Terhadap duri injak-injaklah dengan kaki. Sedang terhadap durjana sebaiknya tundukkan dia atau menjauhlah.

 Bhagawan Wawaruci memakai istilah durjana dalam sloka ini. Durjana adalah orang yang sudah sangat jahat yang bisa jadi tak bisa berubah menjadi orang baik. Nah terhadap mereka sebaiknya memang menghindar kalau kita tidak bisa menundukkannya. Lanjut ke sloka 329.

 Janganlah gembira dan percaya kepada para durjana yang seolah-olah sudah terlihat tunduk dan menurut. Bagaikan ular berbisa, meski pun sudah lama diajak bergaul tak ayal suatu saat akan menggigit juga.

 Sloka ini mengajarkan tentang kewaspadaan. Kalau pun kita bisa berhasil menundukkan sang durjana itu, kita jangan sekali-kali lengah. Kalau kita lengah bisa berakibat buruk kalau sang durjana itu kambuh lagi sifatnya sementara kita sudah terlanjur percaya dia berubah. Jadi sikap waspada harus kita miliki. Lanjut ke sloka 330.

 Tabiat sang durjana akan bertambah tinggi manakala dilihatnya seorang budiman membungkuk-bungkuk dengan sopan dan hormat karena keluhuran budi. Sang durjana akan semakin ingin mengungguli sang budiman yang dianggapnya seperti gajah yang merunduk ketika melihat tuannya.

 Sloka ini memaparkan kesombongan sang durjana akan semakin bertambah jika lawannya sudah merunduk, padahal lawannya itu hanya lantaran punya susila yang tinggi dan berbudi luhur. Tidak mempunyai malu si durjana itu dengan angkuhnya menatap sang budiman ketika berpapasan, misalnya. Sang durjana selalu berpikir bahwa sang budiman itu telah tunduk padanya, bagaikan gajah tunggangan yang merunduk di hadapan tuannya. Ini hanya menggambarkan keangkuhan sang durjana yang tetap kita waspadai. Lanjut ke sloka 331.

 Oleh karena itu orang yang bijaksana hendaknya jangan cepat percaya kepada sang durjana meski terlihat dia menundukkan wajah dan sujud menyatakan hormat. Sebab mereka yang dilekati kejahatan dapat melakukan segala cara untuk meraih tujuannya. Bagaikan timba yang sudah jatuh disumur, niscaya timba itu akan mengambil airnya juga.

 Seorang durjana memang harus selalu diwaspadai. Suatu ketika mungkin dia seperti orang yang sudah baik, menyatakan diri hormat kepada sesamanya. Namun semasih sifatnya itu melekat dan dia benar-benar tidak berubah karena tidak mendapatkan hukuman sebagai efek jera, bisa jadi dia tetap melakukan kejahatan dengan mengambil kesempatan yang baik. Di sini diibaratkan sebagai timba air dalam sumur, kalau timbanya sudah jatuh ke air, maka secara otomatis timba itu akan mengangkat air pula. Lagi-lagi kewaspadaan itu diperlukan. Lanjut ke sloka 332.

 Jangan bergembira dulu jika tidak diganggu oleh si durjana dan menjadikan dia sahabat. Sebab banyak orang merasa beruntung tidak digigit ular, walaupun tubuhnya nyata-nyata telah kena belitan ular.

 Nah sloka ini lagi-lagi memberikan nasehat tentang kewaspadaan menjadikan sang durjana sebagai sahabat. Kita mungkin benar tidak diganggunya, tidak disakiti dan tidak dijahati. Namun dengan berkawan kepadanya, kita seolah sudah berada dalam pengaruhnya sehingga teman-teman yang lain akan menjadi curiga dengan kita. Ibarat menghadapi ular, kita mungkin tak digigitnya tetapi kita sudah dibelitnya. Lanjut ke sloka 333.

 Biarpun manis dan lemah lembut tuturkata si durjana, tidak ada salahnya untuk waspada, sebab bunga yang bermekaran tidak pada musimnya adalah sebuah pertanda bencana.

Sloka ini mengingatkan tentang keanehan yang perlu dicurigai. Bunga yang mekar bukan pada musimnya, tentu harus dilihat sebagai sesuatu yang aneh. Begitu pula sang durjana, kalau suatu saat tutur katanya lembut, lihatlah terlebih dahulu sebagai sebuah keanehan. Kalau ternyata tidak ada yang aneh bisa jadi sifat sang durjana ini sudah membaik dan bisa dijadikan kawan. Namun semuanya perlu proses dan waktu untuk mengujinya. Lanjut ke sloka 334.

Tidak akan dijumpai kewelas asihan pada tindakan yang kejam, demikian juga tidak akan dijumpai kekejaman pada tindakan welas asih. Demikian kebajikan tidak akan dijumpai pada kejahatan, demikian juga pada kejahatan tidak akan dijumpai adanya kebajikan.

Sloka ini menjadi kesimpulan sementara bahwa pada tindakan yang nyata-nyata jahat tidak akan ditemui unsur welas asih di sana. Demikian pula sebaliknya. Maka kita perlu berhati-hati dalam bergaul dan memilih siapa yang pantas dijadikan teman.

Nah kita jeda pada kesimpulan sementara ini, nanti kita lanjutkan pada seri lainnya, tetap pada tema ini. Jangan lupa terus mengikuti pembahasan kitab Sarasamuscaya yang sudah menginjak pada bagian-bagian terakhir. Sampai jumpa, rahayu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar